1. Indi Si Pelopor

198 12 2
                                    

Kita cuma bocah, tapi tangan mungil kita akan merubah dunia kelak.

Disini gelap! aku tak bisa melihat apapun! Dimana aku? Kenapa tubuhku tak bisa digerakkan? Namun, rasanya hangat. Rasanya aku sedang memeluk seseorang namun siapa?
PLAAKK!!!
Aku langsung membuka mata dan memegangi bokongku, Sakiit! Sambil meringis, aku menyadari apa yang telah terjadi. Aku berjalan dalam tidurku dan sekarang aku terbaring di kasur temanku.
"Balik coi, ngapain meluk ane? Ente sehat?" tanya Rian, pemilik kasur yang sekarang kutumpangi.
Aku menengok ke kanan kiri, baguslah tidak ada yang terbangun di asrama ini. Mungkin karena aku lupa membaca doa sebelum tidur, aku jadi tidur sambil berjalan lagi. Rian menarik sarungnya dan tertidur lagi, sementara aku terdiam sambil berfikir. Masa sih aku lupa membaca doa sebelum tidur? Nggak mungkin!
Dengan terkantuk kantuk aku berjalan kembali ke kasurku untuk melanjutkan tidur, lalu membaca doa dengan khusyu agar aku tidak melakukan hal aneh lagi dalam tidurku.
"Subuh!!!! Bangun waktunya subuhh!!!!" seru Musyrif sambil menggedor-gedor pintu asramaku, akhirnya kita semua terbangun dan aku gagal melanjutkan tidurku. Sambil memaksakan diri aku melempar bantal ke sembarang tempat lalu memakai kacamataku dan segera bangkit.
"Uhuk uhuk... Ekhem..." aku terbatuk sambil mengambil Al - Qur'an dan berjalan ke arah Rian.
"Batuk terus di, udah sebulan" kata Rian bingung. Melihatku terus batuk, tentu saja membingungkan. Jujur saja aku tidak peduli selama itu tidak mengganggu aktivitasku.
Aku dan Rian berjalan keluar asrama dan pergi ke masjid pesantrenku. aku hanya terdiam, sesekali batuk. Rian hanya memperhatikanku sambil geleng - geleng kepala dengan tatapan heran.
Aku berjalan ke tempat wudhu dan mengantri untuk berwudhu. Aku merasakan dadaku sakit, aku sudah biasa merasakannya, tapi entah kenapa makin lama makin sakit.
"Ohok...ohokkk!!!!" aku batuk lebih kencang dari biasanya, membuat orang - orang disampingku menengok kearahku. Ya ampun, dadaku sakit sekali! Tenggorokanku rasanya seperti terbakar! aku merasa dahakku sudah tak bisa ditahan.
"Huekk!!!" akhirnya aku mengeluarkan dahak.
Kurasa itu bukan dahak, rasanya beda, agak cair dan tidak kental, aku membuka mata, melihat kebawah dan menyadari baju koko putihku tercipratkan sesuatu berwarna merah.
Itu bukan dahak! Tadi yang kukeluarkan adalah darah!
"Indi! Masya Allah!!!" seru Rian panik. Begitupun yang lain, mereka segera menghampiriku. Kepalaku rasanya sakit sekali, tenggorokanku seperti terbakar, aku tak tahan lagi! Orang - orang disekitarku panik melihatku terjatuh berlutut. Ada yang teriak, ada yang memanggil ustad, ada juga yang merangkulku tanpa tahu apa yang harus mereka lakukan.
"Tahan Di! Sebentar lagi Ustad Mustafa dateng!" kata Rian sambil menopang kepalaku. Aku sudah tak tahan, lama kelamaan sekitarku berubah menjadi gelap.
*****
Sambil menahan sakit, aku berusaha untuk menenangkan perasaanku dalam gelap. Kurasa aku sedang terbaring di sebuah tempat, aku harus segera bangun dan melihat apa yang terjadi. Dengan susah, aku membuka mataku perlahan.
"Ente nggak papa, Di?" tanya Rian yang duduk di sampingku. Disampingnya ada Ustad Mustafa yang kelihatannya sedang mengantuk.
Seorang suster keluar dan tersenyum padaku sambil mencatat sesuatu di bukunya dan segera keluar ruangan, sudah pasti aku sedang berada di rumah sakit.
Yang kuingat tadi sebelum aku pingsan, kurasa banyak orang yang mengelilingiku di tempat wudhu. Tapi kenapa kini hanya Rian dan Ustad saja yang menemaniku?
Aku mencoba bangkit duduk dibantu Ustad dan Rian, sambil terbatuk aku membenarkan posisiku.
"Ana kenapa, ustad?" tanyaku penasaran.
"Anta harus pulang, Ustad beri Anta waktu istirahat dirumah sampai Anta bisa kembali ke pondok, Anta harus istirahat" katanya kemudian.
"Indi, Ente sakit bronkitis" kata Rian singkat.
Aku tertegun, aku tidak terkejut sama sekali. Tentu saja batuk dalam jangka waktu lama bukanlah penyakit biasa, ditambah lagi dahak darah, kepala pusing, dan tenggorokan yang panas luar biasa.
Bagaimana aku bisa pulang? Rumahku jauh dan berada di Tanjung Priok, aku di pesantren ini sudah dua tahun dan baru pulang satu kali itupun sangat jauh. Aku tidak memiliki siapapun disini, pesantren ini adalah rumah bagiku.
"Ana mau pulang gimana yaa Ustad? Rumah Ana jauh" kataku bingung
"Nanti Ustad diskusikan dengan ummi Anta, yang penting sekarang istirahat dulu, Ustad pamit dulu ya, banyak urusan. Rian tolong jaga Indi" kata Ustad sambil keluar terburu - buru.
"Bronkitis ya..." kataku sambil mengambil gelas air mineral dan menghabiskan isinya hingga tandas.
"Ente tenang aja, belum parah kok" kata Rian sambil membantuku kembali berbaring dan meletakkan kacamataku di meja.
Adzan Ashar berkumandang, Rian pamit shalat dan ke kamar mandi untuk berwudhu. Aku menatap punggung Rian, sambil kembali berfikir tentang apa yang terjadi.
Bagaimana aku bisa mengidap Bronkitis? Bagaimana aku bisa pulang? Darimana aku bisa membayar pengobatannya? Aku kembali memikirkan ekonomi keluargaku yang berkecukupan, hampir tidak mungkin bagiku untuk keluar dari pesantrenku ini.
Ponselku berbunyi, aku mengambilnya dan mengangkat telfonnya.
"Halooo?" kataku membuka percakapan.
"Indi! Gimana kabar kamu? Ini mama, kamu lagi di rumah sakit ya? Ya ampun nak, kamu kenapa?" kata suara di seberang yang ternyata adalah ibuku.
"Indi gapapa ma, Mama sendiri gimana?" tanyaku.
"Mama gapapa nak, oh iya, Indi, mama mau kasih tau sesuatu"
Suara mama terdengar sedih, tidak biasanya intonasi mama seperti itu. Pasti telah terjadi sesuatu pikirku.
"Mama kenapa!? Mama sakit?" tanyaku panik.
"Mama baik-baik aja nak, Papa kamu mau nikah lagi" kata mama kemudian.
Aku kaget, Mama langsung menutup telfon, sesaat sebelum menutup telfon aku bisa mendengar isakan tangisnya.
Walaupun sudah lama bercerai, aku paham betul kalau Mamaku masih menyayangi Papa. Ia selalu menyembunyikan kesedihannya dengan menangis sendirian di kamar saat malam tiba. Mungkin ia pikir aku tak tahu, tapi sebenarnya aku tahu semuanya.
Aku memandangi jendela kamar rawat inap dan melihat keluar sambil tersenyum tipis, sambil mencerna kembali apa yang sebenarnya telah terjadi.

Tangan Tangan KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang