2. Bambang Sang Perubah

113 7 5
                                    

Mataku memperhatikan tanggalan yang tergantung di dinding, sibuk mencari tanggal merah. Namun di bulan juli ini tidak ada tanggal merah kecuali satu dan itupun di hari minggu, sial.
Tak ada waktu bagiku untuk mendalami ilmu IT ku. Umurku baru empat belas dan menduduki kelas tiga SMP, aku belum bisa memilih jurusan mana yang kusuka. Tapi aku bisa mempelajarinya sendiri tanpa seorang guru dan tanpa biaya, jadi kenapa aku harus sekolah? Kenapa aku jarus berkutik dengan belasan mata pelajaran? Bahkan guru hanya menguasai satu mata pelajaran!

"Bang Dea nggak sekolah?" tanya adikku Putri bingung sambil memperhatikan gerak gerikku.

"Penting banget?" jawabku singkat sambil bermalas-malasan di lantai.

Aku menatap Putri yang sudah rapi dengan rok merah dan seragam batiknya, ia sibuk merapikan buku pelajarannya. Dulu aku sama semangatnya dengan Putri, tapi setelah sadar kalau sekolah tidak menentukan masa depan secara pasti, aku mundur dan berpaling ke dunia IT.
Putri berangkat dan menutup pintu rumah, meninggalkanku sendirian dirumah yang sedang sibuk mendalami segalanya tentang IT dengan tabletku. Ini adalah rumah nenekku, ibuku menitipkan aku dan Putri karena ia menikah lagi dan sedang berbulan madu. Ibuku sudah lima kali bercerai dan menikah, bahkan Putri bukan adik kandungku, dia bawaan dari ayah tiriku yang keempat.
Ayah tiriku yang baru memiliki seorang anak laki-laki yang kelihatannya sedang sakit, dulu saat aku bertemu dengannya di pertemuan keluarga, ia terus terbatuk namun walaupun begitu ia masih bisa tersenyum ramah padaku dan Putri. Kuharap aku bisa tersenyum seperti itu, namun aku tidak bisa.
Mereka sebenarnya menikah di bulan Mei kemarin, namun baru sekarang berbulan madu karena sibuk dengan segala urusan mereka. Aku tidak peduli dengan kehidupan mereka, aku lebih memedulikan diriku dan masa depanku. Aku harus mendalami ilmu IT lebih dan lebih, masalah internet aku mendapatkannya secara gratis dengan membobol wifi warnet yang dekat dari rumahku.
Aku mencintai dunia IT sebenarnya sejak aku masih kelas satu SD, namun baru mendalami ilmunya saat kelas enam SD. Sampai sekarang, aku tidak peduli dengan nilai akademik sekolahku. Ibuku juga tidak protes, ayahku pernah bilang kalau nilai matematika ku jelek aku tidak akan menjadi ahli IT yang handal. Aku bingung, apa hubungannya matematika dengan dunia IT? Begitulah orang dewasa, berkata tanpa berfikir.
Setelah lama berkutik dengan dunia IT, aku mulai penat dan butuh kesenangan. Kesenangan bisa kudapatkan dengan menjalankan hobiku, aku akan keluar sebentar. Aku mengenakan jaketku yang agak kekanakan dan mengambil kotak pianika kosong, mengisinya dengan sebuah pisau karatan untuk antisipasi atas apa yang mungkin akan terjadi.
Aku mengunci pintu rumah dan keluar, pergi ke halte busway dan menempel ke seorang nenek yang kelihatannya sendirian, petugas mengira aku adalah kerabat nenek itu sehingga aku bisa masuk secara gratis.
Meskipun umurku empat belas, tubuhku kecil. Walaupun aku sering diganggu oleh anak bertubuh besar, tubuhku ini memberikan keberuntungan. Aku bisa menjalankan misi dengan mulus tanpa ada gangguan.
Aku masuk ke busway, orang-orang hanya melihatku sebagai bocah sendirian dengan jaket bocah dan pianika di tanganku. Mereka tidak tahu isi kotak pianikaku ini, mereka hanya melihatku dari luarnya saja, aku bersyukur memiliki perawakan mungil seperti ini.
Aku turun di halte pancoran, turun dan berjalan ke tempat sasaranku yaitu toko buku yang baru saja buka. Kudengar mereka sedang mengadakan diskon besar-besaran, dan benar saja toko buku ini penuh oleh kutubuku yang menenteng tas belanjaan berisi banyak sekali buku. Dengan susah payah aku menyelip diantara kerumunan itu, lalu datang ke bagian perkakas dan memulai misiku.
Setelah memastikan tidak ada kamera pengawas dan perhatian pegawai toko buku, aku segera memasukkan pisau lempar, pisau lipat, pisau pemotong daging, golok, silet yang banyak, tali, dan banyak lagi perkakas lainnya ke dalam kotak pianikaku. Aku mengantongi silet super tajam di sakuku, silet itu mahal karena benar-benar tajam.
Untuk menutupi rasa curiga orang-orang, aku membeli sebuah buku diskon tentang IT. Tampaknya petugas juga terkecoh dengan penampilanku, bahkan tak ada satu orangpun yang curiga! aku berhasil!
Aku segera meninggalkan toko buku dan kembali ke halte, mencari orang yang bisa kutempeli seperti nenek yang tadi pagi. Namun ini jam dimana mahasiswa dan pelajar pulang, jadi aku menjalankan rencana B.
Aku mendekati seorang mahasiswa berjilbab yang sedang mengantri membeli tiket dan mulai menjalankan misi.

"Kak, tolong aku kaakk" kataku sambil memasang image bocah dan memelas.

"Kamu kenapa dik?" tanya mahasiswa itu sambil setengah berjongkok padaku.

"Aku kepisah dari mama, aku tau jalan pulang tapi aku nggak punya uang" kataku sambil mengarang.

"Yaudah, kamu sama kakak aja, kakak anter sampai halte kamu" katanya luluh sambil membelaiku dan memesan tiket lagi.

Aku berhasil menipunya, ia tidak curiga padaku sama sekali. Ia bahkan merangkulku ke dalam busway dan menjagaku dari sesaknya busway. Ia terus tersenyum padaku, namun sudah kubilang aku tidak bisa tersenyum ramah jadi aku hanya bisa diam.
Busway yang kutumpangi melindas sesuatu sehingga agak tergoyang. Sebuah silet yang kusembunyikan dibalik jaket terjatuh. Mahasiswa itu menyadarinya, ia memungut silet itu.

"Dik, kamu bawa silet?" tanyanya tidak yakin.

Aku hanya menggeleng sambil memeluk kotak pianikaku, mahasiswa itu mengantongi silet tadi agar tak ada yang terluka karena silet itu tidak dibungkus. Aku agak kecewa, silet itu harganya mahal walaupun aku mendapatkannya dengan mencuri. Tapi aku harus tetap tenang agar tak dicurigai.
Tak lama kemudian, busway berhenti di halteku dan aku pamit dari mahasiswa tadi, ia sempat memanggilku namun aku tidak menjawabnya, aku berjalan keluar busway secepatnya.
Aku memeluk kotak pianikaku dengan erat, bila kotak ini sampai jatuh, walaupun tidak terbuka pasti menimbulkan bunyi ramai yang bunyinya jelas kalau ini berisi alat berbahaya dan pasti menyita perhatian orang lalu aku akan menjadi kriminal.
Aku sampai ke rumah, namun aku melihat seorang anak laki-laki yang kukenal sedang bersandar didepan pintu rumahku dengan koper dan tasnya.

"Indi..?" tebakku. "Lo kesini sama siapa?"

"Yo Bambang, gue dikasih libur karena, uhuk uhuk... Sakit, bokap gue ngasih alamat sini, uhuk uhuk.... Katanya gue disuruh tinggal disini" kata Indi susah payah.

Aku tahu dia sedang sakit, jadi aku membukakan pintu rumah dan mempersilahkannya masuk. Ia menyenderkan koper, lalu mengambil gelas dan mengisinya dengan air lalu menghabiskannya sampai isinya tandas.

"Lu abis ngapain? Les?" tanya Indi heran melihat kotak pianikaku.

"Pianika gua ada disana" kataku menunjuk pianika yang tergeletak di depan kulkas.

Indi menatapku bingung, mungkin ia bertanya tanya apa isi kotak pianikaku ini bila pianikanya berada di sana, aku tidak bisa menahan senyuman lebarku jadi aku mengeluarkan senyumanku yang kata orang menakutkan ini.

"Kalau penasaran, buka aja" kataku memberikan kotak pianika ke Indi lalu mengunci pintu rumah.

Indi terkejut saat mengangkat kotak itu karena berat, lalu meletakannya di lantai. Terdengar suara ramai benda-benda berbahaya itu. Ia menatapku kaget, aku hanya tersenyum dan menyuruhnya membuka kotak tersebut.
Mata Indi membulat saat melihat berbagai senjata itu, semuanya masih mengkilap, aku segera menyalakan tablet dan menunjukan padanya di galeriku jebakan-jebakan berbahaya yang sudah kurancang sedemikian rupa.

"Dapet darimana?" tanyanya.

"Nyolong" kataku singkat.

Indi melihat lagi semua senjata itu dan menyadari masih ada label harga di semua senjata tadi, aku melepas jaket dan mengeluarkan silet-silet curianku dan Indi tambah kaget.

"Lo ga usah takut" kataku. "Ini cuma sekedar hobi dan nggak lebih, lu mau jadi partner in crime gue?"

".....oke" jawabnya sedikit ragu.

"Mohon bantuannya, kakak"

Tangan Tangan KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang