Please, Ann - 7

12.8K 1.7K 275
                                    

Anny sengaja melewatkan kuliahnya hari ini untuk menemani Diga di rumah. Sedikit pedih juga saat merasa Diga menatapnya begitu datar seharian ini seolah tak ada emosi yang menyertai lelaki itu.

Sepeninggal para pelayat, rumah Diga terasa sepi meski masih ada Radit yang kini jatuh tertidur di bagian ujung ruangan, di atas karpet yang digelar lebar. Pintu masih dibiarkan terbuka seolah siap menerima tamu kapan saja. Anny tahu, satu-satunya Paman Diga itu pasti lelah. Sedari tadi ia harus menemani Indira yang beberapa kali histeris saat menyadari mamanya telah pergi.

Setelah menaiki tangga dan menemukan pintu kamar Diga yang terbuka lebar, Anny melangkahkan kakinya ragu-ragu untuk masuk ke dalam. Melewati pintu, gadis itu menemukan kedua tangan kekasihnya bertumpu pada pagar balkon. Napas panjangnya dihela sebentar.

"Diga," panggil Anny seraya menepuk pelan bahu kekasihnya.

Diga bergeming. Melirik ke arah Anny pun tak ia lakukan.

Punggung Anny bersandar pada balkon agar bisa memandangi Diga dengan leluasa. Ayunan di taman depan yang menjadi objek pandang Diga, Anny tahu itu.

"Makan yuk." Kali ini Anny menyentuh lengan Diga dengan lembut.

Diga masih diam seolah keberadaan Anny benar-benar tak mengusiknya. Melihat Diga seperti ini, Anny rasanya ingin menangis. Diga sama sekali tak bicara. Marah kepadanya pun tidak. Padahal Anny tahu jelas, beberapa hari ini ia benar-benar terlalu egois. Emosi Diga kali ini benar-benar tak bisa ditebak. Bahkan berapa kali Diga menangis tadi bisa Anny hitung hanya dengan sebelah tangannya. Saat berbicara dengan Anny pagi tadi dan saat memandangi foto mama. Selebihnya, Diga tak menunjukkan emosi apa pun.

"Kamu enggak laper?"

Anny merasa kedua matanya panas. Melihat Diga seperti ini, rasanya sakit sekali.

Ia berdehem-dehem kecil. "Kamu mau makan apa?"

Setitik air mata jatuh meluncur di sebelah pipi Anny. Lebih baik Diga memaki-makinya dan menangis sekencang-kencangnya daripada diam seperti ini. "Mau makan nasi goreng? Kamu suka nasi goreng kan? Aku bikinin ya."

Anny mendesah lega saat Diga bereaksi kali ini. Diga menoleh, memandang lama ke arah Anny. Diam tanpa ekspresi.

"Mau ya?" tanya Anny lagi seraya mengusap lembut lengan Diga.

Diga mengalihkan pandangnya lagi. "Kamu enggak bisa masak. Enggak usah."

Anny tersenyum kecut. Kenyataan itu benar. "Bisa kok."

Diga tak lagi bersuara.

"Aku ke dapur ya," pamit Anny akhirnya.

Demi Diga. Kali ini ia lakukan semuanya demi kekasihnya. Kali pertama ia harus mengalah.

*****

Anny sedikit kesulitan menelan salivanya saat hasil karyanya tersaji di tiga piring sama rata. Mendadak ia menyesal karena menawarkan diri untuk membuatkan nasi goreng untuk Diga, Indira, dan dirinya sendiri. Jika saja ini malam hari, maka Anny lebih memilih untuk membuang nasi goreng hasil karyanya ke dalam tempat sampah daripada harus memandang ribuan bulir nasi berwarna merah tak sama rata dengan bawang putih yang belum halus sempurna, kemudian menggantinya dengan nasi goreng baru yang dijual di pinggir jalan. Bahkan ia tak bisa membayangkan bagaimana rasanya jika ia harus mengunyah bawang putih itu secara tak sengaja.

Saat mendengar langkah kaki mendekat, Anny buru-buru menutupi piring-piring tersebut dengan tudung saji. Di hadapannya kali ini ada Indira yang melingkarkan kedua lengannya erat-erat di perut Diga sementara lelaki itu sedang sibuk dengan ponselnya yang tiba-tiba berbunyi.

"Mana nasi gorengnya?"

Anny memegang erat-erat gagang tudung saji seraya menggeleng cepat. Di hadapannya, Diga memandangi Anny dengan datar. Sebelah telinganya menempel pada ponsel, berbicara-entah-pada-siapa di seberang sana.

Gadis itu sempat mendengar Diga meminta si penelpon untuk menunggu sebentar sebelum Diga berbicara padanya. "Buka."

Anny menggeleng kuat.

Diga bergeming. Kedua matanya menatap fokus ke arah Anny tanpa mengalihkan pandang sama sekali sementara Indira di pelukannya hanya diam. Gadis kecil itu rupanya masih shock dengan kepergian mamanya.

Perlahan-lahan Anny menunduk dalam karena tatapan Diga yang begitu mengintimidasinya. Bahkan ia juga melepas genggamannya pada gagang tudung saji di atas meja. Anny mengalah.

Saat Diga akhirnya menatap tampilan nasi goreng a la Anny di hadapannya, lelaki itu tak bereaksi sama sekali sampai Anny memutuskan untuk mendongak. Jantung Anny terasa berdebar saat tak bisa membaca reaksi yang diberikan dari Diga yang hanya diam. Bahkan tatapan dari kedua mata Diga sama sekali tak terbaca.

Anny memerhatikan Diga yang menyendokkan sesuap nasi ke dalam mulutnya. Ditunggunya reaksi dari Diga saat ia melihat rahang lelaki itu bergerak untuk mengunyah. Rasanya Anny bisa bernapas lega saat Diga berhasil menelan nasi gorengnya dengan tenang.

Disuapnya sesendok nasi goreng untuk dirinya sendiri bersamaan dengan Diga yang menyuapi Indira. Saat merasa kesulitan untuk menelan makanannya sendiri, di waktu yang sama pula ia melihat Indira berlari ke arah wastafel dan memuntahkan apa yang baru saja ia kunyah. Bukan hanya Indira yang merasakan betapa mengerikan rasa masakannya. Tapi Anny juga. Melihat Diga yang mau mengalah dan menelan makanannya dengan diam beberapa menit lalu, Anny rasanya malu. Diga selalu menghargainya.

Tanpa pikir panjang, Anny memutuskan untuk mengangkat ketiga piring tersebut daripada ia meracuni seisi rumah karena masakannya. Bersamaan dengan itu, ia melihat Diga kembali berbicara melalui ponselnya.

"Iya, bawain nasi sama ayam aja kesukaan Indira sama satu lagi buat Anny."

Anny hanya diam memerhatikan Diga yang sedang berbicara.

"Enggak, Ra. Gue enggak usah—iya oke—Makasih, Ra."

Dug

Diga lagi-lagi memandang datar ke arah Anny yang baru saja menghantamkan bagian bawah piring pada permukaan meja makan. Bahu Anny naik-turun dengan cepat.

"Siapa tadi?"

Diga bisa mendengar Anny bertanya penuh kekesalan.

"Rara? Iya, Dig?"

Diga masih diam. Kepalanya sudah cukup pusing untuk menghadapi Anny yang sedang emosi saat ini.

"Buat apa kamu minta dia beli makanan? Di sini ada aku, Dig! Kamu anggep aku apa sih?" Kali ini Anny benar-benar emosi. Wajahnya sudah cukup basah karena tangis.

Sejenak Diga memejamkan mata seraya memijit pelipisnya. "Jangan egois, Ann," ucapnya lirih.

Anny berjalan menghentak-hentak. Saat Diga membuka kedua matanya, Anny menekan telunjuknya tepat ke dada Diga.

"Kamu yang egois, Dig," geramnya pelan.

Kali ini Anny bisa melihat perubahan emosi Diga. Dahi Diga berkerut dalam seraya menggeleng-geleng pelan.

"Aku bisa tahan sama masakanmu, Ann. Tapi adikku? Kamu pikir aku tega biarin Indira muntah-muntah kayak tadi? Hah?"

Anny terdiam. Kata-kata Diga benar-benar menohoknya.

"Ketiga kalinya aku bilang hari ini ke kamu. Jangan egois lagi," tandasnya sebelum memutuskan untuk membawa piring nasi gorengnya ke kamar.

*****


Please, AnnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang