6 - Tangis

36 0 0
                                    

Selama sepuluh menit kami terdiam di kursi masing-masing. Lebih tepatnya, sih, gua diam, dan ketiga teman gua menunggu gua mulai berbicara.

"Jadi-"

"Permisi, satu hot cappucinno, satu affogato dan dua espresso." Seorang pelayan datang dan meletakkan masing-masing secangkir minuman di hadapan kami. Dengan agak canggung ketiga teman gua menggumamkan 'terima kasih' dengan sangat pelan, sedangkan gua masih diam.

"Lanjut, Vi," ujar Erin kecil. Gua menghela napas.

"Oke. Jadi lu tahu kan gua orangnya nggak pernah ngobrolin keluarga, temen-temen gua selama ini, dari mana asal gua, dan persoalan-persoalan pribadi gitu. Daniel aja nggak inget dimana gua tinggal. Iya gak, Dan?"

Mereka bertiga mengangguk perlahan. "Yah, sebenarnya gua diem doang selama ini karena menghindari tatapan-tatapan lu yang mengasihani gua. Gua tahu kalau gua udah bicarain hal ini, pasti bakal begitu. Di kota asal gua dulu udah kebanyakan orang yang menatap gua dengan sorot kasihan sampe gua nggak sanggup-"

"Alvian," potong Daniel, "Kita ini sahabat lu bertiga. Kita pasti dong, ngasihanin lu. Tapi nggak terus menerus, karena kita juga mau lu move on dari masalah apapun ini yang lu punya, lalu menjalani hidup lu sekarang, bersama kita bertiga." Dia menyesap espresso pahitnya. "Lanjut," ujarnya disertai gerakan tangan.

"Ehm. Makasih Dan. Jadi... Asal gua dari Semarang. Gua dulu punya sepasang orang tua dan seorang adik cewek dengan selisih setahun yang gua sayang dan pernah benci. Namanya juga anak laki-laki satu-satunya, pasti ada masa dimana kita membandel. Gua masuk masa itu di kelas empat SD.

"Selama lima tahun gua bener-bener nggak bisa dibilangin. Gua pulang malem, gaul sama orang-orang yang nggak jelas, melanggar ini, melanggar itu. Sebelum masuk kelas empat sih gua alim banget. Tapi yah, gua dapet banyak masalah yang bikin gua marah-marah di rumah sama semua orang, bahkan mama gua.

"Di kelas enam gua mendapat seorang sahabat cewek. Namanya Citra." Napas gua sedikit tersentak. "Dia cantik dan pinter. Beda banget sama gua yang bandel, bego lagi. Tapi saat dia numpahin teh panas ke paha gua dan minta maaf sampai nyamperin gua ke rumah, kami jadi sahabat dekat. Kemana-mana gua sama Citra, sampai kami dikira jadian. Gua emang diam-diam nyimpan rasa sama dia, tapi dia nggak tahu. Gara-gara dia juga nilai gua naik, tapi kelakuan sama aja. Hehe."

Gua diam sejenak, tersenyum kecil mengingat masa itu. Tapi senyuman gua menghilang ketika gua mulai bicara lagi.

Here comes the bad part.

"Di kelas delapan, ketika gua lagi merokok di pos satpam deket sekolah, ada polisi nyamperin geng gua, nyariin gua katanya. Sontak gua takut dong, disamperin polisi gitu. Gua kira mau ditangkep." Gua terkekeh garing. "'Temen-temen' gua pada kabur, takut ketangkep. Gua nggak bisa karena dicengkeram sama polisi itu. Ternyata di luar dugaan, dia dateng buat ngabarin berita yang paling menyakitkan seumur hidup gua."

Satya dan Daniel masih terdiam, sementara wajah Erin mulai merengut.

"Kata-katanya malam itu gua inget persis. 'Alvian, saya dari kapolsek di Jalan Peterongan.' Waktu itu gua tinggal di Jalan Nangka Raya. Polisi itu bilang lagi, 'Ada kecelakaan di dekat kapolsek saya. Dari nomor polisi dan alamat KTP korban, kami tahu kalau mereka adalah orangtua dan adik anda.'

"Rasanya kayak ada petir yang meledak di dada gua. Gua nggak bisa ngomong apa-apa. Gua nggak denger apa yang temen-temen gua waktu itu bilang. Gua cuma ngawatirin tiga orang; papa, mama dan adik gua."

Gua memejamkan mata dan menarik napas bergetar. Luka lama yang perih di hati gua kebuka lagi. Tapi gua tetap melanjutkan cerita gua.

"'Bapak dan ibu anda sayangnya meninggal di tempat, bapak anda seketika setelah kepalanya menghantam jendela mobil, dan ibu anda karena kehabisan darah. Adik anda sekarang masih di ICU di rumah sakit Roemani. Saya bisa antar anda kesana.' Yang gua inget habis itu cuma gua diseret ke mobil polisi, ke rumah sakit.

"Yang paling menyakitkan itu bukan mama papa gua meninggal," gua menatap kosong diantara Daniel dan Erin – ya, mereka duduk bareng lagi, "Tapi karena adik gua. Pas gua masuk ke ruangannya, dia terbaring dengan banyak mesin mengelilinginya. Papan nama bertuliskan Sena ada di ujung tempat tidurnya. Gua nggak percaya, adik gua bisa begini.

"Adik gua nggak bisa diselamatkan. Waktu itu, dia aja bicara sama gua sambil dikasih life support. Kata-kata terakhirnya cuma, 'Bang, Sena sayang banget sama Abang. Jangan nyusul kami ya Bang. Nanti ada waktunya.'"

Gua yakin sekarang ada air mata udah netes di pipi gua, karena Erin mulai nangis, Satya mulai berlinang air mata, dan air wajah Daniel sangat sedih. "Bukan itu doang. Citra yang sejak itu selalu nemenin gua, selalu mampir ke rumah gua buat ngerawat gua, tiba-tiba pergi begitu aja ketika gua masuk kelas sepuluh.

"Selama berbulan-bulan nggak ada kabar dari Citra. Semua keluarganya udah nggak ada di Indonesia. Dia bener-bener kayak hilang, ditelan Bumi. Selama hampir setahun gua terpuruk, sampai akhirnya Om gua yang lumayan deket sama gua, mindahin gua dari Semarang kesini.

"Gua bersyukur masuk sini. Kenangan yang pahit itu udah gua kunci rapat-rapat di lubuk hati gua, dan gua memulai hidup baru disini. Tinggal di apartemen, kerja sambilan, diberi uang secukupnya oleh Om gua yang cukup berada. Dan gua ketemu kalian," gua pun tersenyum, meski nggak tahu tulus atau pura-pura. "Sahabat gua sekarang."

Ketiganya masih bungkam, meski diselingi isakan kecil dari Erin. "Wuoh," Satya membuka mulut, "Gua nggak nyangka life story lu kayak gitu, Vi."

"Tadinya gua mau cerita sama Erin dan Daniel doang," ucap gua sambil buru-buru menghapus air mata, "Tapi tadi ada Citra di toko musik. Terlanjur deh abis itu cerita sama lu juga," gua noleh ke Satya.

"Hah? Ada Citra?" Erin memekik. Gua mendesis, menyuruhnya memelankan suara. "Anjir, kalo lu cerita dari kemaren-kemaren, tadi bakal gua pites tuh anak. Hih." Erin menggeram dan mukanya memerah. Serem.

"Terus Citra gimana? Sebelum ini bener-bener nggak pernah ketemu dia lagi lu Vi?" tanya Satya, membuat gua menggeleng. "Serius, gua belom ketemu dia lagi sejak itu. Bodo amat, deh, sekarang sama dia. Udah nggak peduli gua sama dia," terang gua dingin. Erin menatap gua sedih.

"Gua juga menemukan Tuhan sih," lanjut gua, "Kalo nggak, mana mungkin gua masih hidup saat ini. Udah bunuh diri duluan kali." Tiba-tiba Daniel noyor kepala gua.

"Kalo lu berani nyoba-nyoba bunuh diri, lu bakal gua bunuh pake tangan gua sendiri. Terus gua hidupin lagi. Terus gua bunuh lagi. Terus baru gua hidupin dan gua biarin." Daniel nyerocos dengan muka flat, sementara gua cuma terkekeh.

"Iye-iye. Nggak bakal."

"Vi, kami sebelumnya kan nggak tahu apa-apa soal lu, sementara lu tahu banyak soal kita. Main twenty questions yuk," usul Erin. Gua mengangguk, "Boleh aja sih, ayo mulai."

Dan selama tiga jam kami duduk disitu, saling bertanya – dan permainan yang awalnya bernama twenty questions berubah menjadi one-o-one questions, memesan kopi terus menerus, tertawa dan berbagi cerita masa lalu.

Aduh, terlalu sinetron buat gua ini.

● ● ●

"Apollo, aku pulang," ujar gua setelah melepas sepatu. Saking jonesnya emang, gua jadi sering nyapa dan ngobrol sama kucing gua. Menyedihkan, menyedihkan.

Setelah ngobrol sama mereka bertiga, rasanya beban seberat paus dewasa yang dari dulu menunggak di hati gua hilang. Nggak ada rasa bersalah lagi karena mereka sudah tahu banyak tentang gua. Lega rasanya.




SerafinaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang