Bab 9 - Perjalanan

21.8K 1.5K 50
                                    

Hai hai, Rara kembali...

Gak pake curcol ye. Happy reading...

Duduk di peron stasiun Gubeng, aku melirik sebal Kak Radit. Bulan madu back packer? OMG, apa kata dunia. Aku menarik napas dalam lalu menghela berat, duduk sambil memeluk tas ransel berisi semua keperluan yang tadi pagi disiapin sama Kak Radit. Aku menelengkan kepala, mikirin apa aja barang yang udah dimasukkan ke dalamnya. "Apa semuanya lengkap?" gumamku.

Kak Radit melipat koran yang ia baca. "Sudah lengkap. Termasuk baju dalaman. Kita mesti ke jalur dua sekarang atau kita harus lari mengejar kereta." Kak Radit menarik tanganku sampai aku berdiri. Kupakai ransel di punggung sambil sekali lagi menghela napas berat.

Kami berjalan bergandengan tangan melewati kerumunan penumpang yang sibuk dengan urusan masing-masing. Melihat punggung Kak Radit yang dihiasi tas carrier ukuran enam puluh liter berwarna abu-abu. Ingin rasanya kumantrai tas itu biar jadi koper, stasiun ini menjadi bandara dan kaos hitam lusuh plus celana kargo abu-abu yang dipake Kak Radit berubah jadi setelan jas. Andai saja itu bisa terjadi, oh senangnya hati ini.

Buk! Karena meleng, aku gak ngeh kalo ternyata Kak Radit sudah berhenti, bikin aku gak sengaja menabrak seseorang di depanku. Seorang pria memakai seragam tentara menoleh, memandangku dengan tatapan tajam. Sesaat aku merasa ngeri dengan wajah garangnya, ia menggelengkan kepala pelan lalu pergi meninggalkanku. Fiuh, kupikir orang itu bakal marah-marah.

"Orang segede itu main tabrak aja," ledek Kak Radit.

Aku menoleh, menyipitkan mata sebal sama ucapan Kak Radit. "Ck. Kakak sih." Aku mengerucutkan  bibir, marah banget sama Kak Radit.

Kak Radit merangkul pundakku, kami berjalan ke jalur dua dimana kereta sudah terlihat dari kejauhan. Kak Radit mendekatkan bibirnya di telingaku. "Jangan manyun! Jelek," ledeknya.

Aku menoleh sambil menggerakkan bibir, membentuk umpatan salah siapa merusak suasana. Aku membuang muka, malas liat muka Kak Radit yang tiba-tiba ngingetin aku sama Kak Rio. Tapi memang benar kalo Kak Rio dan Kak Radit satu tipe yang bagiku engga banget.

Kereta semakin lama semakin mendekat  hingga akhirnya ia berhenti. Baru kusadari kalo ternyata kereta yang kutumpangi gak lain dan gak bukan, kereta ekonomi ber-ac. Aku melirik Kak Radit, seharusnya pake kereta eksekutif atau minimal bisnis lah, bukan kereta ekonomi yang wajib beli tiketnya di stasiun ini.

"Kenapa?" Kak Radit menunggu jawabanku, aku menggelengkan kepala beberapa kali, enggan menjawab pertanyaannya.

Aku mendekati pintu kereta, beberapa orang turun dari kereta sementara yang lain sudah gak sabar untuk naik. Budaya berdesak-desakan bikin aku hampir jatuh andai Kak Radit gak merangkul pinggangku. Saat semua penumpang sudah turun, Kak Radit buka jalan untukku, aku naik kereta dengan bantuan Kak Radit yang mendorong pantatku. Dasar, modusnya Kak Radit.

"Nomer sembilan belas D,E gerbong lima, Ra ... Ini gerbong empat," kata Kak Radit.

Aku berjalan hati-hati menuju gerbong lima, kursi nomer sembilan belas. Setelah menemukan kursi, aku melepas ransel dan menyerahkannya ke Kak Radit. Kursi di depanku berisi sepasang kekasih yang mesra tingkat akut. Gak tahu ini tempat umum, eh mereka malah asyik menempel kayak prangko.

Aku segera duduk di dekat jendela, memandang seorang cewek yang mungkin umurnya gak jauh beda denganku. Ia tersenyum lalu menoleh kepada seorang cowok yang kukira pacar atau suaminya.

Kak Radit duduk di sebelahku, ia kembali membuka koran dan membacanya. Baru beberapa detik aku sadar kalo perjalanan yang makan waktu lama ini kayaknya bakal bikin boring setengah mati. Apalagi melihat cewek di depanku yang asyik meletakkan kepala di sela leher cowoknya. Sementara lengan cowok itu melingkar di pinggang cewek itu. Mengelus perut perempuan itu dan entah sengaja atau enggak, tangan cowok itu naik ke atas dada ceweknya. Sukses aku membuang muka, memandang Kak Radit yang asyik dengan korannya.

My Wedding StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang