CHAPTER 4

40 3 0
                                    


~Raisa pov~

***

"A-pa maksudnya?" tanyaku kebingungan.

"Gue mau gendong elo, gue tau kaki elo terkilir kan?" jawab Ryan lembut. Aku ragu antara menerima tawarannya atau tidak. Aku gengsi tapi aku tak bisa berdiri apalagi pulang sendiri.

"Elo... ikhlas nggak?"

"Kalau ingat kalimat-kalimat yang mojokin gue sih kayanya gue nggak ikhlas. Tapi gue sebenarnya nggak bisa liat orang susah... Apalagi cewek." Aku langsung merasa menyesal.

"Maaf ya jadi ngerepotin elo...," kataku tak enak hati. Kugerakkan tubuhku ke depan, kukalungkan lengan ke leher Ryan sementara ia mengangkat tubuhku di punggungnya. "Maaf ya seragam lo jadi kotor..." kataku.

"Ckkk, sudahlah. Jangan sungkan sama gue!" ucap Ryan.

Setelah aku nyaman dalam gendongannya ia pun segera melangkah pergi. Ke arah sebelumnya saat aku dan dia berlari dari sekolah. Oh, rasanya sangat... Tak bisa ku percaya. Tadi aku marah marah padanya tapi sekarang dia sangat baik menggendongku dan mengantar aku pulang. Senin ini apakah hari sialku? Atau hari keberuntunganku?

***

Dengan kaki berjinjit nyeri aku melangkahkan kaki keluar keluar dari ruangan sempit: Ruang Kepala Sekolah. Setelah kejadian kamarin aku mendapatkan ceramah. Ya ceramah.

"Lain kali jangan terlambat lagi ya Raisa. Apalagi malah kabur...," begitu kata Kepala Sekolah.

Ketika mengucapkan kata 'kabur' beliau melirikkan matanya pada Ryan. Entahlah, aku seperti melihat kilatan cahaya penuh dendam dari lirikannya. Begitu pula Ryan, ia memalingkan mukanya dengan raut masam. Seperti ada apa-apanya di antara dua orang itu. Yang jelas, insiden kerikil mendarat darurat itu pun tak lepas dari ceramah beliau tadi. Tapi yang aku syukuri adalah, Ryan yang lebih banyak dicecar dengan pertanyaan sinis dan memojokkan.

"Hehe..." tanpa sadar aku tertawa puas sendirian dan lumayan keras sepertinya. Karena Ryan yang berbarengan keluar dari ruang Kepala Sekolah itu menoleh kepadaku dengan mata menyipit.

"Apa?" serangku galak.

Ryan mencibir dan membalikkan tubunya, ia melangkahkan kakinya ke arah berbeda dengan arahku. Tentu, dia kelas IPS dan aku kelas IPA.

"Gila kan?" celetuk Ryan. Mulai menyulut emosi lagi.

Kubalikkan tubuhku dengan segera dan aku meringis karena kakiku terasa ngilu. Aku lupa kalau kakiku terkilir.

"Gue enggak gila. Kenapa sih elo seneng banget bilang gue gila?" semprotku galak. Mataku melotot parah, apalagi Ryan malah nyengir nggak jelas dengan gaya yang sebenarnya sangat cool.

Ryan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana dan melirikku dengan menggunakan sudut mata. Aku terkesima sesaat namun sesaat kemudian aku langsung bisa menguasai perasaanku sendiri. Jangan pernah sedikit pun terjatuh ke dalam pesona cowok aneh yang satu ini. Jangan pernah! Never ever after.

"Gimana kaki lo?"

Dan jantungku berdenyut ngilu.

"Ka-kaki gue?"

"Iya, kaki lo. Baikan?"

"Lu-lumayan...," jawabku dengan gugup. Ya, gugup sekali.

Dia baru saja menanyakan keadaan kakiku, apa sih yang ada di kepala Ryan?

"Oke," timpalnya pendek. Singkat, jelas dan sangat padat. Ia kembali membalikkan tubuhnya dan berjalan menuju kelasnya yang berada di ujung koridor.

Fear Of LosingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang