Liar pt. 4

126 32 1
                                    

Axel membuka matanya perlahan. Sinar matahari menyerangnya dengan tidak sabaran. Pemandangan di sekitarnya berubah menjadi oranye yang kusam dan semua benda bergerak dengan lambat.

"Kak! Ayo kesana!"

Axel melihat ke sumber suara. Seorang anak laki-laki yang kurang lebih berumur enam tahun itu berlari melewatinya seakan tak ada Axel disana.

"Dek! Tunggu!"

Axel kembali di kejutkan oleh seorang anak perempuan yang jelas lebih tua dari anak laki-laki itu.

Keduanya berlari ke arah jalan raya. Anak perempuan yang terlihat seperti sang kakak mencoba untuk mencegah adiknya masuk ke jalan raya, namun adik kecilnya itu hanya tertawa bahagia.

Tiiiiin!

Suara klakson terdengar nyaring. Axel menutup matanya. Dia ingin menolong namun tubuhnya kaku. Suara teriakan memekik di telinganya. Jelas-jelas yang di dengarnya adalah suara anak perempuan itu.

"Hahahaha, lucunyaaaa."

Axel kembali membuka matanya. Kini yang dilihatnya adalah sebuah kamar usang dengan seorang anak perempuan yang tadi ia temui.

Prang!

Suara nyaring seperti aluminium yang di lempar berdengung di telinganya. Suara teriakkan pun tak kalah kencang. Anak perempuan itu menangis seraya memeluk boneka beruangnya.

Seseorang membuka pintu, dilihatnya seorang pria yang di kenalnya. Dia sangat mengenal pria tersebut. Ya, Axel terkejut begitu mengetahui bahwa pria itu adalah ayahnya.

"Heh! Berani nangis kamu hah?!" Teriaknya.

Perasaan tak enak muncul di dada Axel begitu ayahnya dapat menembus tubuhnya. Dia memandang tangannya yang transparan.

"Aaaa, ayah, lepas!" Tangis anak perempuan itu.

Axel hanya bisa diam begitu melihat ayahnya menarik rambut anak perempuan itu. Dan yang membuatnya terkejut, anak perempuan itu pun ikut memanggilnya ayah.

Teng, teng, teng.

Suara jam dinding terdengar. Semua di sekitar Axel berhenti seketika. Udara tiba-tiba memanas. Axel mengangkat kepalanya dan melihat api menghancurkan semuanya. Membakarnya seakan-akan kamar dan orang di dalamnya hanyalah selembar kertas. Dari balik abu yang bertebaran, Axel dapat melihat seseorang yang dikenalnya.

"Hai, apa kamu merindukanku?"

Axel hampir tak bisa bernapas begitu Charlotte menghampirinya dengan langkah lambat. Kakinya utuh dan baik-baik saja. Charlotte terlihat begitu kurus dan kulitnya pucat. Tak terlihat seperti manusia hidup.

Kini Charlotte berada di depan Axel. Dia menatap mata Axel rekat-rekat seraya berjinjit untuk mendekatkan wajahnya pada wajah Axel.

"Wahh, matamu bagus," katanya. "Cantik."

Charlotte mengangkat tangannya. Menyentuh pipi Axel. Tangannya dingin, sangat dingin, seperti es, dan sentuhannya pun terasa kosong. Lama-lama sentuhan itu turun ke lehernya dan menuju pundaknya, lalu berakhir di dadanya.

Axel tak bisa berkata apapun, dia bahkan tak bisa melakukan apapun. Bibirnya terasa kaku sampai-sampai sangat sulit untuk di buka, lidahnya terasa kelu, dan tenggorokannya tercekat.

Craaat!

Axel memuntahkan darah begitu dia merasakan sensasi nyeri yang luar biasa. Dia bisa merasakan sesuatu yang kental mengalir ke perutnya. Dia terus memuntahkan darah, mengikuti gerakan tangan Charlotte yang berhasil menembus dadanya.

Charlotte tersenyum bahagia dengan darah yang mengotori pipinya. Sesekali dia tertawa begitu Axel terus memuntahkan darah berawarna merah pekat dengan bau amis yang khas.

"Aku bisa merasakan degupan jantungmu," ujar Charlotte lembut seraya bersender di tubuh Axel dengan tangan yang masih menancap di dadanya.

Dia kembali mundur sampai tangannya lurus. Dia menatap dingin ke arah Axel yang terlihat sekarat. Tangan satunya memainkan rambutnya manja. Kemudian senyumnya mengembang begitu dia menatap mata Axel. Dia menarik tangannya kuat sehingga Axel jatuh tersungkur di depannya.

Axel memegang dadanya yang saat ini memiliki sebuah lubang. Pandangannya samar dan berkunang-kunang. Dia kembali memuntahkan darah sesekali. Rasa sakitnya tak bisa ia tahan lagi.

Charlotte berjongkok dengan santai di depan Axel. Dia menaruh tangannya yang penuh darah di puncak kepala Axel kemudian mengusapnya pelan. Usapannya turun ke pipi Axel pelan.

"Axel, angkat wajahmu, kakak ingin melihatnya," ujat Charlotte manja.

Mata Axel terbelalak. Charlotte mengangkat dagu Axel dan mendekatkan wajahnya dengan wajah Axel.

"Begini sudah jelas," lanjut Charlotte. "Kakak senang bisa melihat matamu yang indah itu, matamu yang menyimpan sejuta kebohongan milik orang lain."

Axel diam. Dirinya terlalu lemah untuk menjawab kata-kata Charlotte.

"Mata yang bisa membuka kebohongan, bahkan kebohongan dengan alibi yang sempurna," ujarnya. "Tapi, kamu tahu? Kakak gak suka dengan matamu, ah, ya, matamu itu curang, gak adil kalau kamu bisa melihat kebohongan orang lain tanpa menunjukan kebohonganmu."

Charlotte tertawa dengan suara keras dan lantang. Namun, tak sampai satu menit, ekspresi wajahnya berubah pilu.

"Bagaimana kalau kakak ambil?" tanya Charlotte

Axel memejamkan matanya begitu Charlotte mendekatkan tangannya ke mata Axel.

"Ahahahahaha, bercanda!" Teriak Charlotte riang. "Kalau matamu kakak ambil, nanti kamu gak bisa melihat kakak lagi, dong!"

Axel perlahan membuka matanya, memberanikan dirinya untuk menatap Charlotte.

"Kamu seriusan amnesia?" Tanya Charlotte sedih.

Axel hanya menatapnya heran.

"Ihh, kan tadi udah aku kasih lihat, kecelakaan sepuluh tahun lalu! Jangan nutup mata makanya!" Teriak Charlotte yang terlihat begitu marah. "Andai kamu gak berlari ke jalan raya, kakak pasti masih hidup tau! Dan kaki kakak pun gak akan putus! Kakak nyelamantin kamu walau pun kamu ketabrak juga sih, hehe, tapi kamu cuma amnesia, gak sampe mati kayak aku! Berterimakasihlah!"

Charlotte berdiri di tempatnya, kemudian menendang Axel sehingga tubuhnya telentang, "heh, ayah sama ibu tuh gak pernah akur, aku tuh korbannya! Rambutku rontok nih! Lagian kalau kamu gak lahir, ibu pasti masih hidup juga! Semuanya salahmu tau! Lagian kamu gak tau apa ayah jarang pulang buat nemenin kamu gara-gara dia benci sama kamu?"

Charlotte kembali duduk di samping Axel, menatap Axel yang balas menatapnya lemah. Tubuh Axel tak bisa di gerakkan.

"Kakak kesepian loh," ujar Charlotte dengan nelangsanya. "Ikut yuk sama kakak, mau kan?"

Axel menelan ludah. Tubuhnya merinding.

"Walau pun ibu sama kakak harus mati gara-gara kamu, kakak ini masih sayang banget loh sama kamu!"

Axel diam begitu tangan Charlotte lagi-lagi menyusup ke dalam dadanya. Dia merasakan tangan Charlotte menggenggam sesuatu di dalam tubuhnya.

Perlahan, lengan Charlotte meremasnya, membuat Axel berteriak keras.

Genggaman Charlotte semakin keras, selaras dengan teriakkan Axel. Sampai akhirnya, benda itu pecah dan berhenti berdetak dan di saat yang bersamaan, Axel menutup matanya.

"Axel, selamat jalan, maksudku, sampai bertemu lagi," bisik Charlotte.

***

Daun-daun berguguran. Jatuh mengikuti jalan yang di tunjukan oleh angin. Menunjukan sesuatu yang sunyi dan sepi. Terseret jauh oleh angin sebelum akhirnya jatuh di tanah yang basah.

Seorang anak laki-laki duduk di bawah pohon itu. Tatapannya kosong namun setetes cairan bening keluar dari matanya. Bibirnya bergetar sehingga ia mengigitnya kuat.

"Ya, selamat tinggal," bisiknya.

Lie-LiarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang