Satu

120 4 1
                                    


                “Kimi!!! Bangun kamu udah terlambat!!” teriakan 8 oktaf Mami mengalahkan semua penyanyi seriosa. Teriakan cempreng khas lumba-lumba dari Mami selalu berhasil membangunkan satu kompleks perumahan. Gak deng, satu rumah. Gak deng, bangunin gue doang. Jam di dinding masih menunjukkan pukul 05.30. Ya ampun ni Bu Boss, baru juga jam setengah enem. Udah bilang telat. Kimi pun kembali masuk ke dalam selimut shaun the sheep-nya. “KIMI KAMU INGET GAK SIH INI HARI PERTAMA KAMU SMA! KAMU MAU DI MOS! MAU TERLAMBAT? MAU DIMARAHIN OSIS?” 3 kalimat Mami berhasil membuka mata Kimi lebar-lebar. Kebiasaan Kimi di sekolah menengah pertamanya yang jaraknya hanya 50 meter dari rumahnya membuat dia terbiasa bangun siang. Namun kini, Kimi Tania, bukan lagi anak SMP. Setelah dinyatakan resmi lulus dari SMP Goden Ways, Kimi melanjutkan sekolahnya di SMA Tunas Bangsa. Sekolah nomor satu di provinsi dimana Kimi tinggal. Bukan mudah untuk bisa menjadi siswa/siswa SMA Tunas Bangsa. Kalau tidak karena jalur prestasi wushu yang dimiliki Kimi, mungkin dia sudah gagal.

                “ASTAGON! MAMI AKU LUPA. SIAPIN SARAPAN AKU! 10 MENIT LAGI AKU TURUN!” teriak Kimi yang baru saja lompat dari tempat tidurnya menuju kamar mandi. Secepat kilat dia menggosok giginya, mandi, dan mengenakan seragam barunya. Benar saja dia hanya membutuhkan 10 menit untuk melakukan hal itu semua. Secepat kilat dia menyergap roti yang sudah disiapkan sang Mami, dan segera berlari keluar rumah.

                “Kim—Kamu mau ke mana? Itu bajunya salah!” teriak Mami melihat anaknya yang sudah mengenakan seragam SMP. Padahal dipemberitahuan sebelumnya, untuk hari pertama MOS, siswa/siswi baru harus mengenakan seragam nasional SMP. Belum lagi dia berlari keluar rumah, mungkin Kimi masih berfikir sekolahnya masih 50 meter dari rumahnya. Padahal jarak sekolahnya sekarang sekitar 15 kilometer dari rumahnya. Segera sang Mami mengambil baju SMP Kimi. Baru saja Mami hendak masuk ke dalam mobil. Nampak di ujung jalan anak bungsunya yang terlari cepat mengenakan seragam SMP-nya. Kimi…Kimi. Batinnya

                “Mami aku lupa kalau….” Omongannya terhenti melihat baju yang dipegang di tangan kanan Maminya. Segera ia ambil baju itu. “Sama aku lupa kalau sekolah aku….” Beep beep! Alarm mobil sudah dimatikan. Kimi tertegun. Wanita yang ada dihadapannya ini memang selalu ada untuknya. Selalu tahu apa kebutuhannya.

                “Buruan masuk, mau telat? Ganti baju di dalem mobil aja deh, lama kamu!” Kimi pun menuruti perintah Mami-nya. Di dalam mobil ia mengganti seragam SMA-nya dengan seragam SMP-nya. Setelah itu ia memakan roti yang sedari tadi ditangannya. 20 menit merupakan rekor yang ditempuh Mami untuk menempuh jarak 15 kilometer. Kimi sudah turun dari mobilnya. Kini ia berdiri di depan sekolahnya. Lembaran baru akan kumulai di sini

***

                Bruk! Badan Kimi jatuh ke tanah, dilihatnya dengkulnya mulai mengeluarkan darah.

                “ Argh! Bisa ga si lu jalan pake mata!” Kimi menaikan kepalanya melihat pria yang baru saja membuat dengkulnya terluka. Ia segera bangun, namun sebelum ia memaki pria itu. Pria itu sudah berlari ke dalam. Pria itu memakai seragam SMA. Oh, kakak kelas. Gaya banget lo! Gerutunya dalam hati. Kimi kembali melihat lukanya. Ah gak parah. Diambilnya botol minum di tasnya untuk mencuci lukanya agar tidak infeksi. Agak perih dia rasa.

                “Ayo, anak baru yang masih di luar pager segera masuk! Karena sebentar lagi pager bakal ditutup buat siswa baru!” suara speaker terdengar keras sampai keluar. Padahal jarak dari lapangan tempat berkumpul dan pagar lumayan jauh. Kimi berusaha berlari namun apa daya, kakinya masih terasa sakit. Nampaknya lumayan parah. Tapi, Kimi bukanlah anak kecil yang cengeng dan manja. Kimi berhasil berlari tergopoh-gopoh dan memasuki barisan.

                “Oke, sekarang semuanya duduk. Kakak PJ kalian bakal ngabsen kalian dan melihat kedisiplinan kalian. Gak ada suara!” serempak semua siswa baru menuruti perintah Kak Denise, cantik tapi agak tegas. Dia yang akan bertugas sebagai MC disetiap perkumpulan. Seiringan dengan perintah Kak Denise, para Kakak PJ satu persatu menghampiri barisan kelas adik didiknya. Kakak PJ kelompokku adalah Kak Gideon. Ganteng, berkarisma, dan murah senyum. Tapi sepertinya dia sudah menjalin hubungan dengan salah seorang kakak PJ yang lain. Kalau tidak salah namanya Leoni. Katanya sih dia cewek tercantik diangkatannya bahkan di sekolah. Cocok lah sama Kak Gideon. Pikirku.

"Gid, liat nih ada jagoan!" suara itu muncul dari belakangku. Suara itu bersumber dari mulut Kak Allen yang dibuntuti oleh seorang pria yang belum terlalu jelas kelihatan mukanya. Tentu saja aku melihat ke belakang begitu pula dengan teman sebarisanku dan tentu saja Kak Gideon. Brak! Tas ransel yang dipakai setengah oleh pria yang berjalan di belakang Kak Allen. Tas itu mengenai mukaku yang berpaling ke belakang sejak Kak Allen berbicara kepada Kak Gideon. Hidungku yang sensitif mulai memproduksi cairan merah. Argh! Pasti gue bakal dibilang lebay. Segera aku keluarkan tissue dari dalam tas yang siap sedia menyerap cairan merah ini. Pria tadi nampaknya tidak menyadari perilakunya. Dia sama sekali tidak minta maaf.

"Eh, lo gapapa? Emang sakit banget ya kenanya?" tanya seorang pria yang duduk di depan ku. Aku hanya bisa melihat namanya Keenan Gladen. " Kak Gid, ada yang mimisan!" teriaknya lagi. Aku hanya bisa diam, darahnya mengalir terlalu deras hingga mengenai bibirku. Tadinya aku ingin menghentikannya memanggil Kak Gideon. Kulihat Kak Gideon dan Kak Allen datang menghampiriku.

"Loh ini kenapa bisa mimisan?" tanya Kak Gideon ke Keenan.

"Tadi kena tas cowo itu, Kak!" jawab seorang siswi dari belakangku. Tangannya menunjukan ke arah anak laki-laki tadi yang berjalan di belakang Kak Allen.

"Sini lo!" teriak Kak Allen. "Lo apain dia?" tanyanya kepada laki-laki itu tangannya memegang tali tasnya sehingga menutupi bad namanya.

"Gue? Orang gak gue apa-apain" jawabnya santai.

"Gila! Sekarang lu panggil petugas kesehatan!" perintah Kak Allen.

"Kok gue? Emang gue babu lo?" seru pria itu membuat Kak Allen memanas.

"Udahlah, Len. Lo aja yang panggil. Sekalian bawa dia ke Mikay." perintah Kak Gideon. Kini ia berlutut di depanku. Dilihatnya aku dengan sungguh. Mata coklatnya. Tatapannya seperti pange.... "Hei, kamu gapapa?" tangannya sudah melambai-lambai menyadarkan lamunanku. Darah mimisan ini sudah memasuki mulutku. Aku tidak bisa menjawabnya. Aku hanya menunjuk darah di mulutku. Kulihat senyum terukir di pipi tampan Kak Gideon. Dia mengeluarkan sapu tangan dari kantung celananya. Perlahan tangannya mulai mengusap darah di bibirku. Wangi sapu tangannya tercium. Oh, Tuhan. Kenapa aku ini?

"Mana yang mimisan?" seorang petugas kesehatan yang mengenakan pakaian putih-putih datang.

"Ini, Suster. Tolong dibawa ke UKS ya. Suruh istirahat aja." seru kak Gideon melelehkan hatiku. "Kamu istirahat dulu aja di UKS. Nih bawa sapu tangannya. Kembaliinnya kapan-kapan aja. Cepet sembuh ya!" tangannya mengacak lembut rambutku. Setelah itu ia membantu aku berdiri.

****

"Le, liat tuh kelakuan ade kelas!" pandangannya beralih kearah yang ditunjuk sobatnya itu. "Gila ya gue ga ngerti jaman sekarang ade kelas berani aja modusin kakak kelas padahal baru mulai MOS." Leoni masih memandangi mereka. Gideon mengeluarkan sapu tangannya. Tangannya yang mengenakan gelang yang sama dengan Leoni mengusap darah anak itu. Leoni terdiam. Dia tidak tahu harus berkata apa. "Le, lo kok diem doang sih? Lo mau Gideon direbut anak baru itu?" serunya lagi membuat Leoni berlari menjauhi lapangan.

***

"Le!! Leo!! Leoni woi!! Lu harus ngePJ!" suara Pamela kuabaikan. Aku tak mau ia melihat air yang sudah membasahi pipiku. Sungguh aku tak mengerti dengan diriku sendiri. Gideon memang baik. Tapi dia terkadang tidak menyadari perilakunya yang membuat hatiku sakit. Kabur dari keramaian adalah keputusan yang tepat. Gudang belakang sekolah yang rindang cocok menjadi tempat pelampiasan.

"Kenapa lo nangis?" tanya seorang yang baru saja keluar dari dalam gudang. Gudang ini sudah lama dikunci dan tidak bisa dibuka. Hal itu membuat Leoni terkejut. "Gue bukan setan, Le!" sahutnya lagi. Kulihat kakinya napak ditanah. Aman!

"Lo ngapain di sini?"

"Lo ngapain di sini? Seorang wakil ketua osis bebas ya bolos nge-MOS dan nangis ke sini?" omongannya menyadarkanku. Oiya gue lagi ngemos! "Kenapa? Gideon perhatian ke cewe lain?" mataku terbuka lebar. Dari mana dia tahu. "Udahlah dia kan emang gitu orangnya. Lo terima aja apadanya. Gausah terlalu lebay lah. Kalo dia sayang sama lo, ya dia gak bakal ninggalin lo. Simple kan?" serunya lagi. Omongannya lumayan dewasa. Tapi aku tidak tahu dia siapa. Tapi dia memakai seragam yang sama denganku. Mungkin kelas 12 atau alumni yang sedang ingin cap tiga jari. Aku hanya mengangguk.

"Gue duluan." aku meninggalkannya pergi.

"Gue Vino! Vino Mahardika! 12 IPS 3! Salam Kenal, Le!" serunya ketika aku mulai menjauhinya. Langkahku sempat terhenti. Namun kulanjutkan lagi. Tuhkan bener kelas 12.

'Till We Meet AgainTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang