Laki-laki itu tiba-tiba limbung. Kedua kakinya seakan tak sanggup lagi menyanggah tubuhnya. Seluruh otot persendiannya serasa terserabut dari tempatnya menempel. Ia mendadak lemas, lunglai tak berdaya. Hati dan jiwanya bergemuruh mendawaikan sejuta kesedihan yang menyiksa.
Ibrahim sakit keras. Berita itulah yang membuatnya tiba-tiba terpuruk. Lebih dari itu, kondisinya sangat parah. Anak laki-laki kesayangannya sedang berada dalam kondisi kritis. Bahkan mungkin tak bisa tertolong lagi. Sebagai seorang ayah, kabar mengenai sakitnya anak –apalagi sedang kritis seperti yang dialami Ibrahim saat itu, jelas telah membuatnya dihantui kesedihan dan duka berkepanjangan. Begitupun yang dirasakan oleh laki-laki ini.
Ketika ia mendengar dari salah seorang sahabatnya mengenai parahnya sakit Ibrahim, ia merasa seakan bumi sedang terguncang, langit kehidupan runtuh menimpanya, dan gunung-gunung tinggi menjulang keras menghantam tubuhnya. Perih, dan pedih. Ia merasakan kedukaan yang mendalam. Namun kehendak Tuhan harus diterima dengan sabar, ikhlas, dan lapang dada, tekadnya di dalam hati.
Ketika kakinya hendak melangkah pulang, ia merasa sangat berat sekali. Lebih berat dari perjalanan ke Tabuk yang baru saja ia lalui untuk berperang melawan tentara Romawi, di perbatasan Syams beberapa waktu yang lalu.
Laki-laki itu nyaris tak mampu lagi berjalan dengan kakinya sendiri. Ia terpaksa dipapah oleh sahabatnya, Abdurahman bin Auf yang kala itu tengah mendampinginya. Dengan langkah tertatih ia berjalan menuju rumah istrinya, Maria. Darinya ia beroleh keturunan seorang anak laki-laki. Yah, Ibrahim terlahir dari rahim yang suci dan mulia perempuan ini.
Perjalanan serasa lebih lama dari perjalanan yang biasa ia lalui untuk menuju rumah istrinya, Maria. Kakinya serasa dikalungi oleh beban-beban berat, sehingga menyebabkan langkahnya lambat sekali. Sementara disampingnya, Abdurahman bin Auf dengan sabar memapah laki-laki itu sambil berusaha meneguhkan hatinya.
Beberapa saat sesudah mereka berdua berjalan. Akhirnya rumah yang mereka tuju kini telah nampak dipelupuk mata. Ia serasa ingin berlari dan secepatnya membuka pintu rumahnya. Namun ia tak kuasa.
Sesampai di depan rumah, ia membuka pintu rumah sederhana itu pelan. Sesudah pintu terbuka sempurna, seorang sosok perempuan sedang duduk diruang tengah sambil memangku anaknya, Ibrahim. Kondisi 'malaikat' kecil itu kini sangat kritis. Tinggal menunggu detik-detik ajal yang akan menjemput, dan mungkin itu takkan lama lagi.
Bergegas ia memeluk putranya erat. Sangat erat sekali. Ia membelai rambutnya dengan penuh makna dan kasih sayang. Diciumnya kening dan wajah anaknya dengan penuh penghayatan. Ia rasakan dadanya makin bergemuruh dan hatinya lemas lunglai tak kuasa menahan kesedihan.
Ketika memandangi wajah putranya, terkenang dipelupuk matanya keindahan dan kebahagiaan yang telah ia lalui bersama dengan pangeran kesayangannya itu. Betapa indah masa lalu yang telah ditorehkan oleh anak laki-laki yang begitu ia dambakan kelak bisa meneruskan perjuangan dan dakwah yang dilakukannya.
Dahulu, setiap ia selesai menjalankan tugasnya, ia selalu menyempatkan diri menengok anaknya, Ibrahim di ibu susuannya, Ummu Saif. Sesampainya di rumah Ummu Saif ketika dia melihat buah hatinya, perasaan bahagia seketika membuncah di dalam hati. Wajah Ibrahim yang rupawan menyerupai keindahan dan pesona wajahnya yang mulia dan bersahaja.
Anak memang perhiasan. Ia adalah keindahan yang tiada ternilai disetiap hati orang tua. Termasuk di dalam hati laki-laki ini. Sesudah ia memeluk, menggendong, dan menciumi anaknya dengan naluri terdalam seorang ayah. Ia mengajak bermain anaknya yang kala itu berumur enam belas bulan. Setiap detik kebersamaan yang indah dengan Ibrahim merasuk kedalam ingatannya.
Dengan mata berkaca-kaca ia pandangi wajah putranya dalam-dalam, untuk kemudian ia peluk kembali. Ketika ia sedang memeluk Ibrahim, tiba-tiba nafas putranya terputus-putus. Ia taruk putranya dipangkuannya dan ia pandangi Ibrahim dengan linangan air mata. Tetesan-tetesan air mata itu kini telah mengguyur tubuh Ibrahim dengan tangisan kesedihan. Sesaat kemudian nafas Ibrahim terlihat sesak dan beberapa saat kemudian tubuh mungil itu merjang dan nafasnya terputus seketika.
Laki-laki itu langsung memeluk, dan menciumi anaknya, sambil menangis mulutnya lirih mengucapkan, "Inna lillahi wa inna ilaihi rojiun." Ia dekap kembali putranya sambil tak henti-hentinya memeluk dan menciumi buah hatinya itu.
Awan-awan kesedihan seketika menggelayuti suasana rumah yang kini tengah berduka. Wajah mulia itu tak bisa menyembunyikan betapa berat kesedihan yang terukir di dalam hatinya. Sambil memandangi anaknya yang kini tergolek tak berdaya, dengan suara lirih dan tercekak dia berkata, "Sungguh aku wahai Ibrahim, tak mampu menolong engkau dari kehendak Allah sama sekali," sesudah mengatakan itu ia kembali menangis sambil masih memangku anaknya.
Air mata berbulir-bulir membasahi wajahnya yang bersih, untuk kemudian turun dan menetes dilantai rumahnya. Kedukaan makin menjadi-jadi ketika melihat Mariah, istrinya memekik menahan kesedihan untuk kemudian wanita mulia itu pun menangis tersedu-sedu sambil mendekap putranya yang sangat ia cintai. Kedua insan mulia itu pun kemudian larut dalam tangisan kesedihan yang membahana diseluruh relung hati mereka. Sirin, bibi Ibrahim yang saat itu beada disana ikut menangis tergugu-gugu disayat kesedihan yang serupa.
Betapa gelombang kesedihan begitu dahsayat mereka rasakan. Apalagi ketika mereka terkenang, betapa dalam setiap doa yang mereka panjatkan mereka senantiasa berharap bahwa kelak suatu hari nanti Ibrahim akan menjadi hamba Allah yang shaleh lagi mulia yang akan meneruskan perjuangan dan dakwahnya.
Namun suratan takdir tak kuasa untuk mereka larang. Ibrahim yang sangat mereka cintai pergi meninggalkan mereka diusia yang masih sangat belia, menyusul malaikat-malaikat cinta mereka ; Qasim dan Abdullah yang terlebih dahulu meninggalkan mereka untuk selama-lamanya.
Dalam tangis yang begitu mendalam dan dalam kesedihan yang begitu kuat merajai hatinya, laki-laki mulia yang tidak lain adalah baginda Muhammad Rasulullah berusaha untuk bersabar dan secepatnya memetik hikmah dari takdir-takdir Allah yang meningkahi hidupnya. Subhannalah, sungguh mulia akhlak yang engkau contohkan, Ya Rasulullah.***
KAMU SEDANG MEMBACA
Pelukan Terakhir Ibunda Aminah
SpiritualPelukan Terakhir Aminah Ibunda Aminah, merupakan novel yang mengisahkan perjalanan paling memilukan dari kehidupan manusia agung, Muhammad SAW; Bagaimana kesedihan Muhammad kecil tatkala ia menjiarahi pusara ayahnya, Abdullah ditemani oleh Barakah...