3. Awan Sang Perantara

80 7 0
                                    

Menurutmu, apa artinya hidup? Bagiku, hidup ini hanyalah permainan. Tidak ada yang spesial, manusia hidup untuk mati, ini hanyalah sebuah permainan seberapa kuat manusia bertahan sampai ajal menjemput.
Aku sama sekali tidak peduli, aku tidak peduli pada apapun dalam hidup ini, asalkan senang, semuanya beres. Dan kesenangan tidak harus dengan uang, aku bisa mengatasinya.
Aku adalah anak nakal, hampir setiap malam aku nongkrong dengan teman-temanku yang juga nakal. Kalau bisa dibilang, kami anak stelan alias salah gaul. Di tengah ramainya kota Jakarta Barat ini, aku hanyalah seorang anak yang tidak berarti apa- apa. Kami bukan orang kaya, kami bukan anak pejabat, atau anak orang kantoran, tapi kita menyukai kebebasan.
Malam ini, seperti biasa aku dan yang lainnya berkumpul di gang, ada juga beberapa kupu kupu malam yang ikut nimbrung, yang biasa kami lakukan adalah main gaplek, catur, dan remi lalu dilanjutkan dengan acara "melayang".
Kau tahu, beberapa dari kami adalah pecandu kokain dan sabu. Tapi kebanyakan dari kami adalah pemabuk dan perokok, sementara aku tidak memiliki uang untuk itu semua jadi aku hanya menghirup lem atau minum komix.

"Awan, kamu manis deh" kata Chika, salah satu kupu kupu malam yang ikut nimbrung dengan kami.

"Oh, thanks" jawabku tanpa tertarik.

"Judes banget siih" kata Chika menggigit bibir dan mendekatiku.

Parfum chika benar-benar tercium menyengat, aku bisa mabuk sebelum menghirup lem kalau begini caranya! Aku tidak selera dengan barang bekas seperti Chika, jadi aku bangkit berdiri dan menampar Chika, membuat semua orang disitu menengok kearah kami.

"Napa wan?" tanya Dito temanku.

"Mau cari angin bentar" jawabku sambil mengantongi lem ku dan pergi menjauh.

Jujur saja, sebenarnya aku mulai bosan dengan hidupku yang kelam ini, aku ingin sesuatu yang hebat terjadi, aku ingin perubahan. Tapi aku terlalu malas, jadi aku bingung. Apa yang harus kulakukan?
Tanpa arah dan tujuan, aku berjalan dengan pikiran kosong. Di tengah padatnya kota Jakarta Barat ini terlalu banyak kejahatan dan pergaulan bebas, lihatlah, malam hari hampir di setiap pojokan atau tempat sepi diisi oleh pasangan yang asyik bercumbu. Aku jijik, aku tidak ingin terus begini.
*****
Sinar matahari perlahan menyinari tubuh lelahku, aku terbangun dan mendapati diriku sedang berada di sebuah ruangan.
Oh aku tahu, ini adalah ruangan olahraga. Kemarin malam aku datang ke sebuah sekolah yang sudah ditutup lalu mabuk lem, kurasa aku telah pulang tapi kupikir itu pasti hanya mimpi, karena orang mabuk tidak bisa membedakan khayalan dan kenyataan.
Aku bangkit dan menengok keluar jendela dari ruangan olahraga, dari kejauhan aku melihat seseorang dengan kupluk hitam datang ke areal sekolah lewat pintu belakang.
Aku mimpi? Tidak, ini betulan.
Kurasa orang itu adalah anak-anak karena postur tubuhnya yang kecil, ia membawa kotak pianika dan masuk kesini dengan mencurigakan, ia terus celingukan seolah memeriksa apakah ada orang atau tidak disini. Ia tidak memeriksa ruang olahraga tempatku berada sekarang, jadi ia tak tahu ada aku disini.
Ternyata ia tidak sendirian, setelah memastikan tidak ada orang disini, ia memanggil anak lain yang tubuhnya agak lebih tinggi darinya, kelihatannya dia seumuranku. Entah kenapa aku penasaran, mereka menaiki tangga datar dengan sangat perlahan, aku pelan - pelan membuntuti mereka lewat tangga aspal.

"Disini cocok buat jajalnya" kata si bocah berkupluk berbisik kepada temannya.

"Buruan, gue penasaran" kata temannya sambil terus memanjat tangga datar.

Mereka ingin mencoba apa? Kotak pianika itu pasti isinya bukan pianika, suaranya saat bergoyang sedikit saja terdengar gaduh, aku jadi makin penasaran.
Aku menaiki tangga aspal dengan hati-hati, lalu aku sialnya menginjak daun kering, menimbulkan sebuah bunyi.

Tangan Tangan KecilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang