"Terima kasih, Pak Jo!" Kiela memanggil ramah saat seorang pengunjung selesai membayar makanannya. Kebanyakan pelanggan Kafe Pelangi berasal dari lingkungan perumahan yang sama tersebut, namun akhir-akhir ini pelanggan dari luar semakin sering datang karena banyaknya rekomendasi positif. Makanannya enak, pelayanannya oke. Begitulah setidaknya menurut Ibu Ning yang nggak bosan-bosan ajak Kiela ngobrol. Saat ini, wanita tersebut sudah selesai makan dan mau mengantarkan anaknya les bahasa Inggris. Biar nggak malu kalau keluar negeri, kata Ibu Ning. Menurut analisa Kiela, Ibu Ning adalah seorang ibu yang sedikit menuntut namun tetap memberikan motivasi dan pengertian kepada anak-anaknya.
Pelanggan-pelanggan yang masih makan sore hari menjelang tutup toko tersebut sudah cukup akrab sama Kiela. Pak Mahmud, seorang karyawan toko dekat Kafe Pelangi, yang senang sekali mampir karena harga makanannya pas di kantong. Ada pula Oli dan Vira, keduanya gadis SMP yang rumahnya berdekatan. Itu jugalah alasan mereka bisa sering pulang bareng dan menyempatkan makan bersama di Kafe Pelangi. Menurut kedua gadis tersebut, sambal terasi di Kafe Pelangi ini lebih mantap dibandingkan tempat-tempat lain yang pernah mereka kunjungi. Oli dan Vira penggemar rasa pedas, sehingga membuat Kiela selalu menawarkan bonus sambal setiap memereka memesan makan sore.
Pak Jo membayar makanan beliau dengan uang dua puluh ribuan yang sudah agak lecek, kemudian menggangguk pamit. Begitupula dengan Oli dan Vira. "Kami duluan ya, Kak Kiela." Ujar Oli. "Salam buat Nathan, dan bilang besok Vira bakal balikin buku latihan miliknya yang ia pinjamkan dikelas sebelum libur.". Kiela, yang tahu saat ini Nathan sering pulang sore karena ada latihan bersama kelompok bermusiknya, mengangguk senang. "Vira akan mampir ke rumah buat ngembaliin bukunya itu." Oli menambahkan, membuat gadis manis bernama Vira disebelah menyenggol tangannya dengan wajah malu-malu. Ia dari tadi terdiam namun ekspresinya sangat antusias. Kiela jadi ingin tertawa geli, ternyata adiknya yang bocah itu sudah memiliki gebetan. Sebetulnya, Kiela senang melihat suasana sekolah lagi, walaupun ia tidak mengalaminya secara langsung. Setidaknya, ia bisa menikmatinya walau dengan cara yang berbeda dari ekspektasi.
"H-hai, Kiela." Tante Nia masuk dari pintu depan kafe. Tubuh anggunnya yang biasa tegak kali ini lemas. Sepertinya, tertiup angin pun bisa roboh. Ia yang saat itu mengenakan sweater rajut pun terbatuk beberapa kali sehingga mengharuskannya mengambil kursi terdekat. Kiela khawatir dan mengambilkannya segelas air hangat. "Tante Nia lagi enggak enak badan, ya?"
Wanita yang rambutnya digerai hari itu tersebut mengusap wajahnya kencang, kedua tangannya terlihat gemetar. Bibir indah beliau kering dan pecah-pecah. Sorotan mata yang biasanya semangat kini terlihat loyo. "Nggak apa-apa, Kiela. Tante masuk kamar dulu, ya." Ujarnya sambil berjalan pelan masuk ke dalam melalui pintu geser penghubung. Nathan, yang kebetulan baru pulang dan masuk dari pintu rumah, menjemput sang ibu di pintu penghubung dan menggandengnya erat menuju kamar. Ia melempar ransel abu-abu besarnya ke lantai dan membimbing Tante Nia. Untunglah kamar beliau di lantai bawah, kelihatannya ia akan kesulitan menaiki tangga yang tidak terlalu lebar dalam rumah tersebut.
"Nathan, kaosmu basah sekali." Ujar Tante Nia berusaha membuka pembicaraan. "Kamu habis latihan untuk ujian akhir?". "Enggak, Ma. Aku habis latihan nge-band di rumah teman. Tenang aja, aku bisa membagi waktu liburan aku untuk main dan belajar, kok, Ma." Jelas Nathan yang membukakan pintu ruangan paling besar di lantai bawah. Tidak beda jauh dari interior depannya, Kiela melihat sekilas dan konsep kamar Om Agus dan Tante Nia tetap simpel. Mungkin keluarga ini menyukai ungkapan 'less is more' milik arsitek Mies van Der Rohe. "Aku tadi naik sepeda dan ternyata cuaca sore pun panas." Jelas Nathan sambil mendudukan sosok berwibawa dalam genggamannya di atas ranjang. Ia mengelap kacamata yang mulai kotor dan tak lupa menyalakan pendingin ruangan. "Mama istirahat dulu, ya. Wajah Mama pucat sekali lho, hari ini.". "Siap, pak bos!" ungkap Mamanya sambil menyelesaikan batuknya, mempertemukan jempol kanan dan telunjuk kanannya sebagai simbol oke. "Aku akan mengambilkan air putih dan roti coklat biar perut Mama nggak kosong. Tunggu ya, Ma!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Tenanglah, Kiela
Teen FictionIa akan selalu berkata pada dirinya; tenanglah, Kiela. Mantra tersebut selalu bekerja disetiap masalah yang menerpa; mulai dari masalah kegugupan yang mengganggu hingga pada masalah pembunuhan orang tuanya sore itu.