PROLOG (Thoracopagus)

3.3K 81 1
                                    


Hujan deras. Tanah basah. Angin begitu kencang berhembus. Jalan raya terlihat sepi. Hanya ada beberapa kendaraan saja yang melaju. Pintu dan jendela di setiap rumah tertutup rapat, mungkin karena semua orang ketakutan mendengar suara petir yang terus-menerus silih berganti menyambar. Pagi yang sangat menyeramkan hari ini.

Di ruangan UGD sebuah Rumah Sakit, jeritan seorang wanita terdengar keras. Dia terus mengejan, berjuang untuk melahirkan bayi yang ada dalam rahimnya. Keringat yang membasahi seluruh tubuh dan rasa sakit yang luar biasa tidak membuatnya putus asa berjuang agar sang anak bisa lahir ke dunia dengan selamat.

Waktu berlalu. Dan tetap saja, bayi itu tak kunjung keluar juga. Kondisi sang ibu semakin melemah, sungguh sangat membuat cemas. Akhirnya, tim dokter memutuskan untuk operasi caesar, memasksa bayi itu keluar demi menyelamatkan nyawa ibunya.

Seorang perawat bergegas keluar dari ruang UGD dengan tergesa-gesa dia membuka pintu lalu menutupnya kembali.

"Bagaimana keadaan di dalam, Sus?" tiba-tiba seorang pria berkacamata dengan wajah cemas menghampiri perawat.

"Harus dilakukan operasi caesar, Bapak sebaiknya ikut bersama saya untuk menandatangani surat persetujuan operasi. Kita berdoa untuk keselamatan istri dan anak Bapak."

Tidak berapa alama, beberapa perawat masuk ke ruang UGD membawa peralatan operasi. Operasi dimulai. Tim dokter sangat berhati-hati dalam bertindak. Dengan susah payah dua tangisan bayi terdengar, lahirlah dua bayi laki-laki tepat di jam 12:00.

Sang ayah yang menunggu di luar ruangan merasa sangat bahagia dan sumringah karena anak pertamanya telah lahir. Berbeda dengan suasana di dalam, semua tim dokter terkejut melihat keadaan kedua bayi itu. Dada mereka menyatu, mereka kembar siam.

Pintu ruangan UGD dibuka, sang suami yang sudah menunggu lama di luar ruangan langsung menghampiri dokter.

"Bagaimana keadaan istri dan anak saya, Dokter?" tanyanya.

"Sebaiknya sekarang Bapak ikut ke ruangan saya dulu, ada yang harus kita bicarakan!"

Pria berkacamata itu mengerutkan alisnya, dia kembali gelisah mendengar perkataan dokter. Tanpa berpikir lama, dia pun menyusul dokter yang sudah berjalan lebih dulu meninggalkannya.

Pria berkacamata itu duduk berhadapan dengan dokter. Mereka hanya terhalang oleh sebuah meja.

"Sebuah anugerah, istri dan kedua bayi laki-laki Bapak bisa selamat," ujar dokter.

"Syukurlah! ... Ternyata aku langsung memilki dua anak kembar sekaligus. Hebat, kan, Dok? Hahaha!" Pria berkacamata itu tertawa terbahak-bahak, sekarang pikirannya kembali tenang.

"Tapi kedua bayi Bapak mengalami kecacatan."

"A ... apa? begitu pelan suara itu keluar. Pria berkacamata itu melongo. Raut mukanya berubah derastis.

"Lebih tepatnya lagi, kedua bayi, Bapak, kembar siam, dada mereka menyatu dan hanya memilki satu jantung saja," ujar dokter melanjutkan penjelasannya.

Tubuh pria berkacamata itu lemas, perlahan dia mengusap wajahnya dengan kedua tangan. "Ba ... ba ... bagaimana sekarang? Apa yang ahrus kita lakukan, Dok?"

"Kejadian ini disebut thoracopagus, biasanya kembar siam seperti ini, bila tidak dilakukan pemisahan secepatnya, mereka tidak akan bertahan dalam waktu 20 jam, karena jantungnya yang harus bekerja extra."

Pria berkacamata itu berdiri, "Tunggu apalagi? Kita lakukan operasinya sekarang, Dok!"

"Jika kita melakukan operasi, hanya ada satu bayi yang akan hidup, Bapak harus memilih, kepada bayi mana jantung itu ditempatkan, dan persentase keberhasilan operasi, pun, sangat tipis."

Pria berkacamata itu langsung duduk kembali. Kedua tangannya mulai gemetaran mendengar ucapan yang sangat menyakitkan itu. Begitu kacau hatinya, sama kacaunya dengan cuaca di luar rumah sakit. Dia berdiri, tidak lagi mendengar penjelasan yang dokter berikan. Laki-laki itu pergi meninggalkan ruangan.

Sementara itu, istrinya terbaring dengan mata terpejam di atas kasur. Seseorang membukakan pintu kamar perawatan, lalu berjalan perlahan menghampiri wanita yang sedang tertidur itu. Dia duduk di kursi, di sisi tempat wanita itu terbaring.

Ternyata dia adalah suaminya. Kepala pria berkacamata itu terus menunduk, terngiang kembali perkataan dokter tadi.

Biasanya, kembar siam seperti ini bila tidak dilakukan pemisahan dengan cepat, tidak akan bertahan dalam waktu 20 jam. Hanya ada satu yang akan hidup, persentase keberhasilan operasi, pun, sangat tipis.

Dalam situasi seperti ini, pria berkacamata itu tidak bisa mengambil keputusan, dia hanya bisa diam di dekat istrinya, dan tidak ingin beranjak untuk melihat kedua bayinya yang baru lahir. "Di mana anakku?" Pria berkacamata itu terkejut dengan suara yang tiba-tiba dia dengar.

"Anak kita ada di ruang khusus bayi. Dia sehat," ujar pria berkacamata yang melihat istrinya telah bangun.

"Aku ingin melihat bayi kita," begitu pelan wanita itu berkata.

"Sebaiknya kamu istirahat saja dulu, untuk memulihkan kondisimu." suaminya mencoba merahasiakan kondisi sang bayi. Dia khawatir bila istrinya tahu keadaan bayi mereka, akan terjadi sesuatu hal yang buruk menimpa istrinya.

"Tidak apa-apa, aku hanya ing ...."

"Sudah, lebih baik kamu istirahat saja, nanti aku akan membawa bayi kita kemari." Pria berkaca mata itu memotong ucapan istrinya dengan sedikit kesal.

"Ya, sudah, aku akan tidur sebentar." Istrinya mulai memejamkan mata. Pria berkacamata itu berdiri, lalu menarik ujung selimut yang berada di daerah pusar ke atas leher supaya seluruh tubuh istrinya terasa hangat.

"Kamu lebih suka kanan atau kiri?" tanya pria berkacamata itu.

"Kanan," jawab istrinya. Pria berkacamata itu mencium kening istrinya.

"Apa kamu bahagia telah menjadi seorang ibu?" Istrinya tersenyum dan menganggukkan kepala.

"Terima kasih telah memberiku jawaban," gumam pria berkacamata itu dalam hatinya, lalu dia duduk di samping istrinya.

PSIKOLOGIS:  Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang