Seven

53 10 0
                                    

Rasanya, hatiku yang sudah remuk ini semakin hancur. Air mata tidak cukup untuk menghapuskan segala perasaan yang aku rasakan saat ini.

Aku segera pergi meninggalkan kantin dengan air mata yang sudah mengalir, pergi dengan tatapan bertanya-tanya dari orang-orang disekitarku.

Ketika aku kembali ke dalam kelas, semua teman sekelasku menatapku dengan tatapan kasihan, yang hanya membuatku merasa semakin lemah, lemah karena sebegitu mudahnya dia membuatku menangis dan karena tatapan teman sekelasku yang membuatku seperti tidak berdaya.

Aku ingin pulang.

"Ra, ini tisu," seorang perempuan bernama Hana yang merupakan teman sebangkuku memberikan beberapa lembar tisunya padaku, "Lo perlu ini. Lo jangan pergi dulu ya, tunggu sini." lanjutnya

Hana memang perempuan yang perhatian.

Hana kembali bersama Edo, ketika melihatku Edo langsung memelukku dengan erat, yang membuatku sedikit lebih rileks, "Kalo lo mau pulang, ayo gue temenin."

Aku menatapnya dengan tidak setuju, "Lo lagi kayak gini? gue tinggalin sendiri? yang ada lo malah bikin gue khawatir," Edo masih memelukku dan mengusap-usap punggungku pelan, "Lagian gue jadi punya alesan buat cabut kan." bisiknya pelan.

Mungkin jika aku tidak dalam keadaan sedih yang diamat sangat, aku sudah mengomeli Edo yang masih saja bandel. Namun, sepertinya memang lebih baik ditemani Edo daripada benar-benar sendiri.

Setelah berhasil mendapatkan izin dari guru piket dengan alasan urgensi keluarga yaitu Kakek kami meninggal, yang sebenarnya memang sudah meninggal jauh sebelum kami lahir.

Salahkan Edo saja ya kek, aku diam saja ketika kami bertemu dengan guru piket.

Kami akhirnya keluar dari area sekolah menggunakan mobil Edo, yang membuat aku terpaksa menitipkan mobilku pada penjaga sekolah.

"Kemana nih kita?" tanyanya

"Rumah."

"Siap Nyonya."

"Lebay." Edo hanya terkekeh pelan kembali memfokuskan dirinya ke jalan

Sambil menyenderkan kepalaku ke jendela, aku menyibukkan diriku dengan menghitung jumlah tanda lalu lintas yang kami lewati, berusaha untuk menyingkirkan bayangan Vino dengan perempuan itu.

Begitu sampai di rumah, Edo memaksaku untuk menunggu di ruang keluarga dan tidak mengurung diri di dalam kamar, aku menurutinya.

Sambil menunggu Edo yang entah sedang apa, aku tidak bisa menahan diriku untuk memikirkan kejadian tadi, Vino sepertinya benar - benar terlihat bahagia, bukannya kebahagiannya juga kebahagiaanku juga? Sepertinya inilah pertanda untukku untuk benar-benar melepaskan bayang-bayang Vino.

Tapi mengapa ini begitu sulit?

Mungkin ini salahku yang terlalu menggantung harapan tentang aku dan dia terlalu tinggi, yang membuatku jatuh begitu keras. Dalam bayanganku, dia seperti menggandengku, menarikku terbang bersamanya, namun kemudian dia melepaskan tanganku begitu saja, dan aku tidak memiliki apapun yang akan menangkapku.

"Woi, nih gue bikinin hot chocolate dengan tambahan susu, kesukaan lo itu." Edo memberikan sebuah mug padaku, sedangkan untuk dirinya sebotol coca-cola. Kemudian ia duduk di sisi lain dari sofa yang aku duduki

"So, ready to let it all out?" Katanya

Aku mendesah, lalu menjawab "I guess, i am."

---

Halo!

Ini post terakhir gue di tahun ini, ehe, daaan post terakhir sebelum liburan benar benar selesai juga, jadi gue bakal update lagi kalo udah masuk lagi deh, tapi gatau sih.. Kali aja tiba tiba langsung niat banget gitu buat nulis.hewhew.

Oiyaaaa, selamat tahun baru yaaa! Semoga di tahun 2016, kita semua bisa dapetin / menggapai apa yang tahun ini kita gadapet

Anjas.

Oiya, makasih ya udah baca + vote + comment! Gue sangat menghargai kalian XD

Part ini juga ga di baca ulang sama sekali jadi.. ya gitu deh'-'

-R

(31/12/2015)

To Forget Brokenheart  [SLOW UPDATE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang