_
"Mam." Jeffin memeluk hangat sang bunda, Janita, yang duduk di ruang kerjanya. Sudah hampir sebulan Jeffin tak bertemu Janita.
"Hai sweet heart, how is your school?"
"Biasa aja, Mam." Jeffin tersenyum tipis. "Nilai-nilai Jeffin masih yang paling tinggi." Jeffin duduk di hadapan Janita seluruh fokusnya pada Janita.
"Kamu ini ...." Janita menggeleng, terbiasa dengan sifat anaknya yang kelewat pede. Memandang lekat pada anak semata wayangnya, Janita baru menyadari hidung Jeffin yang diplester. "Hidungmu kenapa, Fin?"
"Ga apa-apa, Mam, kemarin dilabrak bidadari." Jeffin nyengir.
Janita yang sedari tadi sibuk dengan laptopnya akhirnya menutup laptopnya dan beralih sepenuhnya pada Jeffin. "Kamu ini, Mam ga suka kalau kamu berantem-berantem dan ikut tawuran, ya!" seru Janita khawatir.
"Mam, kalau tawuran lukanya bakal lebih dari ini. Ini beneran dilabrak bidadari," jawab Jeffin santai.
Janita berdecak. Jeffin kadang suka ngasal. Mengabaikan omongan Jeffin, Janita menatap lekat pada putranya. Banyak masa dia lewatkan, tak terasa Jeffin sudah beranjak besar. "Kamu kelihatan sehat sayang. Kelihatan lebih berisi."
Jeffin melebarkan senyum. "Iya, lah, Mam, masakan Tante Rima makin bergizi. Dan sudah dua tahun ini jadi makin enak." Jeffin memuji masakan dari catering langganan Janita. Jeffin mendekatkan dadanya pada meja dan melipat tangan di atasnya, lalu berbisik seakan ingin memberi tahu sebuah rahasia. "Dan Mami tahu, karena makanan bergizi dari Tante Rima Jeffin jadi lebih berotot."
"Kamu ini, makanan enak malah bikin lemak numpuk, Fin."
"Justru itu Mam karena makanannya enak, Jeffin ga mau sampe berlemak. Jadi Jeffin rajin olah raga."
"Ooh, bilang dong. Kalau gitu sih baru masuk akal." Janita tersenyum geli.
Keduanya lalu terdiam. Jeffin menatap lurus pada Janita, merekam jejak usia pada wajah Janita. Sudah beberapa tahun ini, ibunya menjadi single fighter. Jadi ibu, sekaligus jadi tulang punggung keluarga. Hati kecilnya berharap kehangatan ini bisa terjadi lagi besok dan besoknya. Karena dari sekian hal yang bisa Janita berikan hanya satu yang tidak mampu diberikan, yaitu waktu.Setali tiga uang, benak Janita juga menghangat. Berbincang santai seperti ini adalah momen yang dia nanti ditengah padatnya kegiatan. Janita pun sangat ingin meruntuhkan dinding di hatinya. Tak lagi berlari melampiaskannya pada pekerjaan. Karena sebenarnya dia tahu pasti, anak semata wayangnya ini juga berhak mendapat perhatiannya. Janita hanya menghela napas ketika pilihannya justru berkhianat dengan tetap memilih 'kesibukan' sebagai pelampiasannya.
"Besok Mami ke Singapura ya, Fin. Kamu baik-baik ya disini. Nanti pesanan catering-nya Mami tambah dengan menu sarapan, deh."
Jeffin memundurkan badannya dan bersandar. Tubuhnya menegang, baru sedetik lalu dia siratkan keinginannya langsung runtuh detik itu juga.
"Bilangin ke Tante Rima porsinya dibanyakin ya Mam," ujar Jeffin berbasa-basi. "Oh, ya, trus tanyain juga, Mam, apa bumbunya pake bahan tambahan sintetis ... kok di suapan terakhir selalu ada rasa pahit yang nyangkut di leher?" lanjutnya datar.
"Masa, sih, kayak gitu, Fin, setau Mami catering Tante Rima termasuk catering yang pakai bahan alami. MSG aja ga pake."
KAMU SEDANG MEMBACA
Edge of Heart [Sudah Terbit]
SpiritualAuthor : ashaima-va Status : Completed Part : 16 part Visibility : Private Bagaimana rasanya di-bully geng trouble maker se-SMA? Bagaimana juga rasanya di-bully sama mantan yang nggak terima diputusin? Hemmhh ... siap-siap menerima ke...