~Raisa pov~***
"Raisa, apa gue bilang?" Citra sudah berada di dekatku, tangannya menyentuh lengan kiriku dan diguncangnya pelan.
Aku menelan ludah dan menatap lurus kearah cowok yang mendapatkan buket bunga itu. Seseorang dengan Chinno krem dan duduk sendiri di sudut ruang belakang. Ryan. Kedua tangannya masih saling bertautan, sementara buket bunga itu terlihat menumpang begitu saja di atas tautan tangannya. Benda berwarna merah dan berbau harum itu seakan diletakkan begitu saja di atas kedua tangan Ryan, cowok itupun pasti sama sekali tidak ada niatan untuk memegang buketku. Buket mawar itu jatuh di tangan Ryan.
"Sana Raisa, ajak dia ngobrol!" Aina menyikutku serta membuat aku langsung merasa gugup sekaligus bahagia.
Apa yang aku harapkan sudah menjadi kenyataan. Buket bungaku sampai di tangan yang tepat. Di tangan Ryan! Tapi apa dia menginginkan buket bunga itu? Kenapa wajahnya seperti itu?
Perlahan aku menuruni panggung, lalu berjalan lurus ke arah Ryan yang juga sekarang sudah berdiri dan berjalan ke arahku. Tangan kanannya menggenggam buket bunga, sementara tangannya yang lain dimasukkan ke dalam saku.
Ketika kami berdua berhadapan, bisa kulihat telaganya berteriak marah. Nampak tak suka dan wajahnya muram. Ia mengangkat buket mawar itu hingga sebatas mukanya, menggerakkan ke kanan dan kiri serta langsung membalikkan tubuh.
"Ke mana?" tanyaku melihat gelagat tak baik dari Ryan.
Cowok itu hanya menoleh sekilas, dengan cueknya ia berjalan membelah kerumunan dan saat ia melewati tempat sampah ia berhenti sesaat.
"Ini, sampah!" katanya sinis dan ia membuang buket mawar merah ke dalam tempat sampah.
Semua undangan melenguh kecewa, sebagian lagi berbisik-bisik. Sudah tentu mereka membicarakan sikap lancang Ryan yang membuang buket mawar itu ke dalam tempat sampah. Apalagi setelah membuang benda yang diharapkan jatuh kepada para jomblo, Ryan langsung keluar dari rumah Aina. Tanpa bicara, tanpa meminta maaf atau basa-basi lain.
Mataku mulai terasa panas, juga seluruh wajahku. Pandanganku mulai kabur karena ada kabut di kedua kelopak mata, aku akan segera menangis. Karena penghinaan dan juga rasa kecewa yang aku rasakan. Sungguh. Kurasakan tangan kedua sahabatku menyentuh bahuku untuk memberi semangat, namun rasanya kali ini harga diriku entah ada di mana. Aku sangat kecewa, aku sangat down, aku sangat... entahlah, padahal malam ini aku ingin menghabiskan waktu bersamanya.
***
Beno terus menhubungiku, mencoba mengajakku bicara dan menghiburku. Tapi tak kupedulikan. Sudah berpuluh-puluh pesan membanjiri ponselku. Dari Beno dan juga kedua sahabatku. Mereka semua menghawatirkan aku, menanyakan kabarku, perasaanku, dan semua tentangku.
Tapi tak ada niatan sedikit pun untuk membaca pesan dari mereka. Harga diriku masih terluka, terutama hatiku yang tersimpan sedikit rasa berbeda pada Ryan, cowok yang mengenakan bretel itu sudah membuang buket hatiku.
Baginya senilai dengan sampah yang sepatutnya teronggok di dalam wadah berbau tak sedap itu. Jika dia tak menyukai aku, baiklah. Tapi kenapa harus di depan semua orang.
"Ah," desahku saat setetes air mata kembali bergulir di kelopak mata.
Kedua tanganku masih bertumpukan di atas perut, aku masih berbaring dengan mata yang menatap lurus ke langit-langit. Ku biarkan saja air mata terus meleleh dari sudut-sudut mata, aku ingin menangis sepuasnya pagi ini.
Sejak kepulanganku dari pesta ulang tahun Aina semalam aku sudah cukup banyak menangis, namun tetap saja aku tak merasa kenyang untuk melakukan kegiatan cengeng seperti itu. Tiap kali kuingat Ryan yang membuang buket mawar, setiap saat itu pula terasa hatiku seakan ditusuk-tusuk oleh sebilah belati.
Kriiing! Kriiing!
Ponselku kembali berbunyi, sekarang ringtone telepon masuk terdengar begitu memekakkan ditelinga.
Aku tak peduli, aku tahu itu pasti Aina atau Citra. Mungkin juga Beno, kemarin malam ia datang terlambat dan tak melihat apa yang telah terjadi dalam pesta ulang tahun Aina, insiden pembuangan bunga mawar. Munkin ia mendengar kejadiannya dari Aina, atau mungkin yang lain.
Karena ponsel itu tak kunjung berhenti memekakkan telingku, aku pun beringsut menepi ke tepian tempat tidur dan meraih ponsel dengan layar yang masih berkedip-kedip. Tanpa banyak bicara kutekan tombol OFF dan telingaku akan aman dari gangguan.
Sekilas kulihat novel Cinta Itu Kamu, novel Nana Sastrawan yang mempertemukan aku dan Ryan, beberapa bulan yang lalu ketika kami masih kelas X. Pertemuan yang klise dan sinetron banget, tapi sungguh berkesan saat itu benar-benar terjadi di duniaku yang nyata. Kami berpapasan di depan perpustakaan, aku baru saja keluar dari perpustakaan dan Ryan baru masuk.
Bukan berpapasan sebenarnya, melainkan bertabrakan. Novel yang kami pegang jatuh dan herannya berjudul sama. Cinta Itu Kamu. Kupungut novelku dengan senyum malu sedangkan Ryan memungut memungut novelnya sendiri dengan mimik muka datar. Dia tak tersenyum, tak marah, tak ada sedikitpun emosi di raut mukanya. Persis seperti zombie, namun sangat manis dan imut. Jika boleh aku mengaku sejak itulah aku semakin gencar memperhatikannya.
Dia sering memainkan gitarnya di kantin, atau di taman. Bernyanyi bersama dengan teman satu gengnya, memamerkan kepiawaiannya memetik senar gitar dan tentu suara emasnya. Belakangan aku baru tahu jika Ryan juga memiliki band. Band indie, tapi pastinya sangat keren karena ada Ryan.
"Huh, keren? Kejam sih iya...," gumamku pada diri sendiri, menyangkal pendapatku tentang kerennya Ryan yang langsung luntur karena apa yang ia sudah lakukan kemarin malam.
Sekalipun hatiku kesal setengah mati tapi tanganku bergerak untuk mengambil ponsel yang terselip di antara bantal dan kemudian kubuka file photos. Tanpa menunggu lama munculah semua foto hasil curianku.
Foto Ryan yang kudapat dari usaha diam-diam. Berpura-pura sibuk sms-an, padahal tengah mengambil foto itu. Bukan hanya sekali dua kali, namun sering sekali! Sepertinya semua ini harus kuhapus, tapi nantilah.
Bluk!
Ponsel yang kulempar itu itu melorot dari tepian tempat tidur dan terbaring pasrah di lantai. Biar! Ponsel hancurpun tak masalah, tapi hatiku yang hancur? apa harus dibiarkan? Aku yang bodoh, atau memang Ryan yang terlalu jahat?
Aku menyukai Ryan sekalipun ia mengejekku habis-habisan di saat aku telat masuk sekolah, juga saat di lapangan becek itu. Tapi dia menolongku yang keseleo tanpa pamrih! Dia mengantarkan aku sampai rumah.
"Eh tunggu! Dia bisa tahu rumah gue darimana?" pertanyaan itu baru muncul di benakku.
Aku dan Ryan tak pernah saling berbicara banyak sebelumnya, seperti hari Senin yang lalu. Tak mungkin jika ia tahu rumahku, lagi pula di rubrik yang kuasuh tiap bulan di majalah sekolah tak ada ulasan alamat rumah.
Sesaat hatiku terasa kembang kempis penasaran, dengan rasa mulas yang menjalari perutku. Ryan yang begitu aku idolakan dengan sikapnya yang begitu cool itu tahu rumahku. Tahu darimana dia? Namun saat bayangan buket mawar yang teronggok begitu saja di dalam tempat sampah, mulas di perutku berganti dengan ketegangan yang membuat lambungku mual seketika. Kebetulan saja mungkin dia tahu rumahku, jika ia peduli padaku dan tulus dengan kalimat "Hati-hati", yang ia ucapkan, ia tak akan membuang buket itu.
Ya ampun, dia telah benar-benar mempermainkan perasaanku.
***
Gimana ceritanya menarik nggak? semoga kalian semua suka ya... Maaf aku baru bisa update sekarang, soalnya kemarin aku lagi UTS dan baru aja selesai.
Jadi tetap vote dan comment ya guys..
Love you:*
KAMU SEDANG MEMBACA
Fear Of Losing
RomantizmAku tak pernah tahu betapa sakitnya terjaga dari mimpi tanpamu, betapa pedihnya mengenangmu. Cinta memang tak harus memiliki, tetapi bukan rela kehilangan seseorang yang kita cintai. Ketakutan-ketakutan yang tiba-tiba hadir menjelma dalam hatiku, ke...