~Raisa pov~***
Di pagi hari aku terbangun dengan kepala berat, masih ada sisa tangis di dalam diriku. Mataku juga masih menonjol keluar padahal sudah dua hari yang lalu insiden pembuangan buket mawar itu terjadi.
Hari ini hari senin, hari dimana aku datang terlambat ke sekolah minggu lalu dan kabur bersama Ryan si cowok aneh yang hatinya sangat kejam itu.
Rasanya sesak lagi saat kuingat wajahnya yang tanpa ekspresi saat membuang buket mawar perlambang hatiku itu. Sudah dua hari tapi masih saja meneteskan air mata.
"Raisa, mau sekolah nggak? Kamu kok masih tiduran?" tanya ibu yang tiba-tiba saja masuk ke dalam kamarku.
Aku menoleh dengan malas, aku memang masih berada di atas tempat tidur, masih berpiyama dan benar-benar tak berniat untuk bangun.
"Sekolah enggak? Kalau enggak bangun dan mandi sekarang kamu bisa telat lagi...," sambung ibu.
Kuhela nafas dan aku segera bangkit, walaupun terasa sangat malas namun aku harus berangkat sekolah. Ada ujian susulan Matematika untuk yang tidak ikut ujian minggu lalu, dan ini adalah yang terakhir. Jika aku tak masuk sekolah dan tak mengikuti tes yang satu itu maka siap-siap saja nilaiku di raport menurun.
Tak apalah ke sekolah dengan hati galau begini, aku masih bisa mengerjakan Matematika dengan rumus-rumus dan hitungan yang benar kok.
"Tapi kamu nggak apa-apa kan? Lihat deh itu mata... kamu nangis?" ibu masih saja ingin tahu keadaanku, mungkin khawatir.
"Enggak Bu," jawabku singkat sembari meraih handuk yang tergantung di kastok.
Tanpa menoleh aku melangkah menuju kamar mandi. Saat aku melintas di dekat ibu, wanita yang sudah melahirkan aku itu mengamit lenganku, memintaku untuk menatapnya.
"Kamu kenapa?"
"Enggak..."
"Jangan bohong! Memangnya ibu nggak khawatir lihat kamu dua hari ini di kamar terus? Ibu tahu kamu nangis sejak pulang dari pestanya Aina. Kenapa? Ada apa?" tanya ibu beruntun.
Tatapan matanya menyiratkan kekhawatiran yang begitu besar padaku, aku tak sanggup untuk tidak menangis lagi. Tak kuasa aku menahan diri untuk tidak memeluk ibu, beliau membalas pelukanku dengan erat dan lebih penuh kasih.
"Kalau mau cerita ya cerita, kalau enggak kamu boleh simpan dulu, nanti kalau sudah baikan kamu bisa cerita sama ibu, ya?" ujar ibu dengan sangat bijak.
"Iya Bu, tenang saja. Makasih banyak ya pelukannya? Aku jadi semangat sekarang!" ujarku yakin.
"Sama-sama Sayang," timpal ibu sembari melangkahkan kakinya keluar dari kamarku.
***
Untungnya Tuhan dan waktu berpihak padaku, tak ada upacara bendera pagi ini, karena semalam hujan lebat dan masih menyisakan gerimis di luar sana.
Beberapa siswa dan siswi yang tengah bergerombolan di koridor kulewati dengan kepala menunduk, tak kusapa mereka seperti yang biasa aku lakukan. Beberapa menyapaku terlebih dahulu, beberapa ada yang tak menyadari kedatanganku.
Aku takut ada yang menyinggung perihal buket mawar itu, tapi semoga saja tidak.
"Sebaiknya gue jangan ke kelas dulu deh, toh belum masuk. Jam upacara kosong... gue ke perpus saja deh!" cetusku mendapat ide seketika.
Kubalikkan tubuh dan kuganti haluan. Aku sekarang berjalan menuju ruang perpustakaan dengan hati yang kosong. Kosong dan dingin. Tapi tak apa. Melihat deretan novel-novel baru di perpustakaan pasti akan menghangatkan hatiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Fear Of Losing
RomanceAku tak pernah tahu betapa sakitnya terjaga dari mimpi tanpamu, betapa pedihnya mengenangmu. Cinta memang tak harus memiliki, tetapi bukan rela kehilangan seseorang yang kita cintai. Ketakutan-ketakutan yang tiba-tiba hadir menjelma dalam hatiku, ke...