Need A Time

501 37 10
                                    

Malam ini ditemani terang bulan, aku terduduk pada bangku kayu yang terletak di balkon kamarku. Menikmati suasana malam juga kerlap-kerlip bintang.

Selepas kepergian Juna yang meninggalkanku di RWCafé pagi tadi, aku memutuskan untuk berdiam diri di sana tanpa melakukan apapun kecuali memikirkan apa yang harus aku lakukan sekarang.

Karena aku tahu, tidak mungkin aku terus mengharapkan Juna.

Aku tidak ingin mengharapkan sesuatu yang tidak pasti. Lagipula, aku tidak yakin dengan perasaanku apakah masih kuat atau tidak bila menghadapi sifat Juna yang selalu menyakitiku.

Namun tetap saja. Semua itu butuh proses. Butuh proses untuk benar-benar menghilangkan perasaan ini yang nyaris sempurna untuk Juna.

"Aca,"

Kuputar 180 derajat tubuhku untuk menghadap ke arah Mama yang baru saja memanggilku. "Ya?"

"Ada Farhan di bawah. Kamu samperin, gih," ucap Mama tersenyum ke arahku.

Aku sedikit terkejut mendengarnya. Setelah aksi penolakanku kemarin malam, Farhan tidak merasa gengsi untuk menemuiku malam ini? Atau bahkan, Farhan telah melupakan segala kejadian kemarin malam dan seolah-olah tidak terjadi apa-apa?

"Aca," Mama berjalan mendekat dan memegang kedua bahuku, "Mama tahu apa yang telah terjadi kemarin malam. Tapi apa salahnya kamu menemui Farhan? Dia sahabat kamu, kan?" tanya Mama tersenyum simpul, "lagipula, yang namanya cinta itu nggak bisa dicegah. Sekalipun dalam sebuah persahabatan."

Aku terdiam membenarkan apa yang dikatakan Mama. Apa salahnya aku menemui Farhan?

Aku menghela napas untuk menenangkan diriku, kemudian aku mengangguk. Kuputuskan untuk datang menghampiri Farhan.

Mama tersenyum senang, lalu mengangguk memberikan sebuah kode bahwa aku akan baik-baik saja.

Kubalas dengan senyuman simpul dan segera berjalan untuk menghampiri Farhan yang tengah terduduk pada sofa ruang tamu.

"Hei," sapaku kikuk pada Farhan. Kuberikan seulas senyum tipis ke arahnya dan aku pun terduduk pada sofa di hadapannya.

Lain halnya dengan Farhan. Farhan memberikanku senyum lebarnya seperti biasa. Dan terlihat--seperti tanpa beban. "Keliatan jomblo banget, ya, lo. Sabtu malam gini ada di rumah, masih jam 7 udah pake baju tidur aja."

Aku yang baru saja tersadar bahwa baju yang kukenakan adalah piyama dengan gambar doraemon yang biasa kukenakan untuk tidur. Kugaruk tengkuk yang tak gatal. "Lo juga jomblo, kan."

Farhan terkekeh geli. "Gue kan ke rumah lo biar nggak keliatan jomblo. Ya walau aslinya gue jomblo, sih."

Farhan yang mengajakku bicara seperti biasa, diiringi dengan candaan renyah, membuatku sedikit lebih tenang dan aku kembali seperti Ahsya yang biasanya, yang selalu menanggapi kekonyolan Farhan.

"Eh iya, Ca," sahutnya membuatku menoleh ke arahnya, "jalan, yuk. Beli bakso atau apa gitu. Laper, nih."

Aku terdiam dan menimbang-nimbang ajakannya. Sejujurnya aku ingin menerima ajakannya itu, sekaligus membiasakan diri agar rasa gengsi tidak lagi datang menghampiriku akibat kejadian kemarin malam.

"Ya, Ca? Please."

"Hmm," aku berdeham seolah-olah tengah memikirkan sesuatu hal, "oke. Lo yang bayarin, ya?"

"Iya siap!"

"Ya udah kalau gitu gue ganti baju dulu. Lo tunggu di sini." kataku dan langsung berjalan menuju kamar untuk berganti pakaian.

When He WentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang