Ban Angga Kempes

123 9 4
                                    

Gue bukan tipe orang yang suka bercanda atau main-main kalo udah marah. Jadi, gue emang bener-bener minta anterin cowok laknat—yang udah ngetawain gue pagi-pagi dan numpahin jus mangganya sore ini—pulang ke rumah.

Setelah berdebat cukup panjang, gue pun naik ke motornya.

"Eh, taro nih di depan," suruh gue sambil ngasih dia tas tenteng yang isinya baju sekolah SMA ibu gue. Dia mendelik.

"Kagak! Lo kira gue ojek lo yang bisa seenaknya disuruh-suruh? Lo bayar gue berapa?"

"Woy, kambing, lu nggak ngerasa bersalah sama sekali ya? Ini baju gua baru beli jadi begini gara-gara lo!" akhirnya dengan muka terpaksa dia menerima tas tenteng gue dan menaruhnya di bagian motor depan.

"Ya, tapi kan jus mangga gue yang baru beli juga gak jadi diminum..." gumamnya kecil dengan nada murung. Kayaknya dia takut ketauan gue. Hahaha, emang enak! Perhitungan banget sih!

Setelah itu motor melaju dengan kecepatan sedang. Nggak ada obrolan antara gue dengan cowok itu, karena males juga gue ngomong sama dia. Tapi tiba-tiba dia bilang:

"Eh, sebentar deh. Kok motornya berat ya?" kayaknya dia nanya sama dirinya sendiri. Tapi berhubung gua denger, gua juga nyahut.

"Heh, apa maksud lu? Mau ngejek gua gendut lagi?!"

"Enggak kok! Negative thinking banget sih lo! Ini emang beneran berat!"

Tiba-tiba seseorang yang mengendarai motor di samping kita berkata bahwa ban motornya kempes. Ahelah, males banget deh gue!

"Tuh kan, ini tuh gara-gara keberatan tau! Jadi kempes!" kata Erlangga.

"Erlangga!" panggil gue sedikit gemas. Gue juga nyubit perutnya. Abisnya gue kesel guys, dia ngomong kayak gitu gede banget. Kayak pake toa. Udah tau lagi di jalanan, gue maluuu. "lo bisa diem nggak? Seenggaknya kecilin tuh volume suara lu!"

"Aduh, duh, iya! Ampun..." maksudnya tuh ampun biar gue nggak nyubit dia lagi.

Akhirnya kita menepi di sebuah bengkel. Gue turun dan duduk di salah satu tempat duduk. Erlangga juga duduk di samping gue. Dia sengaja menyuruh abangnya pompa kedua bannya, meski yang kempes cuma ban belakangnya. Buat jaga-jaga katanya, sialan banget kan tuh anak.

"Panggil Angga aja," katanya tanpa ada ujan ataupun badai.

"Lo ngomong sama gue?" gue nengok ke arahnya. Gue kira dia nggak ngomong sama gue, abisnya daritadi dia ngeliatin abang bengkelnya mulu. Kayak terpesona.

"Ya iyalah!" gue tertawa kecil. "masa sama abangnya sih!"

"Sori ya kak," katanya lagi. gue langsung kaget dan ngeliat lagi ke arahnya. Dia sepertinya minta maaf beneran.

"Buat?"

"Yaa, gue rasa, sejak kita ketemu waktu itu, gue bawa sial yak. Eh tapi lu juga bawa sial! Ban motor gue jadi kempes. Lumayan tau, mahal bayarnya, goceng." Gue geleng-geleng kepala mendengar permintaan maafnya yang gak jadi itu.

Karena dia sepertinya nggak ikhlas, gue memutuskan bayarin biaya mompa bannya. Dia tersenyum puas. Dasar lo, adek kelas laknat!

"Heh! Kita mau kemana? Ini bukan arah rumah gue tau!"

"Bawel,"

"Jangan-jangan lo mau nyulik gue ya? Ya kan? Ngaku lo! Adek kelas criminal!" dia ketawa.

"Eh, kak, nih denger ya. Siapa juga yang mau nyulik anak gendut kayak lo? Banyak makannya! Nyusahin!" gue meringis. Gemes, gue cubit aja lagi. Eh tapi jangan salah sangka dulu. Dia nggak ngegemesin kayak bayi, maksud gue, gue gemes karena marah gitu. Lo ngerti nggak? Ahsudahlah.

"Ah, iya, iya,"

"Erlangga! Lo bisa diem nggak?"

"Angga,"

"Iya, Angga. Apa kek, terserah lo. Lo bisa diem nggak?"

"Bisa."

"Nah yaudah."

---

Kalo lo nyangka dia bakal bawa gue ke sebuah tempat indah, sejenis kafe atau apalah. Lo salah besar! Ini bukan cerita wattpad yang romantis itu, tau. Dia bawa gue ke tukang capcin. Iya, cappuccino cincau. Lo tau kan? Nggak tau? Googling sana! Dan mirisnya, di sana, dia juga nggak traktir gue. Hahaha, mupeng ditraktir ya gue?

"Ngapain ke sini?"

"Kan tadi gue udah bilang, gue nggak bisa nganterin lo pulang. Eh tapi lo maksa, ya gini jadinya. Lo harus sabar."

"Maksudnya? Jangan-jangan lo kerja di sini ya?" Tanya gue curiga. Gue curigaan mulu yak perasaan. Salahkan si penulis.

"Ya kagak lah, gila lo! Kakak gue nitip capcin. Yaudah gue beliin. Lo mau?"

"Lo mau bayarin gue?"

"Ya enggak lah! Beli sendiri!" noh kan, kambing emang.

Gue memutuskan untuk nggak beli, ngirit uang jajan. Lagipula gue juga nggak kepengen-kepengen amat. Kecuali dibayarin.

---

"Makasih," kata gue sedikit ketus. Untung gue nyampe rumah dengan selamat. Tanpa tergores sedikit pun.

"Sama-sama," eh, tumben dia normal? Pake ngucapin sama-sama segala pula. "Nggak mau nawarin masuk dulu gitu? Minum dulu?" yak. Gue salah kalo terkesan dengan ucapan dia tadi. Masih sama ternyata pemirsa, masih tengil.

"Gak. Minum aja tuh capcin lu."

"Yaelah kak, santai kali. Kalo mau mah bilang,"

"Emang lo mau beliin, hah?"

"Enggak, hehe.."

"Yaudah sana pergi, hush hush!"

"Yaudah, gue pulang ya,"

"Sono!"

Dia pun pergi dari halaman rumah gue. Gue ketawa cekikikan, masalahnya tadi ekspresinya melas banget pas gue usir.

"Ra? Kenapa?" emak gue tiba-tiba dateng dari dalem rumah. Mungkin dia curiga ada kuntilanak sore-sore. Eh, tapi ketawa gue mah cantik ya.

"Enggak apa-apa kok," gue buka sepatu, bersiap mau masuk ke dalam rumah saat Mama menahan.

"Kamu udah beli baju baru?"

"Iya, tapi tadi ketumpahan jus mangga sama adek kelas,"

"Oh. Yaudah cepetan ganti. Terus cepetan dicuci. Entar nggak ilang, lagi."

"Iya Mah,"

"Tunggu!"

"Apa lagi?"

"Baju SMA Mama yang tadi pagi Mama pinjemin ke kamu mana?" gue tepok jidat. Ahelah, pake ketinggalan segala!

"Ya ampun, ketinggalan di adek kelas, Mah! Udah lah, nggak usah diambil. Lagian juga baju udah lama,"

"Nggak bisa! Pokoknya besok harus diambil."

Ya Allah, terus gue harus ketemu adek kelas laknat itu lagi?


PacarableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang