Memori

131 7 6
                                    

Memori. Kalo kata Ika Natassa dalam bukunya yang berjudul Critical Eleven, memory is a good servant but it's a very bad master. Yha, kurang lebih begitu sih. Tapi gue setuju (sok ngerti). Dengan memori-memori yang lo punya di dalem otak lo, lo bisa inget gimana caranya baca jam, gimana caranya ngerjain ulangan Matematika. Tapi ingatan itu kadang nggak bisa dikendalikan, kadang mereka membawa lo kembali ke kejadian-kejadian yang bahkan udah nggak pengen lo inget lagi.

Dan seperti itulah bejatnya memori yang dengan seenaknya membawa gue ke dalam kejadian tadi pagi. Saat gue dan Erlangga masih di dapur, sebelom akhirnya gue menyesali semua huruf yang membentuk kalimat sialan tak terduga itu.
"Peraturan pertama," gue meneguk ludah mendengar kata-katanya yang ngegantung, melihat leher Erlangga di depan mata gue dan berharap satu hal: plis, jangan yang aneh-aneh. "Your body is mine."
"Hah?!" Wuanjir. Siapa sih yang nggak bakal kaget denger kalimat bejat yang nggak pernah gue pikir bakalan keluar dari mulutnya? "Maksud lo apaan?!"
Tapi naasnya dia malah ngalihin pembicaraan.
Erlangga ngeliat sekeliling rumah gue, ngeliat ke arah gorden besar berwarna putih yang ada di ruang tamu dan berkata: "Kayaknya gue harus pulang. Udah pagi. Lo nggak mau kan dipergokin lagi pacaran?"
Gila. Gue bisa bener-bener gila kalo ngebayangin ketemu Erlangga tiap hari. Sumpah ya, kenapa sih dia selalu punya kalimat 'mematikan' kayak gitu?
Pada akhirnya gue geleng-geleng kepala sendiri di kamar gue. Gue, dengan rambut yang basah karena abis keramas, udah membuang-buang waktu gue untuk mikirin orang ngeselin sejenis Erlangga. Mana kasur gue basah pula karena gue tiduran di sana. Saking frustrasinya, sodara-sodara.
Tapi pas baru aja mau beranjak keluar dari kamar, handphone gue bunyi tanda notifikasi line. Gue pun mengambilnya dari nakas dan ngeliat pesan itu.
Erlangga Ali: besok temuin gue di sekolah. Jangan kabur.
Oh no. Mimpi buruk. Dia bukan om-om yang suka godain cewek seksi pinggir jalan kan?

***

Paginya gue sampe di sekolah dengan selamat, tanpa nabrak motor orang, tanpa diklaksonin, dan tanpa lari-larian sambil keringetan. Intinya gue udah duduk manis di kelas sambil nyanyi-nyanyi nggak jelas,
Sampe tiba-tiba Siti—temen kelas gue—dateng dan teriak, "Woy, liat PR Sejarah kek!"
Whut de fak -_- ada PR? Ahelah, mati kek tuh guru. Seenggaknya kepeleset di tangga sampe kakinya keseleo aja deh. Gue udah seneng.
"Anjir, kata siapa ada PR?"
"Iya bege, suruh ngerjain halaman seratus lima,"
"Eek,"
Begitu sekiranya percakapan temen-temen gue. Dan tiba-tiba mereka berhenti dari aktivitasnya, dari obrolannya. Alesannya cuma satu. Aminah yang ada di ambang pintu. Yha, bisa dibilang Aminah itu anak paling rajin di kelas gue. Dia selalu—nggak pernah ketinggalan—ngerjain PR. Bahkan dia suka ngerangkum buku sebelom gurunya nyuruh.
Yak, lo pasti taulah hal yang selanjutnya bakalan terjadi.
"Aminah! Anjir ya lo cantik banget pagi ini. Pasti gara-gara udah ngerjain PR Sejarah kan? Minjem boleh kali Min!" Gombal Arif. Najis ya, gombalannya gak bermutu banget. Apa coba hubungannya cakep ama udah ngerjain PR?
Yaudah deh, karena si Aminah ini baek dan rajin menabung, dia mengeluarkan buku Sejarahnya yang langsung jadi rebutan. Begitupun gue, jangan kira gue duduk manis di tempat gue. Gue aja lupa nama guru Sejarahnya, apalagi PR yang dikasih dia.
"Woy, Ra, jangan maruk lu njir!"
"Kambing nih Ara, gua yang minjem oy!"
Segala hinaan dan cacian keluar dari mulut temen-temen gue karena gue menguasai bukunya Aminah. Masih 5 nomor lagi.
"Woy, Tiara Kania!" Suara berat tapi serak milik seseorang meneriakkan nama gue. Spontan gue nengok, dan buku PR yang tadinya gue kuasai langsung berpindah tangan.
Dan coba tebak, sodara-sodara, siapa yang manggil gue?
Yak, Erlangganjing.
"Apansi?!"
"Sini kamu nak," si Rena yang juga nggak ketinggalan nyontek PR dari Aminah tiba-tiba berhenti ngelihat cowok di ambang pintu kelas, dia nyubit gue nggak jelas. Kira-kira sih maksud dia tuh: samperin sana, abis itu kasih tau kenapa Erlangga nyamperin lo.
Yaudah, dengan gontai dan males-malesan karena PR gue belom selesai, terpaksa gue nyamperin dia. "Ngapain sih lo di sini?! Udah sana pergi! Gue lagi nyalin PR. Sibuk." Gue langsung beranjak setelah memasang muka sangar.
Tapi sialnya, dia malah nahan tangan gue macem sinetron india. Kalo di sinetron mungkin udah muncul lagu-lagu mellow sebagai backsound-nya, terus biasanya si cewek dan si cowok bakal liat-liatan sok romantis. Tapi di realitanya, gue justru melototin Erlangga karena tangan gue yang memerah dipegangnya. Pegangan tangan dia super kenceng, gak ada romantis-romantisnya sama sekali.
"Lepasin!"
"Ikut gue," katanya dengan nada sok kalem.
"Diem! Gue bilang lepasin! PR gue belom selesai, Erlangga Ali," tapi dia emang ngeselin, gue jadi keliatan kayak anak kecil berbadan gede yang ditarik sama penculik.
"Lo masih inget kan perjanjian kita, Tiara Kania?" Dia ngomong dengan nada kayak gue tadi, mengikuti nada bicara gue.
"Nggak, gue nggak inget! Kita nggak pernah janji apa-apa!" Sedetik kemudian gue nyadar kalo suara gue kekencengan, mengundang rasa pengen tau seluruh anak kelas. Mereka semua berenti dari aktivitas menyalin PR, ngeliat gue dengan tatapan: lo jadian sama Erlangga Ali, the king of MOS?
Dan begonya, gue cuma bisa nyengir, memperlihatkan gigi gue yang kuning belom gosok gigi dua hari.
"Udah deh, ayo, cepetan," nada Erlangga lebih maksa lagi kali ini, dan sebelom gue sempet mengelak, dia udah narik gue duluan keluar kelas.
"Rena! Tolong kerjain sejarah gue! Empat nomor lagi, plis!"

PacarableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang