Sorry ya baru bisa update sekarang soalnya tugas sekolah numpuk bangetttt...
Baca terus cerita aku yaa, selamat membaca..***
"Yakin elo nggak mau gue anter?" tanya Aina untuk kesekian kalinya. Tangannya melingkari lenganku untuk membantu aku berjalan.
Kugelengngkan kepala dan aku coba untuk tersenyum. "Enggak usah, gue baik-baik saja," jawabku setengah berbohong.
Keadaanku saat ini memang setengah baik dan setengah buruk. Aku tak menyangka kalau gara-gara patah hati bisa berakibatkan pada kesehatanku, tadi aku pingsan di depan perpustakaan. Ryan pasti melihatku ambruk dan ia pasti menganggap aku cari perhatian.
Padahal aku sama sekali tidak berniat menarik perhatian. Aku sudah habis perasaan padanya, tinggal sakit hatiku saja yang masih berbekas. Rasanya sama sekali tak enak, tiap kali aku mengingat namanya saja merasa sakit.
Apalagi kalau sampai dia membantuku ke UKS, menungguiku sampai siuman dan mengatakan bahwa ia benar-benar menyesali kalimat yang sudah ia ucapkan padaku, wah pasti aku akan langsung bunuh diri. Aku tak mau tertipu lagi dengan mulut beracun itu.
"Gue panggilin ojek deh ya? Elo tunggu disini!"
"Jangan!" cegahku sambil menarik tangan Aina yang akan segera pergi menuju pangkalan ojek yang tak jauh dari sekolah.
"Kenapa? Elo nggak enak sama gue? Gue ikhlas kok. Gue nggak mau elo kenapa-kenapa!"
"Enggak Aina, gue mau jalan kaki saja. Gue pengen tenang...."
"Tapi...."
"Enggak, sudah! Pokoknya gue baik-baik aja kok dan gue juga pengen tenang. Elo bisa balik ke kelas, tenang aja gue pasti bisa jaga diri!" tegasku dengan sangat yakin.
"Ohh iya, bilangin sama Citra gue balik duluan ya," tambahku.
Aina sama sekali tak terlihat percaya dengan ucapanku, keningnya mengerut dan matanya penuh rasa khawatir. Perlahan ia menghela napas, lalu memeluk tubuhku dengan erat.
"Hati-hati. Gue enggak mau elo kenapa-kenapa. Gue sayang banget sama elo!"
"Iya gue tau kok! Gue tau.... Makasih," balasku sambil memeluk dengan tak kalah erat.
Perlahan pelukan kami mengendur dan aku bisa melangkahkan kaki keluar dari lingkungan sekolah, tak lupa kulambaikan tanganku pada Aina yang masih berdiri di gerbang. Gerbang yang membuat aku mengenal Ryan lebih dekat, membuat aku semakin jatuh pada pesonanya dan kemudian sakit hati.
Kejadiannya minggu lalu, baru seminggu ini berlalu. Tapi rasanya aku sudah mengenal Ryan lebih dari seluruh hidupku, harusnya jika aku sudah mengenal Ryan dengan begitu yakin, seharusnya aku tak perlu kaget cara bicaranya yang begitu menyakitkan. Aku tak perlu menangis, aku tak perlu sakit hati. Aku tak perlu jatuh cinta padanya.
Dia monster, dia zombie, dia...
"Raisa! Ayo gue anterin pulang!" suara Beno.
Kutengokkan kepalaku dan benar saja satu lagi berandalan cakep yang membuatku semakin mumet menjejeri langkahku di atas sepeda motornya. Entah darimana ia bisa tahu kalau aku akan pulang lebih dulu karena belum sehat.
"Enggak usah, makasih. Gue mau jalan kaki aja."
"Jangan bodoh! Elo itu kan sakit, mana bisa elo pulang jalan kaki!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Fear Of Losing
RomanceAku tak pernah tahu betapa sakitnya terjaga dari mimpi tanpamu, betapa pedihnya mengenangmu. Cinta memang tak harus memiliki, tetapi bukan rela kehilangan seseorang yang kita cintai. Ketakutan-ketakutan yang tiba-tiba hadir menjelma dalam hatiku, ke...