Blind Date

621 30 2
                                    

Ternyata kengerian hari itu tak berakhir secepat yang kuduga. Kupikir tubuhku akan dioprak-oprek hanya dalam satu hari. Tapi ternyata, sampai pada hari minggu yang ditunggu mama, aku harus merasakan pahitnya dua kata yang baru saja kurasakan. Salon dan Ujang.

Dua kata itu seperti membunuh diriku pelan-pelan dan juga dari dalam. Kenapa?
Mari kita lihat alasannya.

Yang pertama, di tempat bernama salon, dan di tangan banci bernama Ujang, kulitku dibersihkan sejadi-jadinya. Ototku direlekskan dengan pijatan-pijatan beraroma yang namanya sudah kulupa. Dan wajahku dipermak tak karuan.

Sejujurnya cukup enak dan menyegarkan. Hanya saja, karena itu pula aku dilarang main basket selama seminggu penuh, mengendarai motor ninjaku kemana-mana, atau bahkan melewatkan satu hari tanpa mandi. Mama bahkan berani membayar orang hanya untuk memastikan aku tak melanggar perintahnya. Itu semua agar perawatan yang kulakukan tidak sia-sia.

Yang kedua, Ujang, yang juga diperintahkan mama dan tante Reni mencarikan baju yang pas untukku, akhirnya menyodorkan sepotong gaun berwarna merah muda yang gak aku banget. Dan anehnya lagi, Mama dan Tante Reni girang sekali melihatnya. Seakan baju pilihan Ujang itu pas sekali dikenakan olehku. Padahal menurutku sangat gak banget.

Akhirnya kusuruh Ujang mencari baju yang lebih layak kukenakan. Dan sejak itulah aku harus berkali-kali mencoba berbagai pakaian yang ia rekomendasikan dalam sehari. Pokoknya berat banget.

Dan yang ketiga. Yang paling parah dan membuatku depresi. Setiap kali aku merubah pakaianku dan berkaca pada cermin di hadapanku, semua pertahanan diriku perlahan-lahan melemah. Entah kenapa, setiap kali melihat tubuhku dibalut gaun-gaun, wajahku dipoles sana-sini, dan rambutku di tata sedemikian rupa, ada sesuatu dalam tubuhku yang berteriak senang dengan perubahanku. Padahal seharusnya tak begitu. Seharusnya aku tetap 100% setia dengan ketomboyanku. Tapi keinginan dan kenyataan tak selalu sama. Contohnya baru saja kukatakan.

***
Sampai pada hari H.

"Gimana madam? Cantikkan, nona Rava-nya?" Ujang berseru sambil memperlihatkan penampilan terakhirku pada mama serta bosnya.

"Aduuh Vara, kamu cantik banget. Tuuh kan... Apa mama bilang, kamu kalau di dandanin kayak cewek, cantik banget. Artis-artis aja pada kalah!" Mama memujiku habis-habisan. Tapi aku tetap kalem dan males jawab. Walau sebenarnya sedikit tersipu karena dipuji 'cantik' sampai segitunya. Gak biasa banget. Tapi cepat-cepat kuhilangkan pikiran-pikiran jelek itu.

"Cantik sekali anakmu ini! Sekarang sih tak ada yang akan menganggapnya laki-laki. Yang ada, dia bakal digembrungi laki-laki." puji Tante Reni. Menambah beban batinku.

"Udah ah! Lama! Aku pergi!" Seruku di tengah puja-puji mereka.

Setelah salam ke mama dan Tante Reni, aku segera berjalan keluar salon. Di depan salon, taksi yang tadi di pesan mama sudah ada dan siap memgantarkanku ke tempat yang dituju. Aku segera berjalan memasuki mobil itu, dan duduk di kursi penumpang. Setelah meyakinkan aku siap, supir taksi segera mengemudikan mobilnya menuju tempat tujuanku.

Di dalam mobil, kuperhatikan lagi penampilanku. Rambutku tetap pendek, namun dirapihkan sedemikian rupa. Poni sebelah kananku di selipkan di belakang telinga dan dijepit menggunakan jepit rambut hitam polos. Sedangkan poni sebelah kiriku dibiarkan menutupi alis mataku.

Wajahku dipoles make up yang sangat natural dan polos. Sesuai dengan permintaanku.

Lalu untuk pakaian, aku cukup bersyukur karena bisa meyakinkan mama, tante Reni, dan si Ujang bahwa aku tidak bisa memakai rok atau gaun dan juga sepatu high heels. Akhirnya dengan terpaksa mereka membiarkanku mengenakan setelan celana Khaki berwarna hitam yang ketat di kakiku. Dan untuk sepatu, aku memakai sepasang sepatu flat shoes berwarna putih polos yang nyaman di kaki.

My Beautiful Handsome GirlTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang