Please, Ann - 6

12.2K 1.7K 356
                                    

Pagi ini Anny bangun dengan rasa kaget yang luar biasa saat teringat ada beberapa baris pesan dari Diga yang sengaja tak ia acuhkan. Rasanya ada pisau yang menikam jantungnya perlahan-lahan.

Mama sakit, Ann.

Anny berulang kali membaca satu baris itu dengan seksama. Kedua matanya terasa panas. Rasanya ia ingin menangis saat menyadari seharusnya semenjak beberapa hari lalu ia mendampingi Diga. Air matanya meluncur pelan saat mengingat dua hari lalu Diga menyebut kata rumah sakit sebagai penyebab kantung matanya yang membengkak. Bahkan kemarin saat mereka bertengkar, Diga juga berpamitan ingin ke rumah sakit tapi Anny tetap tak acuh. Anny tetap tak ingin tahu lebih jauh. Yang ada di pikirannya, Diga lebih mementingkan urusannya daripada kekasihnya.

Anny menutupi wajahnya dengan kedua telapak tangan. Ia menggeleng-geleng pelan. "Goblok banget lo, Ann."

Baru saja berniat untuk menghubungi Diga, Anny kembali dikagetkan dengan getaran dari ponsel yang berada di genggamannya. Jantungnya serasa ditarik cepat ke bawah. Satu pesan berisi broadcast berita duka.

Telah meninggal dunia:

Ibunda dari Diga Oktavian, Teknik Geologi, angkatan 2013 pada pukul 17.35 tadi malam. Bagi yang ingin berkunjung ke rumah duka, bisa berkumpul di depan BEM Fakultas Teknik Geologi pada pukul 10.00 pagi ini.

Anny terisak semakin kencang. "Diga, maaf, Dig. Maaf."

*****

Anny merapatkan jaketnya sembari menekan tombol lock pada kunci mobilnya. Berulang kali ia menelan salivanya dengan susah payah saat menyadari ada bendera kuning diikat erat pada pagar rumah Diga menggunakan seutas tali rafia berwarna putih. Jam di ponsel Anny belum genap menunjukkan pukul enam pagi. Pintu rumah Diga dibuka lebar-lebar. Ada beberapa orang berpakaian serba hitam duduk di dalam, mungkin tetangga komplek yang memang berniat untuk takziah.

Gadis itu mulai menangis lagi saat mengingat bahwa Diga kehilangan mamanya semenjak malam tadi dan Anny tidak ada di sampingnya untuk menemani atau bahkan memeluk Diga kemudian menenangkannya. Jika saja Anny mengacuhkan pesan Diga semalam, maka takkan ada penyesalan yang terasa pedih sampai ke sendi-sendinya.

Saat melihat ada seorang wanita paruh baya baru saja keluar dari rumah Diga, Anny buru-buru mengusap habis air matanya yang mengalir tadi.

"Bu, maaf." Anny menunduk sopan. "Jenazah Bu Sandra sudah dimakamkan?"

Wanita itu mengangguk pelan. "Sudah, Dek. Setengah jam lalu."

Anny tiba-tiba merasa tenggorokannya tercekat. Gadis itu berdehem sebentar sebelum kembali mengangguk sopan. "Makasih, Bu."

Si ibu tersenyum tipis. "Iya, Dek. Mari."

Penyesalan Anny kembali datang. Lagi-lagi ia terlambat. Mama Diga sudah dimakamkan.

Entah kenapa Anny kembali menangis saat melihat serombongan orang berpakaian serba hitam dari kejauhan. Pasti Diga ada di antara mereka. Pagi tadi saat Anny selesai membaca pesan duka, gadis itu segera bergegas pergi ke rumah Diga. Bahkan ia tak peduli dengan pakaian tidurnya yang masih melekat dan kaki yang hanya beralaskan sandal jepit.

Saat melihat Diga berjalan ke arahnya bersisian dengan Rara yang sedang merangkulnya, Anny hanya mampu menghela napas. Seharusnya ia bisa berada di posisi Rara saat ini. Tapi ini bukan waktu yang tepat untuk mempermasalahkan siapa yang ada di samping Diga saat ini.

Rara refleks melepaskan rangkulannya saat sadar dengan keberadaan Anny yang berdiri di depan pagar rumah Diga yang terbuka lebar. Rara berjalan cepat ke dalam rumah Diga sementara Diga menghentikan langkahnya sembari memandang datar ke arah Anny.

Menyadari bahwa Diga sedang menunggunya, Anny refleks mengayunkan langkahnya dengan cepat sampai menubruk tubuh Diga sembari mengeratkan pelukannya pada punggung Diga. Diga hanya bergeming seolah tak ingin membalas pelukan Anny meski hanya sedetik saja.

Anny terisak kencang. "Maaf, Dig. Maaf. Maafin aku. Aku enggak tau," racau Anny di tengah tangisannya. "Harusnya aku--" Gadis itu kesulitan menelan salivanya.

"Harusnya aku enggak egois," lanjutnya dengan suara yang semakin melemah.

Merasa bahwa Diga hanya diam tak memberikan respon apa pun, Anny melepas pelukannya. Ia merasa ketakutan saat memerhatikan tatapan Diga yang kosong mengarah jauh ke depan.

"Diga ...." Anny menggenggam pergelangan tangan Diga. "Maafin aku." Gadis itu menunduk dalam. "Harusnya aku tahu."

Diga masih saja bergeming.

"Harusnya aku ada waktu kamu butuh aku," ujarnya sembari memberanikan diri untuk memandang Diga yang kali ini membalas tatapannya.

Tak ada yang bisa Anny selami dari dalamnya kedua bola mata Diga. Hampa. Kosong. Anny tak mengerti. Diga hanya memandangi Anny dengan tatapan datar. Tapi tubuh Anny terasa meremang karena untuk kali pertama ia merasa terintimidasi dengan tatapan kekasihnya.

Dengan tangan gemetar, Anny memberanikan diri untuk menyentuh sebelah pipi Diga. "Kamu boleh marah," lirihnya.

Merasakan sentuhan tangan Anny yang begitu dingin di permukaan pipinya, Diga refleks memejamkan mata.

"Tapi jangan diem gini, Dig. Ngomong sama aku," lanjut Anny.

Sampai Anny menyelesaikan kalimatnya, Diga masih saja memejamkan kedua matanya rapat-rapat. Anny hanya diam seolah meyakinkan diri bahwa sebentar lagi Diga akan berbicara padanya.

Saat mengusap lembut kantung mata Diga yang terlihat sembab, Anny sempat terkesiap saat ada bulir air mata meluncur pelan di pipi Diga ketika lelaki itu membuka kedua matanya. Kali ini Diga membalas tatapan Anny. Diga menangis tapi Anny masih tak bisa menyelami kedua bola mata itu.

"Lain kali jangan egois, Ann," ujar Diga sembari beranjak pergi.

Anny hanya mampu terpaku. Sebelah tangannya kali ini menyentuh angin.

*****

A/n

Hai, tengok foto yang di mulmed gak? Alhamdulillah hari ini ada kumcer yang isinya tulisanku sama temen-temen TimKafeKopi, terbit. Senangnyaaaah akhirnya punya buku yah meski masih kumcer dan bukan karya sendirian sih /nangis terharu/ ada yang tertarik beli kah? Pm aku di message yaaaaa xD

P.s

ANNY DAN DIGA AKAN TAMAT DUA PART LAGI YEEEEEY /tebar confetti/

Please, AnnTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang