bagian tiga-belas: Harapan

1.9K 142 11
                                    

Mata Jurina tidak henti-hentinya menatap Rena. Entahkenapa, tapi kali ini hatinya benar-benar tidak damai. Ia cemas. Tapi pada apa?

"Makan dan habiskan. Jangan lihat aku seperti itu.", kata Rena yang sepertinya sedikit risih.

"Ah, maaf."

"Ada apa denganmu? Kamu bersikap berbeda dari sebelumnya? Ada masalah?"

Kamu masalahku!,batin Jurina. Dia hanya mendengus dan menggeleng. Rena menurunkan sumpitnya dan menempelkan tangan di keningnya Jurina. Eh, apa?

"Kamu tidak panas. Tapi kenapa kamu pucat?"

Jurina tergagap-gagap. Jantungnya berdegup begitu kencang, dadanya seolah ingin meledak. Apa? Kenapa? Wajahnya pasti memerah akan hal ini. Rena kembali duduk dan kembali menyantap ramennya yang hampir teranggurkan olehnya sedari tadi.

Ahh.. Rena..., bisik hati kecil Jurina yang bergejolak begitu Rena duduk didepannya. Matanya menatap lembut Rena yang sedang menyeruput Ramennya dengan lahap. tanpa sadar, ia meraih rambut Rena yang hampir jatuh ke mangkok lalu mengaitkannya di belakang telinga Rena.

Rena menatap heran Jurina yang kali ini tersenyum, tersenyum begitu manis, bahkan sangat manis yang membuat Rena berdebar kencang. "Kenapa kamu melihatku?"

Jurina tersadar lalu meraih sumpitnya. "Enggak, tidak.. aku cuma...". Ia jadi salah tingkah. Ahh, sialan!, umpatnya. Dia melirik Rena yang masih melihatnya. Dia pasti berpikir aneh-aneh!.

*)Rena's POV

Ku lihat Jurina yang salah tingkah begitu ia sadar pada lamunannya. Ada apa dengannya? Apa ada yang salah padaku? Kurasa tidak ada!, aku normal. Aku juga tidak bau badan. Tapi, kenapa?

"Maaf melihatmu tadi.. aku hanya sedang banyak pikiran.", tutur Jurina menjelaskan semuanya. Ia mengaduk kuah Ramennya dan menatap kosong mangkok itu. Ia tersenyum dan mendengus.

"... mungkin karena ini hari terakhir kita berdua..", lanjutnya lebih pelan namun begitu terdengar jelas ditelingaku. Aku jadi merasa tidak enak.

"Jurina..", aku mendekap tangannya dengan tanganku, cukup erat. "Aku masih bisa ku temui kok.". Degh! Eh? Kenapa aku bisa berkata demikian?. Kenapa dadaku terasa sangat sakit melihat Jurina yang menunduk tanpa menampilkan sedikitpun senyum.

mana sifat arogan dan sombongnya? dia menjadi aneh, sangat aneh. Apa yang membebaninya?

"Rena. tentang perkataanku di toko saat itu. Aku...", ia menghentikan perkataannya dan mengigit bibirnya, "bisakah kamu katakan jawabanmu.. secepatnya?"

Aku terkejut begitu dia menjatuhkan air matanya ke tanganku, "... Jurina. Kenapa?". Ku rasakan remasan di tanganku. Apa yang terjadi?!

"Jurina. Kenapa menangis?", aku menggoyangkan pundak kanannya. Ia masih menunduk dan semakin terhanyut dalam tangisannya.

"Aku...", ucapnya dengan lirih, "aku lelah .. dengan ... semua harapan ini....". Ia memperlihatkan bagaimana rapuhnya ia di depanku. Jurina, orang yang ku anggap paling sombong kini menjadi seorang yang begitu hancur.

Ku pegang lembut pipinya, semua mata memandangi kami. itu membuatku gugup, "Ju-ju-ju.. jangan menangis. Ok? Kita bicarakan di luar, ya? Ayo."

ku bawa Jurina untuk pergi ke tempat belakanh kedai Ramen. Disana, tangis Jurina sudah mulai terkendali dan air matanya tidak sederas tadi.

"Kamu bisa ceritakan semuanya padaku, Ju.", aku menepuk pundaknya."aku janji ini hanya akan menjadi rahasia kita berdua..."

Jurina menatapku begitu dalam hingga dapat kurasakan suatu perasaan yang sangat sulit ku jelaskan tapi itu semacam perasaan patah hati dan sakit,

Jurina terlihat kesakitan. Ia menggenggam tanganku begitu erat. "Rena..", ia menatapku nanar hingga akhirnya ia mendekapku, begitu erat.

"Tolong jangan buat aku berharap padamu.", ia membenamkan kepalanya di bahuku. ".. jika kamu tidak menyukaiku, katakanlah."

"... Ju... apa..", aku tidak mengerti! Ada apa dengannya. Ku sadari Jurina kini mencengkram erat kedua jaketku dan memperlihatkan wajahnya yang basah akibat air mata.

"Rena, tolong...", ia berguman sambil memeluk aku. "Jangan beri ha..harapan palsu ....padaku."

"Jurina, aku tidak tahu apa yang kamu katakan tapi, aku tidak akan memberikan harapan palsu padaku.", kataku yang membuat Jurina tersenyum-lagi-.

"Kalau begitu...", Jurina menarik diriku. Ku rasakan sesuatu yang manis, basah, dan hangat di bagian bibirku. Ciuman pertama setelah bertahun-tahun sejak kepergian Rion dari hidupku.

Dan kini, aku merasakan Jurina menyudutkan diriku di dinding. Jurina melumat bibirku. Begitu dalam hingga aku juga terbuai olehnya. Ku dorong dirinya hingga kami terhenti karena seorang pegawai tiba-tiba masuk dan memberikan plastik berisi sisa ramen yang ku pinta untuk dibungkus.

aku dan Jurina tersenyum kaku lalu mengibrit keluar kedai. Jurina kembali tersenyum dan kini melihat diriku dengan tatapan berbeda. Lebih hangat dan lebih sedikit dalam daripada yang dulu.

"... mau melanjutkan yang tadi?", Jurina menggandeng tanganku. Aku mengeritkan dahi, terkejut dengan ajakannya ini. "Kamu terlihat memikmatinya jadi aku kira kamu ingin melanjutkannya...m-maaf."

Dia tertawa, sepertinya agak merasa lucu.

"dasar mesum", sindirku. Sementara Jurina hanya tertawa dan terus tertawa. Aku tidak tahu kenapa aku merasa senang begitu melihat Jurina kembali tersenyum.

"... aku menyayangimu, Rena.", ia kembali mendekapku, "terima kasih..."

"Sama-sama... Jurina..."

--

Sip! ini  FF uda makin gajelas (': !!!
Ini udah ancur ancur!!! Aahh kesel!!! (authornya marah, ceritanya). kalo memang gak ngerti alurnya yah gak usah baca, ya? V: /. Ane akan buat endingnya makin ngawur kok. Wkwk

When I Fall in Love With YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang