About Making a Story

791 79 30
                                    


Gue sebut tulisan ini sebagai cerpan (cerita panjang), panjang mikirnya dan panjang waktu buat updatenya. Tapi gue berusaha banget memenuhi target penyelesaian.

Gue berusaha nulis ini menyesuaikan gaya bertutur Ardi, kekasih gue. Gue berusaha maksimal mendengarkan setiap dia bertutur dan bercerita.

Soal cara dia bertutur, gue jadi ngebayangin M. Agus PM Toh, seorang petutur dari Aceh. Cuma bedanya, M. Agus PM Toh terkenal dan dinikmati banyak orang, kalau Ardi cukup buat gue aja.

Ardi itu istimewa. Dia bercerita selalu mengalir bak dongeng. Entah saat bertemu langsung ataupun berbicara melalui telephone. Kadang dia bicara dengan kalimat baku, kadang dengan selipan idiom bahasa Jawa, kadang diselingi istilah Arab dan kadang dia bercerita yang memaksa gue "googling" untuk tau siapa dan apa.

Gaya bahasa dan pengolahan katanya keren menurut gue. Pantun, Talibun maupun Soneta, dia olah sekehendak hatinya. Asal rima tepat, model penyusunan sesuai pakem, itu sah menurut dia. Tapi dia jagonya cuma urusan rima, bukan rimming...ooops.

Soal gaya bahasa, cuma satu hal yang gue gak suka. Dia kadang menggunakan kalimat bersayap kayak Pak SBY. Jadi gak cuma pembalut yang perlu sayap, kalimatpun dibuat bersayap. Itu bikin pendengarnya jadi misintepretasi, mikirnya jadi yang enggak-enggak. Parahnya, gue bisa jadi cemburu gara-gara kalimat yang Ardi buat. Kalau Pak SBY kan cuma bikin pendengarnya menduga-duga dan gak bikin Bu Ani cemburu.
Nah kalau Ardi?

Ardi itu orang hebat bagi gue. Seorang penipu (dalam arti positif tentunya).
Dia menempatkan dirinya seperti orang yang gak tau ini itu. Padahal dia mengerti semua. Dia bisa menutupi kesedihannya dengan cerita lucu dan tawa dia. Dia seolah ekspresif tetapi sebenarnya 90% dirinya adalah tersembunyi.

Eh....balik lagi soal kalimat bersayap tadi. Selama bersamanya, dalam 24 jam dia sanggup membuat gue cemburu, kesal dan jatuh cinta terus menerus melalui kata-kata dan ceritanya. Bahkan hal itu suka terbawa dalam mimpi.
Itu setiap hari!
Dia gak pernah berhenti bersikap semacam itu. Setiap gue cemburu, dia terus saja menggodai gue.
Gue cuma bisa berusaha bersabar (tapi lebih sering ngambek juga sih).
Itu saja......
Toh dia setelahnya akan mengubah suasana menjadi gue jatuh cinta lagi ke dia.

Kembali lagi bagaimana cerita ini dibuat.......(sebelum ngelantur cerita soal Ardi)

Gue berusaha keras memikirkan kalau pembuat cerita ini adalah Ardi. Cara bertutur maksudnya.
Kalau gaya gue kan kasar, vulgar dan naif. Kalau Ardi selalu memikirkan kata demi kata.

Itu baru soal penyusunan kalimat.

Untuk cerita sendiri, lebih kepada perasaan cinta yang sudah terlanjur melekat.
Bukan saja pada perasaan kehilangannya.
Tetapi juga perasaan gamang untuk melangkah ke kehidupan selanjutnya.
Ada perasaan semacam....
mmmm...
mmmm...
mmmm...

ya gitu deh

soalnya susah banget menjabarkan perasaan orang yang sudah saling bergantung, kemudian dipaksa melepaskan itu semua.

Gampangannya seperti seorang anak yang hidup selalu dimanja dan penuh rengkuhan kasih sayang orang tuanya (bukan dalam hal materi ) dan tiba-tiba dipaksa mandiri.
Ada dua kemungkinan, si anak bisa gagal atau berhasil.
Semua itu bergantung pada keputusan pribadi si anak.

Tanpa bermaksud mendramatisasi cerita, gue cuma memberi bayangan ke gue sendiri dan juga Ardi, apabila salah satu dari kita mati duluan.
Rasanya perlu berkah Tuhan bila bisa mati bersamaan (secara normal tentunya).

Kami pernah sama-sama kehilangan orang yang kami cintai.
Dan hal itu sangat tidak mudah bagi kami, walaupun berusaha ditabah-tabahkan. Padahal gue dan Ardi pada saat itu bisa saling menguatkan.
Toh tetap aja, kami sempat terpuruk.
Kebayang gak, kalau tinggal berdua saja, terus salah satu mati. Siapa yang bisa menguatkan?

Kalau orang kebanyakan bisa saja kembali move on demi anaknya. Mereka bisa kembali survive.

Bagaimana homo? gay? Lesbian? Bencong? Transgender?

Mereka eh kami eh kita....
(mana sih kata yang pas?)
Udah gak punya anak, gak punya seseorang yang jadi pendorong semangat, salah-salah malah di bully.

Cuma ya itu yang perlu dipikirkan sama-sama. Jangan berpikir mencari pelarian yang akhirnya justru membuat kehidupan sendiri lebih parah.
Tetapi bagaimana bisa mengisi kehidupan menjadi baik kembali
dan tentunya bisa berguna bagi sekitarnya.

Terima kasih banyak untuk seluruh comment dan vote nya.

Gue mengucapkan terima kasih buat pembaca, kalian semua kritis dan hebat.
Dan langsung bilang....
Ini Ardi yang nulis?
Ini ceritanya mirip dengan cerita Bandung - Jogja
Ini jalan ceritanya sama...

Hmmm...gue belum bisa beranjak keluar ya?
Ok...semoga gue bisa nemu ide baru.

Tapi ada satu hal yang gak bakal berubah dari cerita yang gue tulis.
Gue pengen pembaca termotivasi mandiri dan berani untuk survive, berani keluar dari zona nyaman, punya toleransi dengan sesama, menghargai perbedaan, cinta negara ini, berhenti menghina atau mem-bully, dan utamanya bisa berguna untuk lingkungan sekitarnya.

Terima kasih gue ucapin buat :
Ardi,  kekasih gue
Zhou Zhang Yang...taulah siapa dia
Ng Wei Liang
Dan terutama teman-teman yang jadi pembaca.

Love & Regards,

Raditya

An ObituaryOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz