"Zahra?" Ibu muncul dari ruang tengah.
Ia memergoki Zahra tengah memegang bingkai foto keluarga mereka. Zahra terkejut dengan kemunculannya.
"Ah ibu? Ma-maaf bu. Zahra nggak sopan liat-liat foto ini." Zahra meletakkan kembali bingkai foto itu di tempatnya.
Ibu mendekat, duduk di samping Zahra sambil mengusap kepalanya yang tertutup hijab.
"Nggak apa-apa sayang. Itu foto ayahnya Abyan. Beliau sudah meninggal 5 tahun yang lalu." Wajah ibu berubah lesu sambil menatap bingkai foto itu.
Zahra tersentak. Ia terkejut mengetahui bahwa Ayah Abyan sudah tiada. Ayah Abyan tidaklah terlalu tua kelihatannya, kira-kira sama seperti usia ayahnya. Apa penyebab kematian ayah Abyan? Zahra bertanya-tanya dalam hati, ia memperhatikan wajah Ibu yang masih memandangi foto Ayah Abyan di bingkai foto kecil itu.
"Maaf ya bu, Zahra nggak tau." Zahra mengulurkan tangannya dan merangkul Ibu sambil mengusap-usap lengan ibu dengan lembut.
Ibu tersenyum. "Ayah meninggal dunia saat sedang bertugas. Pesawat hercules yang ia kemudikan jatuh di Medan." Ibu meraih bingkai foto tersebut.
Zahra masih diam. Hanya merangkul Ibu sambil berusaha menenangkannya. Suasana disini berubah menjadi sedih. Ibu terbawa suasana hingga hampir meneteskan air mata jika mengingat kejadian 5 tahun yang lalu.
"Abyan sangat dekat dengan Ayahnya. Saat itu Abyan baru kelas satu SMP. Ia sangat terpukul dengan kepergian Ayahnya. Ia masih terlalu kecil untuk memahaminya, ia tidak mau makan hingga berhari-hari." Ibu menghela napas.
"Untung saja, setelah ibu berusaha bicara dengannya. Ia mau makan sedikit demi sedikit. Dari situlah ia mengerti jika tanggung jawab keluarga ini berpindah tangan padanya. Ibu katakan padanya bahwa ia harus menjadi laki-laki yang bertanggung jawab, pemberani, dan pantang menyerah untuk melindungi keluarga ini karena hanya dirinyalah pengganti Ayahnya." Lanjut ibu.
Zahra berusaha mengerti kata-kata Ibu. Ia mengangguk-anggukan kepalanya sambil terus merangkul ibu.
"Ibu, Zahra boleh peluk ibu?" Izin Zahra.
Ibu tersenyum melihatnya. "Boleh sayang. Sini peluk!"
Ibu merentangkan tangannya sambil tersenyum. Zahra menghambur ke dalam pelukan Ibu. Pelukan hangat yang begitu terasa oleh Zahra hingga ia menyandarkan kepalanya di bahu Ibu sambil tersenyum.
"Aahh udah udah ga boleh sedih-sedih gini." Ibu melepaskan pelukannya. Matanya berair, apa ibu menangis? Tanya Zahra dalam hati. Ibu mengusap kedua matanya dengan tangannya sendiri. Namun, ia tetap memasang wajah tersenyum.
"Kamu kan harus belajar ya? Ya sudah kamu lanjutkan dulu yaa belajarnya? Ibu ke belakang sebentar." Ibu mengusap matanya lagi, namun terdengar isakan dari suaranya.
Zahra melihat Ibu yang meninggalkannya sendirian di ruang tamu. Ia berubah menjadi murung saat mengetahui kematian ayah Abyan. Pasti ayah Abyan adalah sosok yang sangat gagah dan hebat, pikirnya.
Zahra menggelengkan kepalanya cepat, membuka laptop Abyan dan mulai mengetik makalah mengenai bahaya merokok.
♥♥♥
Abyan baru saja memarkirkan motornya di halaman rumahnya. Membuka helmnya, dan turun dari motornya. Wajahnya berkeringat karena udara sore ini cukup panas. Matahari masih bersinar cukup terik di atas sana. Ia pulang seorang diri, karena Ica terlalu lama berada di rumah Robby, akhirnya ia memilih untuk pulang. Untung saja Robby dengan tanggap langsung menjanjikan akan mengantar Ica pulang dengan selamat.
Abyan masuk ke dalam rumahnya, memperhatikan meja tamu dimana laptopnya masih bertengger disana dalam keadaan tertutup. Ia mengerutkan keningnya. Kemana Zahra? Apa cewek itu sudah pulang duluan karena terlalu lama menunggunya? Pikir Abyan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Zahra & Abyan
Spiritual(Uncompleted story) PUBLISHED Warning! Cerita di Privat karena mirror web, harap follow terlebih dahulu untuk membaca :) "Aku nggak pacaran." "Kenapa? Masih belum move on dari mantan?" Zahra tersenyum, lalu menggeleng lagi. "Nggak boleh pacaran...