Bab 7

80 9 13
                                    

"An! Any!" panggilku pelan-pelan sambil menggoyang-goyangkan lengan Anny yang terlipat di atas meja. Tempat bertumpu wajahnya.

"Uh, hemm--" tanya Any sambil mengucek kedua matanya yang terlihat memerah. "Apa?"

"Aku mau nyekip. Bosen banget sumpah," kataku. Jam B.Indonesia selalu saja membosankan bagiku. Hanya duduk mendengarkan cerita-cerita tentang konfrontasi di timur tengah, yang menurut kami itu tak ada hubungannya dengan materi pelajaran B.Indonesia.

"Ya udah sana. Aku mau nerusin bobo-nya aja." ujara Any acuh, lalu kembali menenggelamkan wajah di lekukan tangannya, meneruskan acara tidur yang sempat tertunda.

Akhirnya, aku bisa keluar dari kelas membosankan itu juga. Setelah izin keluar -tentu saja dengan alasan yang masuk akal, ke kamar mandi contohnya- yang kemudian hanya dijawabi anggukan oleh Pak Budi.

Lagipula, siapa peduli?

Lorong-lorong kelas sepuluh dan sebelas terasa sepi. Semuanya kurasa sedang duduk manis mendengarkan guru yang sedang menerangkan di dalam kelas. Sejujurnya, aku tidak tahu apa yang akan aku lakukan. Mungkin berjalan keliling sekolah akan lebih menyenangkan.

"Ayoo! Senna!!"

"Bahtiar!!"

"Three point, Senna! Please,"

Sorak-sorai dari arah lapangan basket mengalihkan fokusku. Lapangan besar yang ada di tengah sekolah itu dipenuhi anak-anak yang sedang melakukan pelajaran olahraga. Kelas Senna salah satunya, didengar dari nama Senna yang sejak tadi disebut-sebut.

Lapangan basket mungkin jadi alternatif yang bagus, setelah ekspektasiku untuk minum segelas es teh di kantin batal karena aku tidak membawa uang sama sekali di kantong rokku.

Lapangan basket ini cukup luas. Letaknya ada di sebelah barat lapangan upacara. Di pinggir-pinggirnya ada beberapa pohon yang cukup rindang.

Lumayan buat duduk-duduk gabut.

"Anzel?" Panggil sebuah suara yang amat kukenal. Suara yang kerap kali membuat hatiku ketar-ketir setiap mendengarnya. Berlebihan memang, tapi itulah adanya.

Mati aku.

"Oh, uh, Kakak? Kok bisa disini?" kataku terbata-bata.

"Jam kosong." jawabnya disertai gestur tubuh menunjuk ke arah koridor kelas XI IPA.

"Ohhh..."

"La kamu ngapain Dek?"

Malu. Ketauan bolos pelajaran sama gebetan sendiri.

"Nyekip. Hehehe." kataku sambil tersenyum bodoh.

Bagaimana bisa aku terlihat begitu buruk di depan orang yang aku taksir?

Ah, Anzeliya yang bodoh.

"Kamu ini lo. Kelas satu aja udah nyekip-an." katanya dengan sentilan jari kelingking di dahiku.

Aku tertawa kecil. Ya, itu satu-satunya hal yang dapat aku lakukan untuk menyembunyikan kegugupanku.

Rasanya aneh.

"Pulang sekolah langsung perpus. Mau ada post test." ujar Kak Zach lagi. Sepatu hitam-putihnya sejak tadi tidak berhenti menendang-nendang. Kadang kerikil, kemudian ganti jadi daun-daun yang jatuh, yang terakhir dia menendang angin.

"Oke. 3 bab kan?" ujarku sambil menghela nafas pelan. Fisika memang pelajaran kesukaanku, tapi memilih untuk ikut OSN fisika tetap membutuhkan mental yang kuat.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 06, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

High School LOVETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang