Kepingan: Sagitarius (3/3)

79 14 13
                                    

"uda, ngomong aja lagi, mumpung ini lagi di Bali, di pantai. Lagian kalo ditolak, yaudah, ini terakhir kamu ketemu dia kan? Kapan lagi?" Rindra sangat ahli dalam hal beginian. Seperti petir yang menyambar Gio, perasaan itu muncul lagi! Bener juga, ini terakhir ketemu, gimana kalo aku ngga bias liat tawanya lagi pas kuliah, mau nyerah gitu aja? Mau nyesel seumur hidup? Ia berdebat dengan dirinya sendiri.

Saat Bima dan yang lain sedang asik merancang rencana penembakkan, banyak hal yang lalu-lalang di pikiran Gio, bukan cara menembak, Gio masih belum yakin apa akan kembali mengejar Gita, tapi hati kecilnya tidak bisa berbohong: hanya gadis itu yang bisa membuat harinya cerah atau mendung dalam sekejab.

"ayo cepet! Semangat!" Bima sedang sangat bersemangat sekarang, dia membangunkan semua anak termasuk Gio. Gio benar-benar tidak mood sekarang, perasaannya masih belum jelas.

Gio ikut tersenyum melihat Bima berbicara sendiri di bis, latihan, katanya. Lalu saat bis berhenti, Bima bergegas turun duluan lalu menaiki kol. Sedang Gio tidak begitu peduli.

Ia melihat teman-teman sekamarnya sedang berkumpul, Rindra terlihat sedang kesal, Gio menjadi penasaran, ia berlari mendekat, mulai terlihat wajah Bima yang murung di belakang Diki.
"kenapa dia ngga bilang ke kita dulu se? Bukane dia temen kita," Rindra emosi. Gio masih terlihat bingung.

"sudahlah, udah. Aku gapapa kok, ngga jodoh" Bima membesarkan hati nya sendiri.

"tapi seenggake ngga gini kan? Dia bisa ngomong dulu ke kita,"

"udahlah, mau gimana lagi, aku keduluan. Aku yang salah uda menyia-nyiakan dia dulu," Bima menghela nafas panjang, "ayok wes! Mumpung lagi di Bali! Mumpung di pantai Kute," ajak Bima. Tapi pikiran Gio kembali melayang, entah bagaimana ia menjadi takut apa yang terjadi pada Bima terjadi padanya. Ia takut ada orang lain yang lebih dulu ngomong ke Gita, ia takut kata-katanya puitis, ia takut waktunya tepat, ia takut orang itu membuat Gita nyaman: ia takut kehilangan sesuatu yang bukan miliknya. Disamping semua itu, Gio lebih takut patah.

Gio memasuki bis dengan malas, tanpa menghiraukan Nadhira yang memintanya duduk disebelahnya, Gio berjalan sampai ujung belakang Bis, lalu duduk bersandar. Pikirannya benar-benar masih kacau.

"Gio..." sapa seseorang yang tiba-tiba masuk dari pintu belakang. Lalu duduk disebelahnya.

"hei, Git," dalam waktu sepersekian detik setelah mendengar sapaan Gita, banyak sekali kata-kata yang melintas untuk menjawabnya, tapi yang sanggup keluar hanya itu. Kata-kata aman, Gio sedikit menjaga jarak, membangun tembok di sekitar hatinya.

Tanpa menjawab sepatah katapun, Gita berdiri, sepertinya ia tahu ia sedang diacuhkan, "istirahat deh kalo suntuk, kapan-kapan temenin nyari bakso ya,"

Dunia Gio cerah.

Selama perjalanan jantung Gio berdegup kencang, ia sedikit sulit bernafas, karena gerogi, panasnya Surabaya dan penyebab utamanya: tangan Gita yang melingkar di daerah ulu hati (antara perut dan dada). Tak satu katapun yang terucap dari mereka. Gio sendiripun tak ingin berbicara, ia ingin menikmati suasana ini.

Ia tiba di tempat makan di pinggir jalan, kata Gita ini warung bakso paling enak, Gita ini ternyata penggemar meatball dan mei ayam. Gio hanya mengiyakan, dia rela pergi kemanapun (Bagi Gio semua makanan sama enaknya) asal Gita memeluknya seperti tadi.

"Masnya, dua porsi ya, satu nya pentol semua, mie nya banyakin ya," Gita mulai memesan, agak cerewet, "Gio, kamu apa?"

"aku campur aja deh," kata Gio sambil memilih tempat duduk.

"minumnya?" Gio tidak menjawab, ia hanya menunjuk gambar susu putih di tembok. "es teh sama susu putih ya mas," lalu duduk dengan perlahan di depan Gio. Matanya bersinar, ini kali pertama ia melihat sorot mata yang berbeda dari Gita, sorot mata yang tidak mendamaikan, lebih seperti antusias, seperti ada bintang jatuh di kilau matanya.

[Revised] Lost StarsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang