In The Place Called SALON

679 32 3
                                    

Satu jam menempuh perjalanan, akhirnya mobil pun berhenti di salah satu sudut parkiran sebuah kawasan perbelanjaan yang cukup terkenal di kotaku. Aku sudah sering melewati atau bahkan singgah di berbagai toko-toko di kawasan berbelanja ini. Tapi tak pernah mencoba sekalipun memasuki kawasan salon dan sebagainya. Biasanya sih aku datang ke sini untuk makan atau main di game zone.

"Ayo Vara! Cepet!" teriak mama dari kaca jendela mobil.

"Sabar dong boss... " seruku malas sambil menuruti perintah nyonya besar dengan sefera turun dari mobil.

Setelah yakin aku sudah siap pergi, mama mendekati kaca pengendara mobil, dan memberikan selembar seratus ribu kepada supir kami.
"Pak Didit, tungguin ya. Ini untuk makan."

Setelah itu barulah mama membawaku berjalan menuju dunia antah berantah yang sangat terdengar melelahkan di telingaku.

"Ini gak kepagian, ma?" tanyaku saat wanita yang melahirkanku itu membawaku berjalan di atas trotoar pertokoan.

"Udah jam setengah sepuluh. Mudah-udahan salonnya gak penuh." seru mama sambil melihat jam di pergelangan tangannya.

"Gak akan penuh kali. Pagi-pagi gini.." ceplosku. Lagian siapa yang kerajinan banget dan gak ada kerjaan sampai pagi-pagi dateng ke sini cuman buat nyalon. Lebih enak tidur-tiduran di kasur atau makan bubur ayam yang lewat rumah aja deh.

"Jangan salah kamu. Salon langganan mama itu terkenal banget. Malah banyak banget artis yang dateng ke salon langganan mama pagi-pagi cuman buat dipermak di salon itu! Kualitas salonnya itu udah terkenal luas tahu! Sudah gitu, yang punya temen SMP mama lagi. Jadi mama sering dapet diskon. Hehe" mama mengakhiri kalimatnya dengan tertawa khas ibu-ibu yang dapet diskonan. Gak banget.

"Terserah mama aja deh..." seruku tanpa mau ambil pusing.

Percakapan kami berhenti saat mama menghentikan laju kakinya di trotoar dan membalikan badan kearah sebuah bangunan ruko berwarna hijau toska dengan tulisan 'SALON Rainy Greeny'.

Namanya gak banget.

Tanpa ba-bi-bu, mama segera menggenggam tanganku, dan mengajakku masuk ke bangunan hijau itu. Dan sesaat setelah melewati pintu depan yang terbuat dari kaca itu, aku hanya bisa ternganga tak percaya.

"Gimana Vara?" tanya mama padaku dengan senyum penuh kemenangan.

Ya, seperti perkataan beliau, salon langganannya itu ternyata memang sudah cukup terkenal. Jadi di dalmnya sudah cukup sibuk walau area pertokoan rata-rata baru buka setengah jam yang lalu. Aku hanya dapat menggelang-geleng kepalaku tak percaya. Ternyata banyak sekali wanita kerajinan atau kurang kerjaan di kotaku sehingga pagi-pagi di hari Senin sudah stand by di kursi salon. Oh My God.

"Hei Reni!" sapa mama pada seorang wanita seusianya yang sedang duduk di salah satu sofa salon sambil memperhatikan salah satu pekerja salon.

"Oh Hai Fani! Kamu kok kesini gak ngabarin aku?" wanita yang dipanggil mama dengan sebutan 'Reni' itu segera berdiri dari duduknya dan menyalami mama. Kutebak tante Reni yang sedang disalami mama itu adalah pemilik salon bernama norak ini sekaligus teman SMP-nya yang sering ngasih diskon.

"Hehe... Iya nih tiba-tiba aja aku kepikiran. Lagian bukan aku yang mau treatment. Ini aku minta tolong kamu dandanin anak aku..." Mama menyodorkanku pada tante Reni yang walau selera memberi namanya konyol banget, tapi gayanya sangat modis untuk ibu-ibu sebayanya. Yah...Model-model sosialita kayak mama lah.

"Waah anakmu? Mau ada acara apa? Acara kantor? Pesta? Kampus? Atau kencan nih?" tanyanya bertubi-tubi.

"Aduh Ren, kamu tau ajah. Dia emang mau kencan minggu depan. Sekarang sih pengennya treatment biar keliatan bagusan pas hari H. Tolong ya..." seru mama penuh semangat.

My Beautiful Handsome GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang