18+
Aku memutuskan untuk membuat sarapan pancake pagi ini setelah semalaman menangis sambil menahan lapar karena sikap brengsek Pram tadi malam.
"Apa yang kamu buat untuk sarapan kita?" Pram telah berdiri tepat di belakangku sambil melihat aku memasak. Ia seolah merasa tidak bersalah atas sikapnya padaku tadi malam. Dasar!
Belum sempat aku menjawab tiba-tiba saja nenek lampir itu telah bergelayutan manja pada lengan Pram. "Pram, aku udah lapar sayang. Bagaimana kalau kita sarapan di luar?"
Pram juga sama menjijikannya dengan wanita ini. Ia malah mencubit gemas hidung wanita itu dan sibuk mempertontonkan kemesraan mereka padaku. "Sabar sayang. Sebentar lagi sarapan kita siap." Mereka segera pergi menuju ruang makan tanpa memperdulikanku. Kamu harus tenang, Kiara.
Aku sangat ingin cepat-cepat pergi dari hadapan mereka jika saja aku tidak merasa kelaparan saat ini. Hingga tiba-tiba aku mendengar bel apartemen berbunyi. "Biar aku yang melihat."
"Hai, Mbak." Dafam muncul di depan pintu apartemenku dengan tampilannya yang pagi ini harus aku akui sangat tampan. "Boleh aku masuk?" tanyanya lagi.
"Ya ayo.." Aku bersyukur Dafam datang, setidaknya aku tidak seperti kambing congek di depan Pram dan pacarnya. "Bagaimana kamu tahu nomor apartemen mbak?" tanyaku heran.
Ia hanya menatapku sambil tersenyum. "Rahasia lelaki," ucapnya jahil sambil mengedipkan mata. Aku hanya tersenyum mendengarnya.
"Kamu belum sarapan kan? Ayo ikut bergabung sama keluargaku." Aku menarik tangannya ke ruang makan. Aku akan menbalas kamu, Pram.
"Kenalin Daf, lelaki yang duduk ini adalah abangku dan ini istrinya." Aku menunjuk Pram dan pacarnya yang langsung membuat Pram terbatuk-batuk karena ucapanku.
"Dafam" Dafam menjulurkan tangan pada mereka yang disambut kaku oleh mereka berdua.
"Ayo duduk, Daf. Kamu mau pancakenya pakai sirup apa?"
"Cokelat aja mbak."
Kami makan dalam diam. Tidak, Pram dan pacarnya yang diam sedangkan aku dan Dafam asyik berbicara. Seandainya aku punya adik, aku pasti akan menjodohkannya dengan Dafam. Tiba-tiba saja tangan Dafam mengelus bibirku membuatku kaget.
"Ada cokelat di bibir mbak." Ia menatapku lembut yang disambut dengusan kasar oleh Pram.
"Kiara, ikut aku sebentar." Pram menarik tanganku kasar menuju kamarnya.
"Kamu kenapa sih Pram?!" seruku marah. "Kenapa kamu membawa aku kesini? Bagaimana kalo nanti pacar kamu datang?" Entah kenapa Pram terlihat sangat emosi.
"Siapa little chicken itu?" tanyanya geram sambil mengepalkan tangannya melihatku.
"Apa sih maksud kamu? Aku tidak mengerti." Aku mendorong tubuhnya dan kembali membuka pintu kamar saat tiba-tiba dia menutup kembali pintu itu. Dan menyudutkan tubuhku di dinding. "Jangan berpura-pura bodoh," desisnya tajam. "Siapa lelaki itu, Kiara?"
Aku menatapnya bingung. "Kenapa memangnya? Kamu cemburu?" tanyaku sinis. Itu adalah hal yang sangat mustahil sebenarnya namun tidak bisa dipungkiri sikap Pram saat ini seperti pria yang sedang cemburu.
Pram semakin merapatkan tubuhnya padaku. "Jangan besar kepala, Kiara. Aku tidak pernah mencintai kamu." Ia kemudian pergi meninggalkanku.
"Tunggu, Pram," teriak ku. Ia kemudian berhenti tanpa menoleh ke belakang. "Sebenarnya siapa wanita yang kamu cintai? Atau kamu memang tidak mengerti arti cinta. Kamu bilang kamu mencintai Karina tapi kamu malah mempunyai pacar yang lainnya bahkan kamu bisa berhubungan badan bersama wanita sepertiku yang kamu bilang kamu benci!!" Aku meluapkan semua amarahku kali ini padanya. "Kalau kamu tidak cemburu kenapa kamu harus marah saat aku bersama lelaki lain. Kamu tidak berhak, Pram." Aku berjalan mendekatinya dan menekankan setiap kata yang aku ucapkan. "Kamu sangat tidak berhak," bisikku lirih dan segera pergi menemui Dafam di luar.
....
Sejak hari itu hubunganku dan Pram menjadi semakin dingin. Ia tidak lagi memakan masakan yang aku buat. Bahkan ia semakin jarang pulang. Sepertinya aku semakin pesimis untuk bisa menaklukkan hati Pram.
"Kamu sudah pulang?" Pram terlihat berantakan dengan rambut acak-acakan dan bajunya yang kusut. "Aku akan siapkan makan malam."
"Tidak perlu. Aku sudah makan," ucapnya dingin.
"Tadi mama menelpon dan mengundang kita untuk datang ke rumahnya besok." Ia hanya diam dan memilih masuk ke kamar.
"Praam...!!" Aku membuka pintu kamarnya kasar untuk meminta penjelasan. Namun ternyata aku malah disuguhkan pemandangan yang luar biasa. Ya Tuhan, Makhluk mu begitu seksi. Wajahku menjadi panas karena membayangkan adegan dewasa yang sering kami lakukan bersama.
"Lap air liurmu itu," dengus Pram mengejekku.
Aku buru-buru membersihkan mulutku. Ternyata dia bohong. Dasar Pram sialan. "Aku mau bicara."
"Tidak ada yang perlu kita bicarakan," ucapnya cuek. Dengan wajah tanpa dosa ia malah semakin berani dan membuka celananya di depanku. "Ya Tuhan... Pram!! Kamu sengaja kan??" Aku sangat yakin saat ini ia ingin menggodaku dengan tubuh polosnya yang seksi itu.
Ia melihatku sinis. "Kenapa wajahmu menjadi merah seperti itu? Kamu menginginkanku kan Kiara?" ejeknya kembali.
Baiklah, kali ini jangan salahkan aku Pram. Aku mencium bibirnya dengan ganas dan membuatnya melotot menatapku. Namun setelah sekian detik ia malah lebih ganas dan memimpin permainan. "Kau sungguh wanita yang agresif," bisiknya sambil mengambil nafas. Dan kami kembali berciuman hingga tanpa sadar tubuh kami berdua telah polos dan aku telah berbaring di lantai dengan Pram yang telah menghujam miliknya padaku. "Praaam..." teriakku keras saat puncak kenikmatan itu menghampiriku. Ia semakin mempercepat gerakannya hingga kemudian ia menyusulku dan meneriakkan namaku.
Kami mengambil nafas beberapa menit saat tiba-tiba Pram kembali menarik tubuhku untuk membelakanginya dan kami melakukan doggie style untuk waktu yang lama. Sungguh gila tenaganya. Bahkan kami tidak sempat untuk melakukannya di ranjang yang bahkan sangat dekat dari kami.
"Praam.." desahku kembali. "Lebih cepat...ahh.."
"Kali ini kita akan keluar bersama, sayang." Ia memacu tubuhku dengan cepat dan kuat hingga kami mendapatkan puncak kenikmatan itu bersama.
"Tidurlah," bisiknya lembut setelah mengangkatku ke atas tempat tidur. Ia kemudian mengecup bibirku singkat.
Aku menarik tangannya saat ia akan pergi. "Ternyata berkompromi denganmu butuh tenaga yang sangat besar ya?" ejekku padanya.
"Mulutmu memang benar-benar," gelengnya terkejut. "Tidurlah atau aku akan melakukannya kembali." Ia menatapku tegas sambil menunggu mataku terpejam.
"Baiklah, Tuan pengatur."
Sorry lama dan feelnya yang mungkin kurang dapat. Saat ini terus terang tidak ada semangat untuk melanjutkan cerita ini namun tetap harus dilanjutkan karena kentaang itu tidak menyenangkan. Selamat menjelang tahun baru semua :D