Bab 2 : MURNI

267 17 0
                                    


Jam dinding klasik di rumah Lintar berdentang, tepat pukul 12:00. Ibu Lintar yang merapikan makanan di meja makan merasakan jantungnya berdenyut kencang beberapa detik.

"Kamu kenapa?" tanya ayah Lintar kepada istrinya yang terdiam seperti patung.

"Aku tidak apa-apa," agak bingung ibu Lintar menjawab.

Ayah Lintar pun kembali menghiasi meja makan dengan lilin-lilin.

Kedua orangtua Lintar tengah mempersiapkan makanan dan kue istimewa untuk merayakan ulang tahun anaknya yang ke-21.

Ibu Lintar menoleh ke arah jendela. Di luar, sinaran mentari mulai nampak. Padahal beberapa menit yang lalu, langit mendung, bumi diguyur hujan lebat, kini hujan perlahan berhenti. Ibu Lintar mulai bertanya-tanya dalam hati, apakah ini pertanda baik atau buruk, dia tidak bisa menyimpulkannya.

Dona berlari ke tengah lapang menghampiri Lintar yang sudah tergeletak di sana. Dengan rasa penuh kekhawatiran, tangannya langsung merangkul sahabatnya yang tadi telah tersambar petir.

"Lintar bangun, Lintar bangun, cepat buka matamu." Dona menangis sambil menggoyang-goyangkan badan Lintar.

Perlahan Lintar mulai membuka mata, terlihat seorang perempuan sedang menangisinya. Lintar yang berbaring di pangkuan Dona, melirik ke arah lain, ada seorang pemuda berambut poni berpakaian serba putih tengah berdiri di sisi Dona seperti kebingungan. Lintar pun dengan cepat mengangkat badannya dari pangkuan Dona, dia berdiri, tersenyum sinis menilik ke sekujur tubuhnya seolah merasakan sesuatu.

"Lintar ...."

Lintar membalikkan badan memandang ke arah Dona yang masih berlutut dengan mata sembab. Dona termenung melihat Lintar bisa berdiri secepat itu. Dan Dona terheran-heran dengan senyum kecut sahabatnya. Dona memanggil Lintar yang mulai melangkahkan kaki, tapi Lintar tidak memedulikan teriakan Dona. Dia terus berjalan.

"Aku Lintar, Dona! Kenapa kamu terus berteriak menyebut namaku kepada laki-laki itu? Dia bukan Lintar!" ujar pemuda berambut poni yang berdiri di sebelah Dona. Dia kebingungan, tak tahu apa yang telah terjadi pada dirinya.

Dona berdiri, tubuhnya terpaku. Kakinya seolah tidak ingin mengejar. Entah karena tidak percaya Lintar bisa berjalan seperti biasa walau sudah tersambar petir. Atau lantaran tadi Lintar tidak menggubris panggilannya.

"Aku Lintar, Dona!" Kesal, pemuda berponi itu sekarang mencoba menyentuh pundak Dona. Namun apa yang terjadi. Tangannya menembus pundak Dona bagaikan menyentuh air. Pemuda berponi itu menilik ke seluruh tubuhnya. Pakaiannya telah berubah menjadi serba putih. Tanpa dia sadari, sekarang dia sudah menjadi arwah. Laki-laki yang tadi mirip dengannyalah yang telah merebut tubuh Lintar.

"Dona ... Dona ...," pemuda berponi itu kembali memanggil nama sahabatnya. Tapi tetap saja Dona tidak bisa mendengar. Lintar pun bergegas pergi menyusul laki-laki yang sudah membawa tubuhnya.

PSIKOLOGIS:  Suara HatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang