Axel diam, memandang langit-langit kamarnya yang berbalut cat putih. Dia sesekali menghela napas panjang. Terlalu banyak yang dipikirkannya sampai-sampai dia bingung sedang memikirkan apa.
Axel beranjak dari kasurnya dan melihat ke arah jendela. Anak laki-laki yang dilihatnya sejak tadi masih diam di seberang jalan. Berdiri di sana seraya menatap aspal, padahal suara petir sudah bergemuruh.
Sedikit-sedikit hujan mulai turun. Menabrak kaca jendela. Di antara air yang membasahi jendela, Axel masih dapat melihat anak laki-laki itu. Dia masih diam sama seperti tadi.
"Aaaaah," teriak Axel frustasi.
Dia meraih jaketnya dan pergi meninggalkan kamarnya, berjalan cepat menuju pintu rumah.
Dari halamannya, dia melihat anak laki-laki itu mengalihkan pandangannya ke arah truk yang datang seraya mengigit bibirnya ragu. Dia mulai melangkah masuk ke jalan raya yang licin.
Mata Axel terbelalak. Dia segera berlari. Menyebrangi jalan raya dengan cepat dan memeluk anak laki-laki itu sehingga keduanya terjatuh ke trotoar. Tak lama setelah itu, truk tersebut melintas dengan kecepatan tinggi.
"Hey bodoh! Mau mati, ya?!" Teriak Axel di tengah napasnya yang tak teratur. Jantungnya berdegup dengan cepat.
Anak laki-laki yang di tolongnya tadi hanya menatapnya terkejut, begitu pun dengan orang-orang di sekitar mereka.
"Kalau mau mati, jangan di tempat ramai! Jangan melibatkan orang lain! Dasar bodoh!" Ujar Axel kesal. "Mengganggu saja!"
Orang-orang langsung mengelilingi mereka. Bertanya apa yang sebenarnya terjadi.
Axel berdiri. Kini seluruh tubuhnya dibasahi oleh air hujan. Tadi itu sangat berbahaya. Jika Axel tidak cepat, mungkin dia bisa ikut tertabrak truk. Namun dia bersyukur karena saat ini, dia dan anak laki-laki yang di tolongnya, masih diberikan hidup.
"Ma-maaf," ujar anak laki-laki itu pelan.
Axel hanya menatapnya tajam, meneliti matanya.
Aku takut, aku bingung, apakah aku harus bersyukur jika aku hidup? Bagaimana aku bisa sekolah besok? Aku takut nereka akan menggangguku.
Axel berdecak kesal begitu melihat apa yang di pikirkan oleh anak laki-laki itu.
Tentu saja Axel sudah tahu bahwa anak itu memang hendak bunuh diri. Namun di saat yang bersamaan, anak ini masih ingin hidup, jadi Axel menolongnya-walau pun dia hampir ikut terbunuh.
"Pulanglah ke rumahmu! Jangan coba untuk bunuh diri lagi! Cara berpikirmu itu pendek banget, sih," kata Axel seraya membalikkan tubuhnya.
Orang-orang di sekitar mereka langsung terkejut begitu mendengar pernyataan Axel.
Dia melihat sekitarnya. Ramai oleh orang-orang yang berlalu lalang. Axel menggelengkan kepalanya. Hujan turun semakin deras di tambah dengan suara petir yang bergemuruh yang memekakkan telinga.
Di sela-sela suara petir dan air hujan yang menabrak tanah dengan cepat, Axel masih bisa mendengar isi pikiran orang-orang.
"Sebaiknya aku kembali ke rumah," bisiknya.
***
Axel mengelap kepalanya yang basah, kemudian membiarkan handuk bergantung di kepalanya. Dia membuka lemari es dan mengambil botol air mineral. Udara memang sudah dingin, tapi Axel memang menyukai segala hal yang dingin.
Dia duduk di sofa yang lembut seraya menyalakam TV dengan remot. Dia terus memindahkan channel.
"Sinetron semua," katanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lie-Liar
Mystery / ThrillerDuniaku, lebih berisik dua kali dari dunia orang-orang pada umumnya. Sampai akhirnya, aku bertemu dengan seseorang yang sunyi dan kosong. Saat itulah aku mendapatkan ketenangan. Namun, orang itu hanyalah sebuah kebohongan yang kubuat sendiri. Copyri...