Please, Ann - 2

15.5K 1.8K 162
                                    

Diga menutup pintu mobilnya seraya memijat-mijat tengkuknya yang terasa pegal. Ia ingin pulang untuk makan siang dan tidur sebentar. Entah kenapa kuliahnya hari ini benar-benar terasa menguras tenaga. Mungkin karena tadi ia bangun terlalu pagi lalu menemani Anny untuk mengerjakan tugasnya di perpustakaan pusat. Tepat jam sembilan, ia kembali ke gedungnya untuk kuliah sampai sesore ini. Bahkan ia belum sempat mengisi perut. Kepalanya sudah pening karena terlambat makan.

Saat menyampirkan jaket himpunan berwarna orange tua di bahunya, Diga tiba-tiba dikagetkan dengan suara pagar rumahnya yang dibuka dengan kasar. Dahinya berkerut dalam saat melihat Indira keluar dari rumah dengan masih memakai seragam. Wajahnya basah dan matanya memerah. Bahkan adiknya masih bertelanjang kaki.

Diga bisa melihat kelegaan di wajah Indira saat melihatnya berdiri di depan rumah.

"Kakak!"

Indira berlari sembari sesekali mengusap pipinya. Diga semakin kebingungan. Saat Indira menabrak tubuhnya, Diga berusaha menatap wajah Indira yang disembunyikan di dada bidangnya.

"Kamu kenapa, Dek?" Diga meletakkan kedua tangannya pada bahu Indira seraya memaksa adiknya untuk melepaskan pelukan.

Indira menunjuk ke arah rumah. "Mama, Kak." Gadis itu tergugu.

Ada perasaan tak enak yang merayap pelan. Setelah mendengar suara bergetar dari adiknya, Diga hanya mampu pasrah saat gadis berseragam putih biru itu menarik-narik tangannya untuk segera masuk ke dalam.

"Tadi pas aku pulang, Mama udah ada di rumah. Di kamar udah selimutan terus pucat, Kak." Indira menjelaskan seraya mempercepat langkahnya. "Pas aku tengok, Mama kringetan sambil-"

"Mama!" Diga memekik saat melihat Mamanya memegangi dadanya. Punggung wanita itu membungkuk dalam. Sebelah tangannya berpegangan pada nakas yang berada di samping tempat tidur. Tak lama, tubuh wanita itu meluruh ke lantai diiringi suara langkah Diga yang bergegas. Pusing di kepalanya seraya hilang tak berbekas. Nyawa Diga terasa dicabut perlahan.

*****

"Kak ...." Indira menggerak-gerakkan lengan Diga yang sedang berada di genggamannya.

Diga hanya menoleh.

"Mama baik-baik aja kan?"

Diga tersenyum tipis. Harapan itu juga yang sedari tadi dirapalnya. Berharap bahwa mamanya baik-baik saja dan segera bangun dari tidurnya. Sebelah tangan Diga menarik Indira ke dalam pelukan.

"Aku takut, Kak." Suara Indira terdengar bergetar di telinga Diga. Ia tahu, adiknya sedang menahan tangis dengan susah payah.

Keduanya sedang merasakan hal yang sama. Tapi ketakutan Diga jauh lebih besar dari apa yang dirasakan Indira. Ia tak mau kehilangan orangtua untuk yang kedua kalinya. Dulu saat papanya pergi, Indira masih kecil saat itu, bahkan masih sering pipis di celana, jadi dia tak merasakan apa yang dialami Diga saat itu. Betapa dunia Diga seketika runtuh saat dokter mengumumkan jam kematian papanya dengan suara lirih.

Diga hanya diam. Yang bisa ia lakukan hanya mengelus-elus lengan adiknya. Ia tak berani bersuara. Satu suara saja dikeluarkan dari tenggorokannya, maka airmata yang sedari tadi ia tahan, pasti akan keluar juga. Cukup dengan ia diam di samping Indira dan menenangkan adiknya di pelukan. Cukup dia saja yang berusaha kuat.

Saat mengalihkan pandangan pada kaca kamar inap mamanya, Diga baru saja menyadari bahwa langit sudah berubah gelap. Lampu-lampu gedung sudah dimatikan, melebur dengan cahaya malam.

"Kamu udah makan, Dek?"

Diga tahu, jika ada dua orang sedang berada dalam kubangan kesedihan, salah satunya harus berusaha untuk kuat. Salah satunya harus tetap berusaha untuk tetap berpijak pada bumi. Diga akan membiarkan Indira bersedih selama DIga masih bisa berusaha kuat untuk adiknya.

Di dalam pelukan kakaknya, Indira menggeleng.

"Ayo makan dulu."

Indira menggeleng lagi. "Kakak aja yang makan. Aku mau di sini jagain mama."

Diga memaksa Indira untuk melepas pelukannya. "Makan, Dek. Obat tidur mama baru habis satu jam lagi. Kamu harus makan."

Indira menghela napasnya. "Yaudah ayo."

*****

Suasana kantin rumah sakit sudah sepi. Se-malam ini, yang disediakan oleh kantin rumah sakit hanyalah mie rebus dan minuman hangat. Di ruangan seluas ini, hanya ada Diga dan Indira di bagian tengah dan beberapa pria yang sedang menikmati secangkir kopi hitam sembari memaku pandangannya pada layar televisi di atas sebuah meja kayu di dekat jendela.

Diga sedang mengunyah suapan keduanya saat ponselnya bergetar keras di atas meja.

"Iya, Sayang?" sapanya setelah memastikan makanannya telah ditelan dengan baik.

"Kamu di mana?" Suara Anny terdengar jengkel.

Ah, Diga lupa mengabari kekasihnya jika ia sedang berada di rumah sakit.

Di hadapannya, Indira hanya diam dan sibuk dengan semangkuk mie rebusnya yang masih mengepul panas seolah tak ingin tahu dengan siapa kakaknya bicara. Ia tak pernah mau ikut campur masalah pribadi sang kakak.

"Di rumah-"

"Di rumah?"

Diga menjauhkan ponselnya dari telinga saat mendengar Anny memekik nyaring. Ia hanya mampu menghela napas panjang saat Anny tak mendengar sepenuhnya. Bahkan Diga belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Anny sudah merespon dengan hebohnya.

"Kamu lupa jemput aku ya? Aku dari tadi nungguin kamu di studio sambil ngerjain maket, kamu malah enggak ngabarin aku sama sekali."

Diga memijat pelipisnya. Hampir pukul sembilan saat ia melirik arlojinya. Ia memang biasa menjemput Anny di studio arsitek kampusnya setiap kali gadis itu sedang mengerjakan tugas gambar maupun maket seperti malam ini.

"Kamu di studio sama siapa?"

"Ada Andita sama Rendi."

"Kamu pulang sama Rendi aja gimana?"

Telinga Diga menangkap decakan Anny dengan jelas. "Kamu dari tadi bikin aku nunggu dan sekarang malah nyuruh aku pulang sama Rendi?"

Ingin sekali Diga menjelaskan keadaannya pada Anny. Tapi ia juga menyadari kesalahannya karena membuat Anny menunggu.

"Aku tunggu kamu."

Tut tut tut

Diga hanya mampu menatap kosong ke arah layar hapenya yang menampilkan wallpaper fotonya berdua dengan Anny.

"Kakak mau ke mana?" Indira bertanya saat melihat Diga beranjak dari duduknya.

"Kakak jemput Kak Anny dulu ya. Kamu jagain Mama. Nanti Kakak bawain baju ganti sekalian."

Indira menahan pergelangan tangan Diga.

"Makanan Kakak belum habis, Kak. Habisin dulu."

Diga hanya tersenyum tipis sembari mengelus rambut adiknya.

"Kakak berangkat ya."

Menghabiskan makanan? Bahkan rasa laparnya sudah hilang entah ke mana.

*****

a/n

Semangat buat Anny-ku yang lagi menunggu sesuatuuuu. Sukses buat kamu sayangkoooh :*



Please, AnnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang