CHAPTER 2 [Revisi]

57 4 0
                                    


~Raisa pov~

***

Aku melamun memikirkan Ryan yang berdiri disampingku.

"Heh, lo gila ya?" celetuk  Ryan, kembali membakar hatiku. Kutolehkan kepala dan kebelalakkan mata, mencoba memasang wajah galak supaya nyali cowok itu ciut, tapi nampaknya tidak terlalu banyak membantu. Dia malah cengengesan, menyebalkan, sekaligus cute.

"Elo tuh ya? Temen bukan, saudara bukan... Kenal juga enggak... enak aja main bilang gue gila."

"Gue tau nama lo kok, elo Raisa. Tadi gue sebut nama lo kan?"

Terus terang saja ada rasa bangga dalam hatiku saat Ryan mengakui bahwa ia kenal padaku.

"Bosen banget gue liat profil lo di majalah sekolah. Sok pinter!"

"Hei!!! Gue punya rubrik sendiri di majalah karena gue memang beneran pinter!!" ucapku keras, darahku sudah naik ke ubun ubun.

Bukannya minta maaf atau apalah yang setidaknya menghargai aku yang seorang perempuan, dia malah mengedipkan sebelah matanya dengan... sangat manis.

Ah, aku malah kesal dan merasa dia benar benar mempermainkan aku! Tanpa banyak bicara lagi aku segera berjongkok, memungut salah satu kerikil yang paling dekat dengan kakiku dan kulemparkan benda seukuran kelereng itu ke arah Ryan itu sekuat tenaga. Kekanakan sih, tapi aku kesal.

"Eits!"

Tapi Ryan malah menepis kerikil itu dengan sangat jitu dan kerikil itu terpental melewati jeruji gerbang, terus melewati gerbang.

Pletak!!

Tahu benda itu mendarat diatas kepala siapa? Kepala Sekolah!!!

"Gawat!!" pekikku tertahan. Kubekap mulutku dengan menggunakan telapak tangan dan mataku melotot dengan lebar.

Kepala sekolah dengan kepala yang nyaris botak itu mengedarkan pandangan ke arah datangnya kerikil, matanya ikut melotot melihat aku yang tengah menatap ke arahnya dengan ekspresi yang seakan mengatakan: aku lho yang lempar kerikilnya.

"Raisa!!" seru Kepala Sekolah dengan suara yang keras. Aku tersentak dan mataku langsung berair karena takut.

"Ah payah!" dengus Ryan.

Sebelum aku sempat memprotes dengusannya itu, aku sudah berlari di belakang Ryan, dengan tangan kanan yang tertarik ke depan. Ditariknya, dan terus berlari. Cowok itu menyelamatkan aku dari amukan Kepala Sekolah. Eh, menyelamatkan atau menjerumuskan aku ke dalam masalah yang lebih besar lagi ya? Padahal mungkin Kepala Sekolah bisa mendengarkan alasanku, mungkin juga beliau sebenarnya tidak menyangka kalau aku yang melempar kerikil.

"Heh!!! Gue mau balik ke sekolah! Gue mau balik ke sekolah!!" jeritku sambil berusaha menarik tangan yang masih dalam genggamannya.

Namun sosok tinggi dengan bahu lebar itu tak menggubrisku, tangannya tetap mencengkram pergelangan tanganku dengan kuat, namun lembut. Entah apa maksudnya membawa aku pergi dari lingkungan sekolah. Jangan jangan dia mau ngelakuin sesuatu yang enggak enggak lagi.

Jangan mikir macem-macem elo sama gue!" celetuk cowok itu, seakan bisa membaca apa yang dalam pikiranku. Membuatku langsung mati gaya.

"Enggak, macem macem apa coba? GR lo!"

"Elo itu lucu ya?" dan pipiku bersemburat merah. Seorang cowok cute yang menyebutku lucu.

"Lucu kayak badut, tuh muka lo merah merah begitu!" ucapnya membuatku terhempas ke dasar jurang.

Mukaku langsung memberengut kesal, kusentakkan tanganku lagi tapi tetap saja tak bisa lepas. Cowok ini, sungguh sangat menyebalkan. Demi apapun. Apa-apaan ini,dia terus membawaku berlari melewati gang-gang sempit di dekat sekolah? Berkelok kelok entah menuju kemana.

Jalan licin dan becek telah ada didepan mataku. Aku tau tempat ini, ini tanah lapang yang tidak dibangun apapun. Mau apa dia membawaju kesini? Jangan-jangan dia mau merampok aku disini?

Kalau sampai dia memang merencanakan niat buruk padaku saat ini, maka habislah riwayatku. Kalau sudah jam segini tak akan ada orang yang menolongku. Lihat saja, di sekelilingku tak ada satu pun orang yang lewat. Sepi.

Bagaimana jika didalam tas selempang yang tipis itu ada pisau atau benda tajam apapun? Lalu benda tajam itu nantinya akan dikalungkan di depan leherku, digunakan untuk mengancamku agar aku mau menyerahkan semua harta bendaku.

Kalau aku melawan, niscaya benda itu akan memutuskan urat-urat di leherku sampai aku mati lemas. Ini gak bisa dibiarin! Aku masih ingin hidup.

"Jangan! Jangan rampok gue! Gue enggak punya duit! Sumpah, gue enggak punya duit!!!" jeritku histeris sambil menarik-narik tangan kananku sekuat tenaga, kujejakkan kakiku dan aku nyaris terpeleset karena tanahnya yang becek dan cowok ini lebih kuat menarik tanganku.

"Kenapa sih lo? Siapa yang mau ngerampok elo? Memangnya gue punya tampang kriminal apa?" bentak Ryan dengan tangan masih melingkar di pergelangan tanganku.

Ia memang berhenti sejenak dengan mata yang menatap tajam ke kedua bola mataku. Keningnya mengerut dan wajahnya nampak tak suka.

Aku menelan ludah dan menunduk menatap sepatu kets ku yang belepotan dengan lumpur. Tadi malam memang hujan, jadi tanah diseluruh lingkungan ini becek semua. Termasuk tanah lapang yang tengah aku datangi ini. Kuhela nafas dan kutekan dadaku dengan sebelah tangan yang bebas. Dadaku sesak karena banyak rasa aneh didalamnya. Antara malu, khawatir, kecewa, dan malu lagi. Malu karena telah menuduh Ryan yang tidak-tidak dan juga kecewa itu datang karena... entahlah, aku tak suka melihat matanya menatapku seperti itu.

"Gue cuma malas lihat mukanya Kepsek, apalagi kalau lagi marah begitu...," cetus Ryan, pegangannya sedikit melonggar. Kulirik cowok itu, saat ia melirikku, langsung kualihkan pandangan ke bawah, menatap sepatuku lagi.

"Ah, iya... kenapa jadi bawa gue lari?" tanyaku penasaran. Sekaligus mengalihkan perhatian.

Hayooo kenapa?? Penasaran? Tunggu cerita selanjutnya ya..:p

Fear Of LosingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang