Kepingan: Kopi, Pagi, dan Matahari (1/3)

473 41 64
                                    

"Kamu kenapaaa?" pria itu hanya diam, dia menunduk lesu, "kamu kenapa kok?" hening, tidak ada jawaban. "Gio kenapa?" Dia mengangkat kepalanya, melihat gadis yang dari tadi mencemaskannya.

"Aku ada kelas, Di." sambil melempar senyum tapi bukan senyum biasa, ada sesirat kesedihan yang berusaha dia sampaikan.

"Aku tau, dan itu ngga menjawab pertanyaanku, kamu kenapa kok? Ojok ruwet!" Radita semakin cemas, ia tahu Gio yang dikenalnya, senyuman itu, dan tingkah lakunya sekarang: ada masalah berat yang sedang ia coba tanggung sendiri.

Gio tidak menghiraukannya, lalu pergi begitu saja... tanpa kata, tanpa lambaian tangan yang kekanak-kanakan, tanpa usapan rambut, tetapi hanya senyum--dan kesedihan dibaliknya.


6 bulan yang lalu,

Gio (Side Story)

Matanya yang hitam sudah hampir sepenuhnya tertutup, kurang tidur, efek begadang-mengerjakan tugas dan main dota. Beberapa kali ia harus berpura-pura mendengarkan celotehan dosen di depan--yang tak ia tahu maksudnya. Note yang sejak tadi ia keluarkan sudah penuh dengan tulisan-tulisan bak pujangga dan dipojok-pojoknya terdapat gambar graviti asal.

"Woi! Hahaha," kaget seorang gadis dari sampingnya, "jangan tidur, aku mau curhat!"

Sip! Lengkap sudah: energinya yang tinggal 5 watt, kuliah pagi dengan dosen yang sepeti ini, dan ditambah satu orang ini--yang bisa berjam-jam bercerita dan memaksa Gio untuk terus mendengarkan. "Hm?" jawabnya singkat.

Gadis itu menatapnya, tatapan yang bisa membuat siapapun merasa bersalah, tatapan anak kecil polos yang ingin minta es krim, "Hmmm, iya-iya... apa nabila?" Gio terpaksa harus menegakkan badan dan mengangkat alis, seolah-olah tertarik dengan apa yang akan didengarnya.

"Nadhira... Gio!!" Pintanya tidak setuju karena Gio memanggil nama depannya. "Aku lagi suka ama anak lho! Jadi gini....."

Sip! Akhirnya setelah 15 menit bercerita, akhirnya selesai juga. Gio benar-benar sudah lelah, "Bil, nanti tasku bawain ya? Enteng kok" lalu secepat kilat ia sudah berada di depan, melempar senyum sopan kepada dosen, "Pak, izin ke kamar mandi."

Keluar dari sana, mata Gio kembali terbuka lebar, kakinya terasa ringan, dia menarik nafas panjang sambil memutuskan akan pergi kemana. Disaat itu juga perutnya terasa perih, "Bu dhe!"

Sesampainya di luar gedung, ia mendapati dirinya sendirian, perasaan yang sama, seakan dunia meninggalkannya, orang-orang yang berlalu lalang tak pernah menghiraukannya. Dia terus bersajak di dalam hatinya, sambil mengamati kelucuan dunia. Pagi, tidakkah kau butuh kopi.

"Gio!" Sapa seseorang dari jauh, membuyarkan dunianya tapi itu hal yang sudah biasa, "bolos lagi ya? Mau kemana?"
Gio hanya tersenyum, dia mendapati ada seorang gadis disebelah Delia yang tak ia kenal, "makan. Ssst, jangan bilang bolos lagi gitu dong," ambek Gio.

Delia tertawa mengejek, "eh, kebetulan! Dia juga mau cari makan tapi aku ngga bisa nemenin, mau asistensi..."

"Aku bisa cari makan sendiri kok," sela gadis itu-tahu arah pembicaraan Delia.

"Ya udah... ayo bareng," tukas Gio datar.

Radita (Side Story)

Ia sedari tadi memegangi perutnya, raut wajahnya dibuat cemberut setengah memelas, "Lia, ayo... Belum selesai kah?" bujuknya.

Delia, sahabatnya, tak menghiraukannya. Pikiran dan tangannya masih berkutat pada soal statistik yang deadlinenya sudah lewat satu jam lebih. Dia mulai berfikir dan menyesali, seandainya saja tadi malam Ia tidak pergi ke pesta berasama Radita. Disaat yang tepat Gio muncul, "Gio!"

Radita sudah pernah mendengar Gio sebelumnya, dari Delia. Pria yang tidak terlalu tampan, sangat cuek, tetapi sangat baik. Cuek tapi peduli. Dan saat pertama mendengarnya, ia tertawa, hampir saja dia benar-benar tertawa sekarang, "aku bisa cari makan sendiri kok" Dan saat ia mendengar jawaban Gio, ia percaya. Pria cuek tapi peduli satu ini adalah getaran pertamanya.

Perjalanan yang cukup singkat dari kampus ke tempat makan, tetapi cukup tawa pula yang ia buat karena lelucon cerdas yang Gio buat. Hatinya bergetar lagi: humoris dan cerdas.

Radita benar-benar tertarik, selalu saja ada bahan untuk jadi obrolan dan kemudian tertawa bersama. Dan Gio terkadang memperlakukannya dengan spesial, seolah tau apa yang diinginkannya, "Gio, jalan yuk..."

"Ayo!" potong Gio, "agak mendung, nanti ujan-ujan sekalian ya?".

Radita tertawa kecil, pria satu ini yaaa, "belikan es krim ya?" Angguknya setuju.

Gio (Side Story)

Dia menaruh motornya asal, lalu membenarkannya setelah menyadari lirikan tukang parkir. Tapi kali ini beda, sepanjang jalan parkiran ia tersenyum, menyapa semua orang, seperti orang gila: ia jatuh cinta. Dia tidak sabar untuk bisa bertemu Radita lagi, entah kapan dan bagaimana tapi ia harus mencari cara.

Dia duduk di gazebo, pikirannya masih melayang, antara melamun dan berpikir, ia tak tahu lagi.

"Ehem!" kaget Nadhira dari belakang, "kemana aja?" tanyanya kesal.

Gio lalu berbalik. "Aku bertemu, akhirnya," kata Gio antusias, setengah bersajak.

"Siapa?"

"Namanya Radita, baru tadi pagi. Habis makan bareng, kita jalan-jalan. Dia benar-benar penuh kejutan!"

Nadhira (Side Story)

Dia keluar kelas dengan membawa dua tas, Gio yang ia cari-cari tak kunjung nampak. Ia kesal tapi bagaimanapun juga, ia tak pernah bisa marah kepada Gio.

Pikirannya masih melayang, apakah Gio tau siapa yang kusuka, sepertinya ia tidak benar-benar mendengarkan tadi. Apa harus kukatakan lebih jelas? Apa kode yang kuberi kurang? Apa aku bisa meminta lebih....

Pagi itu Nadhira risau, dan makin menjadi saat Gio tak kunjung ia dapati. Perutnya perih tapi mood makan tak ada. Seandainya Gio tau, pasti Nadhira sudah dimarahi, tapi itu yang ia inginkan kadang-kadang: sedikit perhatian dari Gio.

Akhirnya siang itu ia melihat Gio, berjalan riang--tidak sepeti biasanya--lalu duduk berpikir di gazebo. Nadhira berjalan pelan ke arah Gio, "aku akan bilang kalo belum makan, hihihi, nanti pasti rambutku diusap-usap, terus diajakin makan bareng" gumamnya naif.

"Ehem!" Saat itu Gio menoleh, oh tidak, senyum itu, sinar mata itu... Dia jatuh cinta. Tapi dengan siapa? Kapan? Apa dalam waktu sesingkat tadi pagi, begitu cantikkah gadis itu... Pikirannya kacau, cemburu, marah, patah.

"Kemana aja?"

"Aku bertemu, akhirnya".

Seketika itu dunia Nadhira menjadi gelap, tubuhnya lemas, ia ingin pergi dari situ tapi ia harus berhati-hati, Gio pintar menyadari hal-hal kecil--dia tidak boleh tahu.
Nadhira menggenapkan kekuatannya, dia mengais kepingan hatinya, "siapa?"

TBC

--------------------------------------------
Karena masukkan dari fachreku, tiap Kepingan Lost Stars dijadikan lebih pendek :D biar yang baca enak juga.

Tolong jangan di vote if not worth it. Read and critic aku aja :D

P.s: kepingan: bima dan raya; dan kepingan: secangkir kopi rasa embun itu kepingan yg berbeda. Kalau mau tau yg cerita utama, baca kepingan: aleria dan kepingan: sagitarius

[Revised] Lost StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang