Part 8. Ada Yang berbeda 2

14.5K 431 49
                                    

Hai ... aku hadir lagi :* :* :* terima kasih sudah pada sabar nunggu kisah ini.

Males edit, abaikan saja typo yg bertebaran.

Selamat membaca ...

***

Dengan sigap aku membopong tubuh Mara menuju lantai dua. Tiba-tiba saja tubuhnya ambruk di depanku.

Awal aku datang, wajahnya memang terlihat pucat, dan dia beberapa kali terlihat hampir terhuyung.

Aku merebahkan tubuh Mara ke ranjang, tidak lama Lala dan Lili masuk mendatangi kami.

"Kenapa Mbak Mara, Mas?" tanya Lala cemas, terlihat dari raut wajahnya.

"Nggak tau, tiba-tiba saja pingsan," jawabku sekenanya. Aku mengecek keadaan Mara, suhu badannya tidak panas, hanya wajahnya yang pucat.

"Tolong panggilkan dokter."

"Ya," Lili yang menyahut, dia dengan cepat melesat keluar, untuk menghubungi dokter yang kupinta.

Lala menghampiriku, duduk di tepi ranjang. Menempelkan punggung tangannya, sama sepertiku, mengecek keadaan Mama.

"Mbak Mara sepertinya kecapean, Mas. Semalam mbak Mara nggak tidur kayanya," ungkap Lala. Aku menatap wajah Mara yang memang terlihat letih. Seperti banyak beban pikiran yang ditanggungnya, apa ada hubungannya dengan pria yang mengaku mantan suaminya?

Waktu itu Mara terlihat sekali tidak ingin berurusan dengan mantan suaminya tersebut, entah apa yang telah terjadi antara mereka, yang pasti Mara seolah enggan bertemu dengan pria yang bernama Rama itu.

Setelah menjelaskan, Lala pamit keluar, untuk menjaga toko.

Aku duduk di tepi rajang, tempat di mana Lala tadi duduk. Ku elus wajah Mara yang mucat dengan jari telunjuk.

Perlahan mata Mara terbuka, mengerjap-ngerjap. Aku segera menarik tangan dari pipinya.

"Mas ..." ucapnya pelan.

"Aku kenapa?" tanyanya bingung, kepalanya menoleh ke kiri dan kanan, mengenali tempat keberadaannya sekarang.

"Kamu tadi pingsan, kamu tiduran saja, sebentar lagi dokter datang." Aku menahan pundaknya yang akan duduk, lalu mendorong agar kembali berbaring.

"Aku nggak apa-apa, Mas. Cuma kecape-an." Mara kembali ingin bangun, dan aku tetap menahannya.

"Kamu istirahat dulu, sebentar lagi dokter datang."

Tidak lama aku mengatakan itu, Lili datang bersama seorang dokter. Aku langsung berdiri, sedikit mejauh dari ranjang, agar si dokter bisa lebih leluasa memeriksa Mara.

"Bagaimana dok?" tanyaku setelah dokter yang bernama Dian itu selesai memeriksa Mara.

"Nyonya Mara hanya perlu istirahat, jangan terlalu banyak pikiran, saya akan memberikan vitamin ..." tidak lagi kuperhatikan ucapan dokter tersebut, aku cukup lega ternyata Mara hanya kelelahan. Setelah memberikan resep yang harus ditebus dan sedikit berbasa basi dengan dokter Dian, dia pamit dengan Lili yang mengantarnya keluar. Tidak lupa juga menyuruh Lili membeli vitamin yang tertera diresep dari dokter Dian tadi. Aku kembali duduk di tempat semula.

"Kamu kenapa tidak tidur semalam?" tanyaku ingat dengan perkataan Lala. Aku menatapnya menunggu jawaban, Mara malah memalingkan wajah, seolah takut kepadaku.

"Mara ... tatap aku," tegurku ketika dia masih enggan menarapku.

Pelan Mara menatapku ragu.

"Kenapa?" Aku masih menunggu kepastiannya, semoga bukan karena desakanku meminta dia membuka hati untuk keberadaanku beberapa hari yang lalu.

Second WEDDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang