Sore itu langit cerah, secerah hati Kiela yang sudah mulai mengerti menjaga kafe tante dan omnya. Ia sudah mengerti bagaimana menyajikan bakmi goreng, ayam opor, dan lontong tersebut dengan rapi ke pelanggan. Selain itu, konsumen yang hadir sejak Kiela menjaga juga stabil dan tidak menurun. Tante Nia sempat bilang kalau Kiela harus mempertahankannya.
"Silahkan." Kiela membawa sebuah piring berisikan telor setengah matang ke meja seorang pelanggan setia. Wanita tua tersebut mampir ke kafe tersebut hampir setiap sore, setelah ia jogging.
"Kafe Pelangi ini sangat membaik sejak kamu membantu, Nak." Ujar ibu berambut pendek tersebut. "Selain itu, Nia juga tampak lebih senang walaupun masih tetap sibuk.". "Aku sudah dibantu oleh Tante dan Om, maka aku juga harus tahu diri dan membantu apa yang aku bisa." Ujar Kiela terkekeh sambil mengelap gelas.
Kafe tersebut tidak ramai membludak, namun ia punya pelanggan-pelanggan tetap yang enggan meninggalkan kelezatan bumbu racikan Tante Nia. Kafe Pelangi yang tidak terlalu mencolok dari depan karena hanya ditandai oleh papan nama sederhana, namun orang-orang sekitar sudah hafal betul dengan tempat nongkrong tersebut. Mengenai namanya, Neyra-lah yang berkontribusi memikirkan 'Pelangi'. "Sesuai dengan dekor yang berwarna-warni." Kata Neyra setiap ditanya mengenai asal-usul nama Kafe Pelangi.
"Ngomong-ngomong, kamu udah dengan kabar tadi pagi? Pelaku pembunuhan menggunakan senjata tajam orang tuamu di kompleks perumahan sebelah dua minggu yang lalu sudah tertangkap dan terancam hukuman berat." Celoteh ibu tersebut sambil menikmati teh hangatnya. "Kemungkinan, di penjara seumur hidup."
Mata Kiela yang tadinya bersinar terlihat menjadi suram. Ia tidak mengira ia masih akan sesedih ini setelah melupakan kejadian tersebut selama beberapa waktu. Kiela sudah capek dengan kafe sehingga ia tidak terlalu berupaya untuk mengingat hal-hal menyakitkan itu. Ini kabar yang baik, tapi Kiela serasa sudah tidak mau berurusan apapun lagi dengan itu.
Ibu tersebut menghampiri Kiela untuk membayar makanan yang telah ia santap. Saat menyerahkan uangnya, ia menatap kedua mata besar gadis tersebut. "Kamu harus tetap semangat, ya. Tuhan sayang kamu dan akan memberi jalan keluar.". "Tenang saja, Bu." Kiela mengangguk sedih dengan senyum lebar. Ia sedang berusaha meyakinkan orang lain dan juga dirinya sendiri bahwa ia baik-baik saja.
Pintu penghubung rumah dan kafe terbuka, dan Neyra yang cantik seperti biasa muncul mengawasi. Sorot mata sedingin esnya melihat sekeliling seolah siap membunuh siapapun yang mengecewakannya. Kemeja putih dan sepatu pantofel yang dipakainya menunjukan bahwa ia baru pulang kerja.. "Selamat sore, Kak." Kiela menyapa duluan, berusaha ramah. Ia juga jadi khawatir dan mengamati ruangan sekitar untuk memastikan semua oke. Lantai bersih, sudah. Piring-piring dan alat makan sudah dilap. "Gimana kabar Kak Neyra?"
"Kabar gue ya begini-begini aja. Kerja dari pagi di butik, ketemu klien nyebelin, pulang kerja, pusing melihat hasil kerjaan lo yang nggak bener." Celotehnya jutek sambil meraba salah satu meja makannya. "Meja disini kan cuma lima. Masa sih, lo nggak bisa memberi usaha maksimal lo untuk menjaganya tetap bersih?"
Kiela yang seperti disambar petir di hari tanpa hujan tersebut tidak berkata apa-apa. Ia merasa bingung dan rendah diri, karena sebetulnya tadi ia sudah berusaha membersihkannya dua kali."Maafkan saya, Kak."
Neyra berniat masuk kembali ke dalam rumah. Ia sudah merintis kafe mungil dengan interior warna-warni tersebut sekuat tenaga, maka ia tidak mau siapapun juga mengecewakan. Sebelum menutup pintu sepenuhnya, ia tidak lupa untuk memberikan wajah cantik nan angkuhnya pada Kiela yang masih mematung. "Hanya karena bokap dan nyokap gue sayang banget sama lo, bukan berarti gue nggak akan ngontrol hasil kerjaan lo."
**
Meja makan itu terlihat lengkap dengan anggota-anggotanya. Om Agus masih dengan kemeja merah dan celana kain andalannya setiap hari, Tante Nia dengan daster karena ia sudah mandi duluan. Neyra yang sudah berganti baju kini mengenakan kaos oblong bertuliskan 'Melbourne'. Sementara Nathan, ia mengenakan piyama putih berlengan panjangnya dengan rambut basah pertanda ia habis keramas. Kiela sudah siap makan malam melihat aneka makanan yang disajikan. Walaupun makanannya sisa dari kafe seharian ini, Kiela tahu kualitasnya masih enak dan antusias memenuhi kebutuhan perut keroncongannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tenanglah, Kiela
Teen FictionIa akan selalu berkata pada dirinya; tenanglah, Kiela. Mantra tersebut selalu bekerja disetiap masalah yang menerpa; mulai dari masalah kegugupan yang mengganggu hingga pada masalah pembunuhan orang tuanya sore itu.