CHAPTER 6

44 2 2
                                    


~Raisa pov~

***

"Kalau gitu hari libur mau dong elo pergi sama gue?" tanya Beno.

Aku langsung jengah mendengarkannya, Aina dan Citra malah tertawa terbahak. Dari tadi mereka mendengarkan percakapan kami dan menyaksikan aku yang kena skak-mat pasti langsung membuat mereka merasa geli.

Hatiku makin sebal saat Beno pun malah ikut tertawa bersama kedua sahabatku, matanya melirik jahil padaku dan ia mengangkat alisnya, meminta jawabanku. Aku malah memalingkan muka dan menatap keluar kelas.

"Elo mau datang nggak ke pesta ulang tahun gue?" celetuk Aina tiba-tiba.

Beno terdengar sangat antusias. Pasti dia tau jika ia datang ke acara ulang tahun Aina, pasti dia akan bertemu denganku disana. Uh, aku tak akan mau datang jika Beno akan datang. Tapi jika aku tidak datang, bagaimana dengan Ryan? Dia adalah tetangga Aina dan tak mungkin seorang tetangga yang baik akan mengecewakan undangan orang yang berdekatan dengan rumahnya.

Jika aku tidak datang karena ada Beno, sudah pasti aku akan kehilangan kesempatan untuk melihat sisi lain Ryan dan aku tidak mau itu terjadi. Jarang sekali kesempatan semacam ini terjadi dalam hidupku.

"Jadi gimana? Kita makan yuk nanti sore? Atau kalau nggak besok sabtu juga boleh deh, malam mingguan...," rayu Beno. Tetap berusaha menyesuaikan jadwalnya dengan jadwal waktu luangku yang tak bisa diganggu gugat.

"Enggak mau Beno, gue kan ada banyak kerjaan, dan gue juga harus belajar!"

"Tapi kan makan paling cuma satu jam, itu juga pasti sudah keburu ngobrol, jalan-jalan juga!" Beno masih saja ngotot.

Aku mengangkat bahu dengan mimik muka yang datar, ayolah... kenapa tak ada guru yang masuk? Jika ada guru yang masuk, aku bisa mencari alasan untuk menolak tawaran Beno, atau setidaknya menunda pemaksaan padaku. Tidakkah ia tau kalau aku sama sekali tak menaruh minat sedikitpun pada ajakannya?

"Ya, kenapa enggak pergi aja sih Raisa? Kan lumayan tuh bisa makan diluar, kapan lagi lo punya kesempatan jalan? Biasanya elo ngorok dikamar," Citra malah mamanas-manasi Beno agar makin gencar mengajakku keluar.

Kupelototi mata dan kuisyaratkan agar gadis berambut pendek itu tak lagi berbicara, tapi nampaknya Citra tak peduli. Ia malah memeletkan lidahnya kepadaku.

"Jangan lupa ya! Dia juga bakalan datang nih. Tega banget deh kalau dia enggak datang, ulang tahun sahabatnya sendiri juga," ujar Aina curhat.

Beno tertawa kecil dan mengangguk semangat. Diacungkannya jempol, tiba tiba wajahnya terlihat kaget melihat seorang guru berjilbab masuk ke dalam kelas nyaris tanpa suara.

"Eh mau kemana kamu?" tanya beliau ketika Beno terburu-buru nyelinap keluar kelas.

"Ke kelas, Bu."

"Memangnya kamu bukan kelas IPA?" tanya guru berjilbab hijau pupus itu.

Beno menggeleng. "Bukan, Bu, saya IPS 5," jawabnya.

"Kenapa malah kesini? Bukannya di kelas sedang ada Pak Gun? Kamu bolos?"

"Enggak Bu enggak! Ini saya mau ke kelas kok!"

Dan whuzzz!

Secepat kilat Beno berlari keluar kelas. Derap langkahnya sampai terdengar hingga ia sudah sampai di ujung koridor. Sepeninggal Beno, guru Fisika berjilbab yang masih berdiri di depan kelas menggelengkan kepalanya sembari meletakkan sepasang map yang ia bawa.

"Itu tuh anak kelas IPS 5, menyia-nyiakan waktu sekolah untuk melakukan yang seenak mereka!" ujar beliau.

Beberapa murid bergumam, mengiyakan dan beragumen sendiri, sementara aku berada antara setuju dan tidak setuju. Setuju karena Beno memang nampak tak niat banget untuk belajar, sedangkan tak setujunya karena di IPS 5 ada Ryan. Kan Ryan tidak begitu. Ya, aku yakin dia tidak seperti itu.

Aku selalu menyukai caranya tertawa, sekalipun dia itu ternyata tengil juga. Tapi tak apa, sungguh! Karena kemarin dia menggendongku sampai ke rumah, lalu tadi pagi dia juga penduli dengan keadaanku, kejutekan dan ketengilan Ryan sudah meluap entah kemana.

Hati-hati!

Kalimat pendek itu terngiang lagi di indra pendengaranku. Begitu merdu dan membuat seluruh syarafku terasa begitu nyaman. Aku yang penampilannya biasa-biasa dan sama sekali bukan siswi populer bisa diperhatian Ryan. Itu benar-benar sebuah anugrah.

Ryan itu cute, juga memiliki kharisma yang begitu kuat. Semua gadis yang normal pasti akan langsung merasakan kharisma itu, pasti akan langsung jatuh ke dalam pesonanya, pasti akan jatuh cinta. Seperti aku yang demikian.

"Aina, ulang tahun elo nggak pake dress code kan?" bisikku tepat di sebelah telinga Aina.

Gadis itu menggeleng dengan alis yang naik sebelah, "Dress code, kayak pesta kostum saja," ujarnya,

"Kenapa emangnya?" ia balik bertanya, juga dengan berbisik.

Aku mengangkat bahu tersenyum simpul, kulirik Aina dan ia melirikku dengan tatapan penasaran sekaligus heran.

"Biasanya juga elo enggak pernah tanya-tanya pakaian yang bakal lo pakai?"

"Aish, kan sekarang ada Ryan! Gue wajib keliatan lebih cakep!" jawabku jujur.

"Nah, jujur kan elo sekarang! Apa gue bilang! Tapi gue terlanjur ngundang Beno. Gimana tuh?"

"Ya itu dia, gara-gara elo sih! Gue empet banget tau sama si Beno, risih gue!" curhatku tanpa ada yang ditutupi. Tanggunglah, biar saja Aina tahu agar nantinya dia tidak lagi-lagi menjodohkan aku dengan Beno.

"Raisa, kenapa kamu mengobrol? Ada yang lebih penting dari pelajaran saya saat ini?" tegur guru Fisiki to the point. Tepat pada sasaran dan membuat aku mati gaya.

"Eh, ti-tidak Bu... maaf saya mengobrol!" jawabku jujur.

Jangan sampai kena SP gara-gara ngobrol dikelas. Uh, karena Ryan saja aku hampir kena SP. Tapi dia memang tidak pernah habis untuk diperbincangkan, sangat menarik, membuat harapan baru yang tak pernah ingin aku lepaskan.




Fear Of LosingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang