Quand Jétais au Lycée - Introduisant

1.4K 108 11
                                    

It is not death, but dying, which is terrible.

Henry Fielding
______________

Gay?
Astaga...itu gak ada sama sekali dipikiranku  saat SMA . Bahkan aku berpikir gay itu hanya terjadi pada laki-laki yang kemayu, berwajah cantik dan yang jalan seperti tertiup angin.

Aku (saat itu) menyukai perempuan kok. Memang aku belum punya pacar, bukan berarti aku gak suka perempuan. Tapi lebih kepada tahu diri saja.

Aku mungkin cerdas tapi aku tak berani terlalu menonjolkan diri bahkan didepan guruku sekalipun.

Ekonomi...ya cuma masalah itu saja sih. Mungkin sebenarnya agama manusia itu uang ya? Walaupun secara formal mereka mengaku beragama legal dengan format menuhankan Tuhan, tapi tuhan sebenarnya manusia itu uang dan kekayaan.

Bagi kami yang tidak memiliki uang dan kekayaan, kami itu dianggap paria dan kafir oleh sebagian masyarakat. Dianggap gak layak dan jadi obyek mereka yang kaya saat hari besar, sebagai sasaran amal dan pahala bagi orang kaya.

Jadi aku berpikir, bahwa kalau agama formalpun berpihak pada orang mampu dan kaya. Karena mereka diberi kesempatan dan peluang untuk mendapat pahala. Bayangkan bagaimana orang miskin bisa memberi sedekah kalau sendirinya kekurangan. Bagaimana orang miskin bisa naik haji, orang kemana-mana juga cuma jalan kaki?

Ah stop ya cerita soal miskin, karena itu membuat aku terlihat lemah. Dan aku lebih terlihat paria yang cuma dilihat dengan rasa iba, padahal aku gak butuh itu.

Emmm.... gak juga sih. Karena mengenal dia yang jadi kekasihku, juga karena kemiskinanku.

It's seems like Cinderella story, right?

Ya, dari awal kondisi yang mengenaskan itu, aku dipertemukan dengan dia.

Ah, terlalu jauh dan terlalu cepat aku bercerita.
Padahal aku ingin semua orang bisa mengenangnya atas seluruh kebaikannya, bukan sebagai kekasihku saja, tetapi sebagai manusia yang memiliki kepedulian dan cinta. Mungkin terkesan subyektif, tapi aku berusaha tetap obyektif kok. Karena aku adalah orang yang selalu ada disampingnya, baik saat dia jatuh maupun saat dia sukses.

.............

Aku SMA mungkin sama dengan remaja lain di Jakarta. Punya rasa ingin tahu yang sangat besar terhadap masalah pornografi. Walaupun harus menikmati bersama teman-teman lain, tapi bagiku itu sudah cukup, karena aku gak mungkin bisa memutar film porno di rumah. Selain alat pemutarnya gak punya, andaipun pinjam juga bakal ketahuan. Mau gimana lagi, rumah sangat strategis. Maksudku jarak antar ruang yang saling berdekatan, mau ke dapur dekat, ke kamar mandi dekat, ke kamar Ibu atau kedua Masku juga dekat. Apalagi aku juga sekamar dengan adikku.
Segila-gilanya aku, aku masih bertanggung jawab dengan perkembangan hidup adikku.

Mungkin kegiatan sexualku yang nyerempet-nyerempet gay hanyalah saat coli bersama teman-temanku.
Ya cuma itu, walaupun judulnya saling coli, tapi aku sama sekali tidak tertarik dengan temanku. Aku justru tertarik bintang pornonya, yang perempuan tentu saja. Asia Carera begitu bintang porno yang selalu jadi fantasiku.

Aku suka sepak bola dibandingkan basket, karena basket menurutku olah raga orang borju. Aku bisa bermain sepak bola dimanapun, bahkan di gang sempit bersama anak-anak kampung kumuh yang menjadi tetanggaku di bilangan selatan Jakarta. Aku sangat menikmatinya, meskipun saat itu hujan deras. Sepak bola adalah saranaku buat menghentikan kebiasaan coliku yang parah. Terkadang satu hari aku bisa lakukan enam sampai tujuh kali. Dan itu kulakukan tanpa jeda setiap minggunya.

............

"Gus....Bagus....!"

Begitulah kebiasaan Mamaku memanggil kita anak-anaknya berempat, walaupun nama itu bukan nama kita. Mungkin karena kedua orang tua kita berasal dari Jawa, mereka menggunakan nama itu untuk memanggil nama anak laki-laki siapapun itu. Seperti halnya orang Sunda yang terbiasa memanggil Sep...Kasep...! Kadieu...!

Berhubung saat itu cuma ada aku saja, maka aku tahu kalau panggilan itu ditujukan ke aku.

"Iya Ma....!"

Aku kemudian beranjak mendekat ke Mama.

Ah gak perlu juga kan aku ceritakan bagaimana ekspresi Mama. Toh namanya orang miskin, single parent pasti ekspresi dan segalanya gak jauh dari kesedihan.

"Gus...bisa nggak kamu bilang ke sekolah kalau minta tunda dulu pembayaran......bla..bla...bla."

Ah stereotype kisah orang susah. Tapi ya begitu hidupku.

Pusing?

Tentu saja.

Bahkan aku sudah gak bisa berkonsentrasi dengan seluruh yang Mama bicarakan. Padahal aku sudah berapa bulan menunggak?
Dan sudah berapa kali aku menerima pertanyaan dari kepala administrasi hingga guru BP soal bla..bla..bla nya itu?

Sebenarnya aku malu...sungguh aku malu setiap ke sekolah. Tapi aku juga butuh pinter, butuh ilmu.

Kadang tekanan permasalahan itu membuat diriku menjadi temperamental. Entah selama di sekolah ataupun saat diperjalanan pulang sekolah. Apalagi Jakarta sangat panas.

Senggol?...bacok...! Begitu istilahnya.

Aku butuh uang buat membantu Mama. Cuma aku gak tahu harus kemana. Telapak tanganku menjadi sering berkeringat setiap mengingat persoalan itu.

Aku terpikir Mas sulungku atau Masku yang kedua yang sudah bekerja, mungkin bisa membantu mencarikan aku pekerjaan sepulang sekolah. Hanya itu rasanya.

Itulah tapak kegelapan dalam hidupku.

An ObituaryOpowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz