3 bulan kemudian
Jam weker diatas nakasku menunjukan pukul 06.15. Kumasukkan buku-buku pelajaran yang tadi malam sudah kususun rapi diatas meja belajarku
"Pagi kakak," sapa Bunda yang kulihat tengah menyiapkan sarapan pagi. Beberapa mangkuk bubur ayam telah tersaji diatas meja.
"Pagi Bun, Ayah, Cysa." kataku.
Well, hari ini suasana meja makan seperti biasa.
Ayah di ujung meja, disusul Bunda lalu aku dan Cysa yang duduk berhadapan. Namun, kurasa ada satu hal yang terlihat mengganggu mataku pagi ini.
"Ngapain disini?" kataku setengah berteriak.
Sedangkan orang yang tengah kuteriaki hanya menatapku dengan pandangan malas kemudian melanjutkan acara sarapan paginya yang sempat tertunda.
"Kangen masakan nya Bunda, ayolah Ai. Tau kan di rumah nggak ada yang bisa masak?" katanya sambil terus menyuapkan sendok demi sendok bubur ayam buatan Bunda.
Aku mendengus pelan.
Jujur saja, aku tak akan tega membiarkan Senna kalau dia sudah menyebutkan masalah 'rumah-tangga'nya yang cukup pelik itu.
Kau kira Senna sudah menikah?
Yang benar saja, kalau di menikah dengan keadaan dan sifat seperti ini, yang ada istrinya langsung terkena epilepsi dadakan melihat kelakuannya.
Senna itu bukanlah tipe orang suamiable ataupun ayahable.
Dia itu tipe bad-boy.
Itu menurutku.
Ya, latar belakang Senna memang tak sebaik dengan diriku.
Ayah dan Ibunya sudah bercerai sejak dia duduk di bangku SD kelas dua. Dan semenjak itu, ayahnya tak pernah lagi sekedar meluangkan waktu untuk Senna, ayahnya selalu tenggelam dalam perusahaan konveksi yang dirintisnya susah payah.
Senna kecil tentu saja tak mampu menanggung semua itu sendirian. Aku saat itu datang mencoba menjadi temannya. Lama-lama dia dekat bahkan menjadi sangat-amat dekat dengan keluargaku. Ia memanggil Ayah dan Bundaku dengan sebutan yang sama sepertiku.
"Tsk! Merepotkan saja," ucapku setengah mendengus bosan.
"Lagian kan Senna udah biasa kayak gini, kenapa sih kak?" Adik aneh bin ajaibku -Cysa- ikut menimpali.
Matanya mendelik kearahku, dan aku tentu saja membalasnya dengan pelototan tak kalah lebar. Sebut aku kekanakan, tapi itu kenyataannya.
"PMS kali dia. Sabar ya bang," Cysa mengelus pundak Senna dengan gaya dramatisasinya yang khas. Muka Cysa menunjukkan raut wajah yang sangat aneh. Ia memandangku seakan aku adalah alien yang baru saja turun ke bumi.
Kalo ngurusin hal yang nggak penting kayak mereka, kagak ada habisnya mah.
Cepat-cepat kulahap habis semangkuk bubur ayam bagianku. Tak sampai 10 menit, sarapan pagiku telah ludas.
"Ayah, bunda kami berangkat," ucapku sambil mencium punggung tangan Ayah dan Bunda.
Ya, walaupun aku sudah dibelikan motor oleh Bunda, juga sudah bisa dan diperbolehkan untuk mengendarainya, aku selalu berangkat bareng Senna ke sekolah.
Senna benar-benar dipercaya oleh keluargaku untuk menjagaku. Dia adalah sahabatku, body guard-ku, tempat curhatku, sosok teman terbaik sepanjang masa.
Meski orang-orang diluaran sana bilang kalau tidak ada persahabatan suci antara perempuan dan laki-laki, kurasa mereka harus melihatku.
Di kisahku, tak ada tanda-tanda seseorang antara kami -aku atau Senna- sedang jatuh cinta pada sahabatnya sendiri.
KAMU SEDANG MEMBACA
High School LOVE
Teen FictionSeorang gadis jatuh cinta pada kakak kelasnya? Itu cerita yang klise. Seorang sahabat jatuh cinta pada sahabatnya sendiri semenjak kecil? Itu juga cerita yang klise. Lalu, bagaimana dengan cerita 'Seorang gadis jatuh cinta pada kakak kelasnya sedang...