Came Not to Return

590 44 13
                                    

Saturday, November 15th 2014

Pagi ini setelah sarapan selesai, aku memutuskan untuk pergi menuju Readers Writers Café; yang merupakan sebuah kafe perpustakaan yang dibuat untuk para penggemar membaca atau dark writers yang biasanya menulis cerita-cerita dalam blog atau sebuah aplikasi perpustakaan online.

Biasanya, aku mengunjungi RWCafé untuk sekedar membaca novel-novel yang terdapat di kafe tersebut atau menyambungkan laptop dengan jaringan WiFi yang terdapat di sana untuk membaca novel-novel online atau di sebuah blog.

Aku memang biasa mengunjungi RWCafé seorang diri. Karena siapapun yang menemaniku ke kafe tersebut, seseorang itu akan merasa bosan dengan aku yang berlarut-larut mengisi jam kosong di sana.

Sekitar limabelas menit dari rumahku, aku telah sampai di kafe tersebut. Dentingan halus terdengar pada pintu slide kaca ketika aku memasukinya.

Aku berjalan dan mengambil alih sebuah sofa dekat jendela, yang dikelilingi dengan beberapa rak buku.

Seorang pelayan datang menghampiri, memberikan buku menu kepadaku.

"Hot chocolate dan ekstra marshmallow," ucapku tersenyum pada pelayan sekaligus pemilik kafe bernama Mail itu.

Sebenarnya, Kak Mail tak perlu repot-repot memberikanku daftar menu, karena aku akan memesan minuman yang sama setiap harinya.

"Takut aja kamu berubah pikiran, Dik," begitulah ucapan yang dilontarkan Kak Mail ketika aku berkata bahwa pesanaku akan tetap sama.

Aku termasuk pelanggan setia di kafe milik Kak Mail, begitulah yang Kak Mail katakan. Aku dan Kak Mail saling mengenal karena keseringan aku datang ke kafenya. Aku juga sangat mengenal baik istri Kak Mail. Namanya Femy.

Kak Mail pernah berkata bahwa kafe ini dibuat atas dasar keinginan Kak Femy yang mencintai dunia kepenulisan. Dan dengan didasari rasa cinta, Kak Mail membuatkannya khusus untuk Kak Femy.

Setelah kepergian Kak Mail, aku kembali terfokuskan pada laptop. Mendadak, mood-ku tidak baik untuk membaca sebuah cerita atau menuliskan kelanjutan cerita karyaku. Ingatanku kembali pada peristiwa semalam saat Farhan menyatakan perasaannya kepadaku.

Sebenarnya aku sangat tidak menyangka bahwa Farhan memiliki perasaan lebih dari sekedar sahabat kepadaku. Terlebih Farhan mengetahui satu hal bahwa aku adalah mantan kekasih kakak kandungnya sendiri.

Ya, munafik bila aku mengatakan bahwa aku tidak menyukai sosok Farhan. Farhan baik. Dia sangat baik. Dia selalu memberikan kebahagiaan pada orang-orang terdekatnya, memberikan perhatian serta kenyamanan. Bahkan disaat Juna menyakitiku, Farhan adalah orang yang berdiri paling depan, orang pertama yang meyakinkan aku bahwa dengan berlarut-larut dalam kesedihan itu tidak menjamin untuk merubah kenyataan.

Dan Farhan benar.

Farhan selalu berada di sampingku disaat situasi bagaimanapun. Hingga akhirnya aku jatuh hati kepadanya.

Lalu, kenapa aku menolak Farhan semalam?

Jawabannya adalah aku tidak ingin menghancurkan ketulusannya kepadaku. Farhan yang mencintaiku dengan tulus, sementara aku yang mencintai Farhan, juga aku masih mencintai Juna.

"Aca?"

Panggilan seseorang berhasil membuyarkan ingatanku. Aku menoleh ke sumber suara dan sedikit terkejut ketika melihat seseorang yang baru saja memanggilku.

"Aca ngapain di sini? Sendiri aja?" tanya seseorang itu dan mulai terduduk di hadapanku.

"A-Aca ... iya Aca sendiri di sini, Jun." jawabku menahan gelenyar aneh yang tak kumengerti.

Ya, seseorang yang baru saja menyapaku dan terduduk di hadapanku adalah Juna. Rasa terkejut masih menguasai diriku. Baru saja Juna melintas dipikiranku, kini seseorang itu berada di hadapanku.

Sudah beberapa minggu semenjak hubunganku dan Juna berakhir, aku tidak bertemu dengannya. Dan ini kali pertama kami bertemu setelah hubungan itu berakhir.

"Juna sendiri, kenapa bisa ada di sini? Tumben," akhirnya aku mencoba untuk bertanya kepadanya, "biasanya dulu setiap Aca ajak Juna ke sini, Juna pasti nggak mau."

Terlihat Juna yang tersenyum manis ke arahku. Percayalah. Senyuman yang dulu selalu membuat hatiku luluh, kini kembali terulang.

"Aku sengaja dateng ke sini," jawab Juna seraya tersenyum, "mau ketemu sama kamu. Aku yakin kamu ada di sini, dan ternyata tebakan aku benar."

Juna tersenyum penuh kebanggaan akan diri sendiri. Aku tak mampu menahan rona merah di pipi yang entah didasari akan hal apa. Mungkinkah dengan kalimat yang baru saja dilontarkan oleh Juna?

"Kamu apa kabar, Ca?"

"Baik," jawabku, "Juna gimana sama Vira?"

Entah apa yang membuatku berani untuk menanyakan hal itu pada Juna. Vira adalah selingkuhan Juna saat masih bersamaku. Dan kini, mereka berpacaran tanpa repot-repot untuk bersembunyi dariku.

"Baik, kok."

Mendengar jawaban itu, entah mengapa membuatku tidak senang. Aku benci mengatakannya. Tapi rasa sakit itu nyata, ketika Juna bahagia dengan seseorang yang ia sayangi, tanpa sadar aku terluka.

Sudah kukatakan, masih terdapat sedikit harapan untuk kembali bersama Juna.

Tapi aku juga menyayangi Farhan.

Baiklah. Kuakui bahwa aku masih labil dalam hal percintaan.

Beberapa saat kemudian, Kak Mail datang menghampiri membawa sebuah nampan yang terdapat secangkir cokelat panas dan mug besar berisi ekstra marshmallow.

Kak Mail menyadari adanya Juna bersamaku. Kak Mail yang juga mengetahui kisah percintaanku dengan Juna merasa tidak suka dengan kehadiran Juna di hadapanku.

"Makasih, Kak," ucapku tersenyum manis ke arah Kak Mail.

Kak Mail balas tersenyum. "Femy titip salam untuk kamu. Femy nggak bisa datang ke kafe karena ngurusin Ririn dan Nad. Kamu tau sendiri, di usia mereka yang sekarang lagi benar-benar nggak bisa diem."

Aku terkekeh mendengar tutur Kak Mail. "Salam balik untuk Kak Femy. Ririn dan Nad--aku kangen banget sama mereka."

Ririn dan Nad adalah anak kembar Kak Mail dan Kak Femy. Mereka baru berusia 4 tahun dan sedang masa-masanya aktif. Percayalah, mereka sungguh lucu.

"Kakak tinggal dulu, ya, Ca."

Selepas Kak Mail, suasana kembali hening di antara aku dan Juna. Sebenarnya, banyak hal yang ingin aku tanyakan pada Juna. Tentang bagaimana dia menjalani hari-hari tanpa menyandang status sebagai kekasihku--ralat. Layak kah pertanyaan itu aku lontarkan pada Juna? Oh, Ahsya... Juna sudah bahagia dengan perempuan pilihannya.

Suara telepon membuatku menoleh ke arah Juna. Ponselnya berdering pertanda terdapat panggilan masuk. Dengan sigap, Juna menerima panggilan masuk tersebut.

"Halo sayang? ... oh iya, aku lagi di RWCafé, ada apa? ... haha kamu ini, ya udah aku ke rumah kamu sekarang, ya ... yes, I know. Love you too, Vira."

Napasku seolah terputus, jantungku seolah berhenti berdetak kala mendengar apa yang baru saja dikatakan oleh Juna. Dadaku seolah merasakan rasa panas yang bisa dikatakan--apakah aku masih berhak untuk memiliki rasa cemburu dengannya?

Ingat, Ahsya. Kamu bukan siapa-siapa Juna lagi dan kamu nggak berhak untuk cemburu kepadanya.

Tapi aku masih menyayangi Juna....

"Ca, aku pergi dulu, ya. See you!" serunya melambaikan tangan ke arahku. Tanpa menunggu aku menjawab seruannya, Juna telah berlalu dan dentingan halus pintu slide kaca terdengar, menandakan Juna yang telah benar-benar pergi dari kafe ini.

Aku baru bisa bernafas walau terasa sesak. Juna pergi. Untuk menemui perempuan yang sangat ia sayangi.

Seharusnya aku sadar, tidak mungkin dia memiliki rasa yang dulu pernah ada.

Seharusnya aku sadar, bahwa dia datang bukan untuk kembali.

***

When He WentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang