Seminggu telah berlalu. Kiela sudah terbiasa dengan keadaan ini, namun orang-orang disekitarnya mengkhawatirkannya. Anak itu dengan santainya selalu tersenyum dan mengatakan ia tidak apa-apa setiap sanak keluarga lainnya yang memeluk sosok kecil tersebut.
"Jangan menyerah, sayang." Ujar seorang wanita yang masih anggun pada usia belia. Ia berjongkok dan menyejajarkan matanya dengan Kiela yang sedang duduk. "Kita akan menghadapinya bersama-sama."
Kiela mengangguk kecil. "Terima kasih Tante, atas semua kebaikan yang sudah Tante berikan buat aku.". Pria yang lebih tinggi dari wanita tua duduk di bangku sebelah Kiela dan merangkulnya erat. "Saya dan Tante Nia memang bukan orang tua kandungmu, Nak. Tapi, kamu bisa mengandalkan kami kalau kau butuh sesuatu."
Rumah tersebut tidak besar, namun nyaman. Angin sepoi-sepoi mengalir ke dalam rumah pagi itu, dikarenakan sirkulasi udara yang baik. Warna coklat muda yang mendominasi dinding cukup menenangkan siapapun yang mampir. Om Agus dan Tante Nia terlihat tidak menyukai hal-hal ribet karena tidak terlihat banyak dekor-dekor dan pajangan di sepanjang rumah tersebut. Kiela pasti akan betah disana. "Aku nggak tahu bagaimana lagi harus berterima kasih, aku diperbolehkan untuk tinggal bersama keluarga Om dan Tante ini sudah merupakan kebaikan yang luar biasa."
"Tidak perlu berterima kasih." Tante Nia dengan rambut hitamnya yang dikuncir kuda tersenyum hangat. "Mamamu sudah banyak membantuku yang hanya merupakan sepupu jauhnya. Kami jarang bertemu namun aku tahu ia tidak pernah berhenti membantu orang lain."
"Lagipula, kami masih mempunyai kamar kosong di lantai atas. Kami pikir cocok untuk remaja sepertimu." Ungkap Om Agus dengan kaos berkerah abu-abunya. Uban yang muncul pada rambutnya tidak membuat beliau kehilangan semangat.
Tante Nia meninggalkan ruang tamu tersebut dan kembali beberapa menit kemudian dengan dua sosok yang belum dikenal Kiela sebelumnya. Satu orang laki-laki disebelah kiri Tante Nia terlihat kecil dan pemalu, sedangkan perempuan disebelah kanan tinggi dan cantik.
"Kamu harus kenalan sama saudara-saudara barumu, Kiel." Ungkap Tante Nia yang mendorong kedua anaknya untuk mendekati Kiela. Si laki-laki kecil berkacamata menyodorkan tangannya hangat. Ia terlihat mungil sekali dengan kaos oblong hitam kebesarannya."Nathan."
Kiela menatap perempuan anggun di belakang Nathan penasaran. Gadis yang terlihat ketus itu tampaknya cuek bebek dengan kehadiran Kiela. Usai berjabat tangan dengan Nathan, Kiela berinisiatif mendekati sosok tinggi dengan kemeja lengan panjang abu-abunya. "Halo kak, namaku Kiela."
"Saya Neyra." Ujarnya tanpa perubahan ekspresi. Kiela terpesona dengan mata besar, hidung mancung, rambut hitam panjang nan halus dan bibir tipis milik kakak tirinya tersebut. Tentu saja ia belum berani banyak bercerita dan hanya mengangguk pelan sebagai respon.
Kemudian, Om Agus mengajak Kiela ke kafe kecil di garasi rumah mereka. Kiela kagum dengan tata letaknya yang luar biasa menarik. Ruangan yang terpakai memang kecil, namun dekor cermin dan letak-letak mejanya membuatnya terlihat jauh lebih luas dari sesungguhnya.
"Tante membuka usaha berjualan makanan prasmanan disini." Kata Tante Nia yang menyusul mereka. "Biasanya sih ada dua orang karyawan yang membantu, diawasi oleh Neyra."
Kiela menyimak sambil tetap mengamati sekitar. Kursi-kursi bulat tanpa senderan tampak memikat dengan warna-warna mencoloknya. Meja makan panjang tersebut tidak bermodel aneh namun tetap menarik karena warna ngejrengnya.
"Namun, kebetulan karyawan kakak-beradik tersebut memutuskan untuk berhenti bekerja sementara karena ibu mereka yang sakit keras." Jelas Tante Nia yang mengajak Kiela dan om Agus untuk duduk. "Kiel, kamu mau bantu Tante menjaga kafe ini?"
"Tentu saja, Tante!" Kiela mengangguk semangat. "Lagipula, aku juga ingin melakukan hal-hal berguna selagi aku cuti kuliah saat ini."
"Tante tetap akan menjadi koki dan memasak semuanya setiap subuh. Nanti, tante akan ajarkan kamu cara memanaskan makanan dan trik-trik menyajikannya." Tante Nia mengedipkan sebelah matanya dengan ramah. "Pasti melelahkan, tapi asyik kalau dinikmati."
**
Kamar kosong yang dimasuki Kiela masih terlihat berantakan, namun sudah memiliki lemari, cermin, dan ranjang kecil tanpa sarung. Tidak luas, namun nyaman. Tampaknya, Kiela akan betah tidur disini.
Kiela mulai membersihkan debu-debu dan menggeser lemari dan ranjang menuju pojokan yang ia sukai. Dinding diatas ranjang masih putih polos. Boleh juga untuk ditempel beberapa gambar, pikir Kiela. Gadis itu membersihkan seluruh kamar tanpa banyak berpikir. Ia sudah cukup lelah seminggu ini.
Gadis itu mengeluarkan dompet usang dari ransel hitam yang masih dipakainya sedari tadi. Setelah meraba-raba, ia mengeluarkan sebuah foto instan yang menjadi kesayangannya. Tiga senyum lepas dalam foto ini membawa kenangan lama. Saat itu, Mama baru saja pulang kerja dari kantornya. Ia mengajak Kiela menjemput Papa di kampus tempatnya bekerja, kemudian berjalan-jalan sekeluarga di mal terdekat untuk merayakan ulang tahun Kiela yang ke-17. Pada saat itu, setahun yang lalu dari sekarang, mereka mengunjungi photobooth dan melakukan pose-pose ala anak muda. Biar gaul, kata mama Kiela.
Aku kangen Mama dan aku masih ingin cerita banyak sama Papa juga, pikir Kiela termenung. Namun, Kiela tahu ia tetap harus bersyukur karena keluarga yang bersedia mengasuhnya. Walaupun rumah lama keluarga Kiela akhirnya dijual, Kiela masih tetap memiliki rumah dan bahkan kamar untuk ditinggali. Ditambah dengan keluarga baru yang bersedia hidup dengannya, ia tahu ia sangat beruntung.
Selotip di atas meja segera dirobek dan menempel foto 3x4 cm tersebut di dinding atas ranjang. Kiela tersenyum menguatkan diri dan melanjutkan kegiatan bersih-bersihnya. Ia akan melihat foto keluarga sederhana tersebut setiap ia membuka mata pagi harinya. Kemungkinan, Kiela juga akan menaruh buku-buku pelajaran psikologi yang ia bawa diatas meja belajar kayunya. Ia harus memikirkan cara untuk meyusunnya tanpa terlihat berantakan.
Tok tok, pintu kayu terdengar diketuk halus berirama. Kiela yang masih menyapu melihat ke arah pintu tersebut sekilas. "Masuk saja.". Sosok kecil berkaos oblong membuka pintu tersebut pelan-pelan. Ia celingak-celinguk dan akhirnya duduk di kursi dekat meja belajar Kiela. "Siang, Kak Kiela.". "Hai, Nathan!" sapa Kiela yang kini duduk diranjang dan menatap adik tiri berambut cepaknya. "Maaf ya, ruanganku masih berantakan."
"Nggak apa-apa, Kak. Sebenarnya, aku hanya ingin kenalan lagi sama kakak." Ujar Nathan sambil memainkan kacamatanya. Ia salah tingkah. "Betul sih, kita di bawah belum bercerita banyak." Ungkap Kiela yang saat itu mengonde asal rambutnya sambil tertawa kecil. "Bagaimana kalau kamu mulai cerita duluan, nanti gantian?"
"Aku Nathan dan masih kelas 3 SMP. Sekolahku dekat dari rumah, jadi aku naik sepeda setiap harinya." Ujarnya sembari mengerutkan alisnya. "Aku suka baca komik dan kadang main di warnet juga."
"Tapi aku tahu kamu anak yang baik dan nurut sama Papa dan Mama." Ujar Kiela tersenyum. "Bagaimana dengan pelajaran disekolah?". "Cukup lancar, Kak." Ungkap Nathan. "Aku akan ujian nasional tahun depan. Sekarang kan November, berarti tinggal beberapa bulan lagi menuju ujian nasional di bulan April.". Kiela menepuk pundak Nathan keras, ia memang senang sekali menyemangati orang lain. "Semangat ya, jangan mengecewakan dirimu sendiri!". "Kalau kakak, bagaimana?" tanya Nathan hati-hati usai mengamati ruangan sekitar.
"Aku tadinya kuliah di jurusan psikologi. Universitasnya tidak terlalu jauh, namun aku tetap harus menggunakan bus. Kakiku bisa berotot kalau tiap hari jalan kaki." Papar Kiela sambil tertawa kecil. "Ya, aku memang harus berhenti kuliah sementara karena masalah finansial juga. Tapi aku yakin, semua ada jalan keluarnya."
"Kak Kiela harus tetap semangat ya." Bisik Nathan perlahan. Ia menggeser bangkunya lebih dekat pada ranjang tempat Kiela duduk. "Aku memang masih bocah, tapi aku akan berusaha jadi adik yang nurut dan nggak nyusahin."
"Nathan nggak usah khawatir soal kakak." Kiela bangkit berdiri dan meraih sapunya kembali. "Khawatirlah soal ujianmu. Banggakan Papa dan Mama, Oke?". "Siap, bos!" Nathan mengacungkan jempolnya dan keluar dari kamar tersebut. Kiela mulai menyusun buku-buku pelajaran dalam tatanan rapi. Tidak lupa juga, ia mengeluarkan baju-baju seadanya yang ia bawa dari rumah dan mulai melipat perlahan ke dalam lemari barunya.
Aku pasti baik-baik saja, pikirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tenanglah, Kiela
Teen FictionIa akan selalu berkata pada dirinya; tenanglah, Kiela. Mantra tersebut selalu bekerja disetiap masalah yang menerpa; mulai dari masalah kegugupan yang mengganggu hingga pada masalah pembunuhan orang tuanya sore itu.