Mereka Jadian?!

165 9 9
                                    

Gue berjalan gontai ke kelas XII IPS 3, tempat gue ulangan. Gue udah belajar mati-matian semalem—iya, gue kebut semalam—dan udah yakin rencana nyontek kali ini gak bakal gagal. Masalahnya ini geografi sama matematika! Tapi kalian tau kenapa gue jalan gontai? Itu bukan karena ulangannya, tapi karena gue keinget siapa temen sebangku gue nanti. Ah, gue sangat amat sedikit beruntung juga sih sebenernya. Seenggaknya gue gak duduk bareng orang aneh, ya kan? Tapi masalahnya ini Karenina! Yang kemaren jalan bareng Dafi. Yaa gue hanya bisa berdoa semoga dia gak terlalu buruk.

Ruangannya masih sepi, baru ada beberapa orang yang lagi asik belajar—dan tiba-tiba nengok ke arah gue dengan tatapan heran sekaligus menyelidik. Mungkin mereka bingung kenapa seorang bidadari masuk kelas mereka (?)

"Napa lu Ra? Biasanya juga ceria?" tanya Zein, eits, tunggu dulu. Kalo kalian berpikir Zein itu ganteng dan rada arab, kalian salah besar! Zein tuh orang sunda, rada beler pula.

"Males gue sama—" jleb, tiba-tiba Karenina si kampret dateng menghampiri gue. lebih tepatnya mau duduk sebelah gue. "Sama... sama Rena, ya, sama Rena,"

"Apa lo manggil-manggil gue?!" buset, Rena baru aja dateng. Alhasil dia cemberut karena merasa diomongin yang enggak-enggak. Gak usah takut Rena marah, dia mah kalo baper sebentar doang. Buktinya sekarang dia lagi mesem-mesem sendiri ngeliatin gue dan Karenina bergantian.

Karena kesel dengan kelakuan Rena yang nggak berenti-berenti, gue pun memelototinya. Namun dia justru makin jadi, dia justru menunjuk ke arah gue dan menggumamkan 'Jelek' tanpa suara kemudian telunjuknya berganti ke arah Karenina dan menggumamkan 'Cantik' tanpa suara. Sialan, malah tambah nantangin nih anak!

Brugh!

Tanpa sadar gue memukul meja dengan sangat keras, berusaha membalaskan kekesalan gue pada Rena. Tapi seisi kelas justru melihat ke arah gue dengan tatapan kaget. Termasuk Karenina, mukanya kayak gorengan basi, njir. Dan lo tau apa? Rena malah ketawa cekikikan tertahan, dia kira ini lucu?

"So-sori," kata gue pada Karenina. Ya seenggaknya gue harus minta maaf, soalnya meja yang gue gebrak tadi mejanya dia.

"Gapapa kok, Kak," anjir, suaranya im—

Sok imut banget, maksud gue.

Tapi kejadian itu gak berlangsung lama kok, karena mereka (orang-orang yang liatin gue) sadar bahwa baca buku lebih penting daripada liatin muka gue.

Gak lama kemudian guru pengawas dateng, pelajaran pertama Matematika dan pengawasnya... Bu Ratih. Ah, gampang lah ini mah kalo buat contek-mencontek.

Tek!

Sial, baru ngisi nama tiga huruf, tiba-tiba pensil gue patah. Gue belinya yang murahan sih, faber castel palsu nih pasti. Ck, padahal harganya tiga ribu! Besok-besok gue complain ah sama abang-abangnya.

Gue mengorek-ngorek tempat pensil, berusaha nyari rautan. Tapi kemudian gue teringat bahwa gue belom beli rautan gara-gara uang gue yang abis gue pake buat beli es krim, abisnya gue gak tahan iman kemaren.

Aduh, mana sih? Terus gue gimana dong ngerautnya?! Mana ni pensil atu-atunya lagi.

Mau nggak mau, gue harus menutupi rasa malu gue dulu untuk memijam rautan ke temen sebelah gue, Karenina.

"Karenina, um, boleh pinjem rautan gak? Kayaknya rautan gue ketinggalan di tas deh." Spik gue, padahal emang gak punya. Dia pun menoleh dan mengambilkan sebuah rautan dari tempat pensilnya yang ada gantungan boneka monyetnya—tunggu, kok ini persis banget kayak punya gue ya gantungan monyetnya?

"Nih kak rautannya," mungkin dia mulai geregetan dengan gue yang gak kunjung mengambil rautan dari tangannya. Dengan gaya lemot abis, gue mengambil rautan dan izin pada pengawas untuk keluar sebentar. Gue kan anak pintar, buang sampah bekas rautan harus di tempat sampah.

PacarableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang