Friday, November 14th 2014
Aku suka saat-saat seperti ini. Saat di mana warna oranye gelap yang berubah kemerahan menjelang matahari terbenam. Bagiku, itu sangat indah. Awan-awan akan memancarkan sinar keajaibannya seiring waktu berjalan. And I love it.
Aku tengah terduduk pada ayunan yang dibuatkan Papa saat aku masih kecil di halaman belakang rumah begitu menikmati langit sore juga udaranya yang sedikit lebih dingin. Menggerak-gerakan kedua kaki di atas rumput halus, juga kedua tangan yang memegang kedua tali yang mengikat kuat pada kedua sisi ayunan.
Seketika dua buah tangan menutup kedua mataku sehingga aku tak bisa melihat apa-apa. Rasa terkejut sedikit menyeruak, takut terjadi hal yang tidak kuinginkan. Tanganku mulai merada kedua bua tangan yang menutup mataku, mencoba menebak siapa seseorang yang tega menghilangkan pemandangan indah dari pandanganku.
"Jangan jail, deh. Ini siapa? Ngerusak pemandangan aja," keluhku dengan bibir yang mulai berkerucut karena sedikit kesal.
Namun meskipun aku sudah mengeluh, sang empunya juga tak ingin menunjukkan siapa dirinya yang sebenarnya.
Terlintas sebuah pemikiran tentang-siapa-yang-telah-menutup-kedua-bolamataku. "Farhan. Gue tahu itu lo, kan? Jail banget, sih."
Setelah tebakan itu keluar dari mulutku, seseorang yang kutebak akhirnya menunjukkan batang hidungnya di hadapanku. Dan benar saja, orang itu adalah Farhan, sahabatku.
"Lo kok bisa tahu kalau itu gue?" tanyanya yang kini terduduk di atas rumput dengan kedua kaki yang ia luruskan ke depan.
Aku terkekeh kecil. "Siapa lagi, sih, orang jail yang gue kenal selain lo?"
Terlihat Farhan yang menggaruk tengkuk yang tak gatal. "Eh, iya juga sih ya," ucapnya, "lagian lo jam segini ada di luar, nggak takut digangguin sama genduruwo?"
"Lo kali genduruwonya. Kan lo gangguin gue." kataku diakhiri dengan tawaan renyah.
"Suka-suka nona Ahsya aja, deh. Orang ganteng mah ngalah."
Refleks aku melirik sinis ke arahnya karena mendengar kata ganteng yang terlontar dari mulutnya.
Aku kembali menatap langit yang mulai menaburkan jutaan bintang, diikuti Farhan yang juga menatap langit.
Aku dan Farhan telah bersahabat sejak awal aku menginjakkan kaki di sekolah menengah atas. Singkat cerita, saat itu Farhan membantuku melengkapi atribut mos yang tertinggal.
Alis tebal, sepasang bolamata almond, hidung mancung, bibir tipis, rahang yang kokoh, begitulah pendeskripsian wajah Farhan. Mendekati sempurna.
Tak sedikit para kaum hawa di sekolah memiliki perasaan lebih kepadanya. Begitupun aku. Tapi perasaan itu tidak mungkin aku ungkapkan karena aku tak ingin menyakiti seseorang lain.
Begini, aku mencintai seorang pria. Dia, Juna. Kakak kandung Farhan. Aku dan Juna sempat memiliki sebuah cerita. Kami sempat berpacaran selama satu tahun dua bulan. Waktu yang relatif lama, bukan? Namun Juna mengakhiri hubungan kami begitu saja disaat rasa sayangku padanya sudah berada di puncak.
Bayangkan, Juna ketahuan berselingkuh di belakangku, dan dia tidak mau mengakuinya. Dia mencari-cari kesalahanku, pada akhirnya dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan ini bersamaku.
Aku sempat bersedih selama berhari-hari, mengurung diri di kamar, menghabiskan beberapa bungkus cokelat, hingga airmataku mengering.
Hm, mungkin aku akan meralat kata-kata yang sempat aku ucapkan sebelumnya mengenai aku tak ingin menyakiti seseorang lain. Aku terlalu naïf untuk merasa bahwa Juna tersakiti. Karena di sini, yang tersakiti adalah aku. Bukan Juna.
KAMU SEDANG MEMBACA
When He Went
Teen FictionKarena yang bisa kudengar sekarang hanyalah deru dalam kepalaku, lolongan tanpa kata sementara kamu menghilang dan aku berusaha merelakannya. ----- Event 6 bulan ReadersWritersClub