3 TAHUN DI PENGASINGAN

290 23 0
                                    

Diawal bulan Muharam tahun keempat sesudah Rasulullah melakukan dakwah terang-terangan atau tahun ketujuh kenabian, seluruh anggota bani Hasyim dan bani Muthalib meninggalkan rumah-rumah mereka beserta segala fasilitas dan kenyamanan yang mereka biasa nikmati. Bukan untuk melakukan rekreasi atau perjalanan dagang. Tempat yang mereka tuju adalah Syib Abi Thalib, sebuah tempat terpencil disebelah timur Mekah yang dikelilingi bebukitan dan padang pasir. Hanya ada sedikit tanaman dan air disana. Disamping ditempat ini mereka harus menghadapi kerasnya alam dan ekstremnya cuaca—panas yang membakar pada musim panas dan dingin yang menggigil pada musim dingin.

Para pembesar dan hartawanpun ikut serta dalam perjuangan membela Muhammad. Mereka tinggalkan semua kemewahan dan kekayaan untuk bergabung bersama keluarga mereka, bahu membahu melawan penindasan. Diantara mereka Abbas ibnu Abdil Muthalib, saudagar yang sangat kaya raya dan kerap mengirim kafilah dagang ke Syam dan Yaman. Walaupun saat itu, ia belum masuk Islam. Tetapi ia lebih memilih bergabung bersama keluarga besarnya, terutama bersama kakaknya, Abu Thalib, untuk menjaga Muhammad daripada hidup nyaman dirumahnya.

Abu Thalib pemimpin bani Hasyim dan bani Muthalib yang sangat disegani juga turut bersama rombongan ini. Saat itu usia beliau telah lebih dari 80 tahun. Pada usia setua itu, seharusnya beliau hidup nyaman, tenang, dan menghindari setiap kesulitan. Tetapi Abu Thalib bukanlah tipe orang tua seperti itu. Ia mengerahkan semua tenaga dan keberaniannya untuk memimpin dua keluarga besar ini bersatu membela Muhammad serta menjungjung tinggi kehormatan dan nama besar mereka.

Begitupula Khadijah. Ia harus meninggalkan semua kekayaan dan kenyamanan hidup yang diperolehnya. Pada usia yang ke 61, ia terpaksa harus ikut keluar rumah dan bergabung bersama keluarga bani Hasyim dan bani Muthalib. Semua itu ia jalani dengan hati yang tabah untuk membela agamanya dan mendampingi suaminya tercinta. Tidak dipedulikannya semua rasa sakit dan lelah. Betapa Khadijah selalu ingin berada disisi Rasulullah, mencurahkan cinta dan kasih sayang sepenuhnya. Ia pernah menjalani masa-masa paling indah dalam hidupnya bersama Rasulullah. Dan ia tidak akan mundur ketika masa-masa sulit datang.

Bersama Khadijah, ikut juga putrinya, Ummu Kultsum, yang pada saat itu berusia 13 tahun dan Fatimah az-Zahra yang baru berusia 11 tahun. Keadaan yang sulit memaksa dua orang gadis yang masih belia ini untuk meninggalkan rumah mereka yang nyaman menuju padang pasir dan perbukitan keras yang sama sekali tidak menyenangkan.

Bani Hasyim dan Muthalib mulai merasakan sulitnya hidup dialam terbuka, jauh dari hidup nyaman yang biasa mereka mikmati. Abu Thalib sendiri mengkhawatirkan keselamatan ponakannya, Muhammad. Ia takut orang-orang Quraysi menyerang dan diam-diam membunuhnya. Karena itu ia memperketat penjagaan. Setiap malam, Muhammad diperintahkan untuk segara menuju ke pembaringannya dan pura-pura tidur. Ketika semua orang tertidur lelap, Abu Thalib akan memerintahkan salah seorang anak atau saudaranya sendiri untuk bertukar tempat tidur dengan Muhammad sehingga musuh-musuh mereka akan tertipu.

Lama kelamaan, hidup dalam pengasingan semakin terasa sulit dan berat. Perbekalan makanan dan minuman yang mereka bawa mulai tipis. Ketika mereka berusaha membeli bahan-bahan pokok untuk konsumsi sehari-hari, ternyata pasar-pasar Mekah tertutup untuk mereka. Tidak ada seorangpun pedagang yang berani menjual barang dagangannya kepada mereka. Mereka lalu mencoba membeli bahan-bahan itu  dari para pedangan yang datang dari luar Mekah. Tetapi mereka selalu kalah cepat dengan orang-orang kafir Quraisy yang telah terlebih dahulu membeli semua makanan dari para pedagang itu. Mereka tidak menyisakan sedikitpun untuk bani Hasyim dan bani Muthalib dipengasingan. Tidak cukup dengan itu orang-orang Quraisy inipun memperingatkan para pedagang dari luar Mekah agar tidak menjal barang-barang mereka kepada dua klan yang terisolasi. Dengan begitu, hampir tidak ada jalan bagi mereka untuk melakukan pembelian bahan-bahan makanan.

Abu Lahab merupakan orang yang paling bersemangat melakukan blokade terhadap keluarga besarnya sendiri. Ia bergerak aktif untuk mempengaruhi para pedangan yang datang dari luar Mekah agar tidak menjual barang dagangan mereka kepada bani Hasyim dan bani Muthalib. Kadang-kadang ia menjanjikan keuntungan yang berlimpah jika para pedangan itu mau menuruti kemauanya. Ia siap membeli barang-barang itu dengan harga yang mahal. Pada saat yang lain, ia juga melontarkan ancaman keras kepada para pedagang yang tidak mau mengindahkan apa yang diperintahkannya.

Bahan-bahan makanan semakin sulit ditemukan. Anak-anak menangis kelaparan. Untuk mengisi perut mereka, orang-orang memasak dedaunan atau tanaman yang tumbuh di padang pasir dan di puncak bukit. Mereka tidak suka melakukannya. Tetapi mereka tidak memiliki pilihan lain untuk terus bertahan hidup.

Setahun sudah blokade berjalan. Setahun yang panjang bagi bani Hasyim dan bani Muthalib. Keadaan semakin buruk. Hal itu tidak lepas dari pengamatan kaum kafir Quraisy. Mereka bergembira. Tidak lama lagi, pikir mereka, Muhammad akan diserahkan untuk diperlakukan sekehendak hati mereka.

Akan tetapi tidak semua orang merasakan hal yang sama. Sebagian orang Quraysi yang masih memelihara keluhuran budi didalam diri mereka mulai merasa kasihat melihat anak-anak terancam mati kelaparan dan dua keluarga besar kaum Quraysi direndahkan habis-habisan. Karena itu, diam-diam mereka memutuskan untuk mengirim makanan.

Perbuatan itu tericum juga oleh kaum kafir Quraisy. Mereka memperkektat penjagaan dan pengutusan mata-mata. Mereka tahu bahwa  orang diam-diam sering mengirimkan makanan adalah Hisyam ibnu Amr al Amiri. Ayahnya, Amr adalah saudara seibu Nahdlah ibnu Hisyam ibnu Abdi Manaf. Ia terkenal memiliki perilaku yang mulia dan sangat mencintai orang-orang bani Hasyim.

Suatu malam Hisyam mengirimkan tiga ekor unta yang membawa bahan makanan. Unta-unta itu berhasil ditemukan oleh orang-orang Quraisy. Maka keesokan harinya, mereka mendatangi Hisyam dan mencelannya atas pelanggaran yang ia lakukan. Hisyam meminta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Sesaat setelah mereka pergi, Hisyam merasa menyesal telah membuat janji. Ia tidak tega membiarkan saudara-saudaranya sendiri kelaparan. Maka dikirimnya sekali lagi dua ekor unta yang mengangkut bahan-bahan makanan.

Perbuatan ini kembali diketahui oleh kaum kafir Quraisy. Mereka mendatanginya sekali lagi dan mengancam akan membunuhnya jika tetap bersikeras melakukan perbuatan itu. Pada saat itulah datang Abu Sufyan ibnu Harb, pemimpin bani Umayah. Ia merasa kemarhan kaum Quraysi kepada Hisyam tidak beralasan. Menurutnya, Hisyam sama sekali tidak bersalah. Hisyam justru didorong oleh kemuliaan hatinya serta integritas pribadinya untuk tidak membiarkan  saudara-saudaranya kelaparan dan tertimpa kesulitan. Orang-orang Quraisy menurut Abu Susyan seharusnya meneladani prilaku Hisyam, bukan justru mencelanya.

Kaum kafir Quraysi tentu merasa kaget mendengar pembelaan Abu Sufyan kepada Hisyam. Tetapi kaum Quraysi enggan berdebat dengannya. Mereka khawatir Abu Sufyan dan kaumnya justru akan berbalik mendukung orang-orang yang melanggar perjanjian. Merekapun pergi. Sementara itu pembelaan Abu Sufyan membuat Hisyam semakin berani. Kadang-kadang, ia sendiri menggiring untanya ditengah malam menuju tempat blokade dan mengarahkannya kesana sehingga bani Hasyim dan bani Muthalib bisa menikmati barang-barang yang dibawanya.

Tahun kedua dari blokade yang tidak pernah terjadi dalam sejarah bangsa Arab ini berlalu dengan cepat. Makanan yang dikirim secara sembunyi-sembunyi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan bani Hasyim dan bani Muthalib. Anak-anak menangis kelaparan sepanjang malam. Tangisan mereka terdengar jauh keluar lokasi pengasingan.

Keluarga Rasulullah menanggung semua kesulitan yang mereka derita dengan sabar. Tetapi Khadijah tidak hanya diam berpangku tangan. Ia berjuang sekuat tenaga untuk menjaga kelangsungan hidup orang-orang yang berada dipengasingan itu. Ia meminta keluarganya yang berada diluar pengasingan agar membelikan makanan dan mengirimkannya secara sembunyi-sembunyi. Permintaan itu diterima dengan baik. Keluarga Khadijah adalah orang-orang mulia yang mengerti bagaimana cara membalas budi. Khadijah selalu membnatu mereka dalam setiap kesulitan. Maka ketika kesulitan ini menimpa Khadijah, merekapun selalu siap memberikan bantuan. Hanya Allah yang tahu seberapa banyak yang dikeluarkan oleh Khadijah untuk membantu mereka yang berada bersamanya dipangasingan.

Salah seorang keluarga Khadijah adalah keponakanya. Hakim ibnu Hizam ibnu Khuwalaid. Ia sering membawa seekor unta yang mengangkut bahan-bahan makanan dan mengarahkannya secara diam-diam kelokasi pengasingan. Suatu hari, ketika sedang  membawakan gandum untuk Khadijah, Hakim bertemu dengan Abu Jahal. Melihat itu Abu Jahal, segera menarik pakaian Hakim dan bersumpah akan mempermalukannya didepan penduduk Mekah. Bagi Abu Jahal apa yang dilakukan Hakim adalah sebuah aib karena ia melanggar kesepakatan tertulis kaum Quraisy.

Saat itu, datanglah Bakhtari ibnu Hasyim ibnu Asad. Ia menegur Abu Jahal dan berkata," Ia membawa makanan untuk bibinya sendiri. Mengapa engkau melarangnya? Biarkan ia pergi?"

Abu Jahal tetapi menghalangi Hakim dan tidak mau menuruti perintah Bakhtari. Keduanyapun bersitegang lalu bertengkar. Abu Bakhtari memukul kepala Abu Jahal hingga berdarah, membanting lalu menendanginya. Tetapi keduanya sadar bahwa Hamzah ibnu Abdil Muthalib datang dan berdiri melihat mereka bertengkar. Orang-orang Quraisy tidak mau berita tentang pertikaian mereka terdengar oleh Rasulullah. Maka keduanya berhenti bertengkar. Dan gandum yang dibawa Hakimpun sampai ke tangan Khadijah.

Pergantian hari terasa begitu lambat. Malam menjadi panjang. Tahun ketiga blokade hampir berakhir. Pasokan bahan makanan yang datang secara sembunyi-sembunyi tidak pernah mencukupi kebutuhan. Hidup terasa sangat sulit bagi anak-anak dan mereka yang telah lanjut usia. Tetapi mereka tetap teguh menjaga harga diri. Mereka lebih suka mati perlahan-lahan daripada menyerah kepada orang-orang jahat dari kaum mereka sendiri.

Sementara itu, orang-orang kafir Quraisy tidak bergeming dari kekejaman mereka. Hati mereka tidak lagi tergerak iba. Tetapi tidak semua orang-orang Quraysi merasakan hal yang sama. Masih ada beberapa orang yang merasa bahwa meneruskan blokade itu sama sekali tidak beralasan. Mereka memperhatikan bahwa sebuah klan yang paling mulia, paling terhormat dan paling luhur terancam musnah oleh kekejaman saudara-saudaranya sendiri. Bila benar-benar terjadi, itu akan menjadi aib yang sangat memalukan dalam sejarah Quraisy.

Kekhawatiran itu menghantui pikiran beberapa orang Quraisy yang masih memiliki akal sehat. Salah satu dari mereka adalah Hisyam ibnu Amru al Amiri, orang yang diam-diam selalu membantu bani Hasyim dan bani Muthalib. Berkat keberanian dan keteguhan tekadnya, ia berhasil mengajak empat orang lain untuk bersama-sama melawan ketidak-adilan itu. Empat orang itu, lima dengan dirinya, adalah orang-orang dengan status sosial terhormat dikalangan Quraisy . Mereka juga memiliki hubungan kekerabatan dengan bani Hasyim dan bani Muthalib. Tanpa berunding lama, mereka sepakat untuk merobek naskah perjanjian blokade yang digantungkan didalam Ka'bah. Berikut ini kisah lengkap perjuangan mereka.

Orang pertama yang dihubungi oleh Hisyam al Amiri adalah Zuhair  ibnu Umayah al Makhzumi, anak dari Atikah, bibi Rasulullah Saw. Hisyam mencela Zuhair karena membiarkan paman-pamanya kelaparan dan terhina oleh perlakuan Abu Jahal dan kawan-kawanya, sementara ia sendiri mengonsumsi makanan terbaik dan mengenakan pakaian mewah. Menurut Hisyam, jika Abu Jahal sendiri harus menghadapi situasi yang sama seperti situasi yang dihadapi Zuhair, ia tentu tidak akan membiarkan paman-pamanya dasingkan. Lalu mengapa Zuhair harus tunduk pada Abu Jahal kali ini?

"Wahai Zuhair. Relakah engkau di sini memakan makanan dan mengenakan pakaian sementara paman-pamanmu di sana diboikot dan diasingkan? Aku bersumpah, seandainya paman-paman Abu Jahal yang ada disana, kemudian engkau mengajaknya melakukan boikot terhadap paman-pamanya sendiri, ia pasti akan menentang kesepakatan itu."

"Celakalah engkau wahai Hisyam, "jawab Zuhair," Apa yang harus kuperbuat? Aku sendirian. Seandainya ada orang lain bersamaku, aku pasti menentang kesepakatan itu."
​" Ada seseorang yang akan bersamamu."
​"Siapa?"
​"Aku."
​"Carilah seorang lagi."
Maka Hisyampun pergi menuju Muthim ibnu Adi ibnu Abdi manaf dan berkata kepadanya, "Wahai Muth'im , tegakah engkau menyaksikan musnahnya dua keluarga besar dari bani Abdi manaf? Apakah engkau bersekongkong dengan kaum Quraisy? Demi Allah, orang-orang Quraisy tidak akan membiarkan keluarga mereka mengalami hal semacam itu."
​"Apa yang harus kuperbuat? Aku sendirian."
​"Ada orang yang akan bersamamu."
​"Siapa?"
​"Aku."
​Kalau begitu, cari satu orang lagi."
​"Itupun telah aku lakukan."
​"Siapa orang itu?'
​"Zuhair ibnu Umayah."
​"Satu orang lagi."
Hisyampun mendatangi Bukhtari ibnu Hisyam dan mengatakan hal yang sama seperti apa yang dikatakannya kepada Muthi'm. Bukhtari bertanya, "Adakah orang lain yang bersama kita?"
​" Ya, jawab Hsiyam," Zuhair ibnu Umayyah, Muthi'm ibnu Adi dan aku sendiri."
​"Kalau begitu carilah orang kelima."

Hisyam kemudian mendatangi Zam'ah ibnu Aswad ibnu Muthalib ibnu Asad dan mengajaknya bergabung. Zam'ah bertanya siapa saja yang akan melakukan gerakan ini. Hisyampun menyebutkan orang-orang yang telah diajaknya.

Lima orang itu kemudian sepakat untuk bertemu disebuah dataran tinggi bernama Khathm al-Hujun. Disana mereka berunding bagaimana cara membatalkan kesepakatan orng-orang Quraisy. Keputusan mereka, Zuhairlah yang akan memulai protes, sementara empat orang yang lain akan mendukungnya dari segala arah.

Sepanjang tiga tahun dipengasingan, Rasulullah selalu ridha kepada takdir Allah dan bersabar menghadapi setiap kesulitan. Beliau merasa lapar sebagaimana keluarganya merasakan hal yang sama. Beliau juga memakan dedaunan dan akar tumbuhan. Tidak ada yang beliau takuti selain Allah dan murka-Nya. Sementara itu, dakwah terus berjalan. Rasulullah tidak pernah bosan menyeru kaum beliau siang dan malam, secara sembunyi-sembunyi maupun terang-terangan, menerima segala celaan dan hinaan dengan tabah. Wahyu juga terus turun, menerangkan perintah-perintah-Nya, janji dan ancaman-Nya, serta dorongan untuk berakhlak mulia.

Rasulullah juga senantiasa berdoa dan memohon kepada Allah agar keluarga besarnya diberi jalan keluar dari pengasingan yang menyengsarakan itu. Doa itupun terkabulkan. Suatu hari, Rasulullah menerima wahyu yang memberi tahu beliau bahwa rayap telah memakan naskah kesepakatan kaum Quraisy yang tergantung didalam Ka'bah. Semua hal yang tertulis didalamnya musnah kecuali bagian awal yang berbunyi bismika Allahumma (dengan namamu ya Allah).

Mendapat kabar itu, Rasulullah bergegas menemuai pamanya, Abu Thalib, dan memberitahukan kepadanya tentang hal itu. Abu Thalib terkejut. Abu Thalib bertanya, "Benarkah apa yang engkau katakan itu, keponakanku?"
​"Ya, demi Allah," jawab Rasulullah.
​Abu Thalib segera mengumpulkan saudara-saudaranya dan menceritakan kepada mereka apa yang diddengarnya dari Muhammad. Mereka bertanya, "Menurutmu, apakah ia benar?"
​"Demi Tuhan, ia tidak pernah membohongiku, " jawab Abu Thalib.
​"Apa rencanamu?"
​"Sebaiknya, kalian kenakan pakaian terbaik kalian, lalu kita pergi bersama-sama menuju kaum Quraisy dan kita sampaikan kepada mereka kabar ini sebelum mereka tahu."

Abu Thalib dan saudara-saudaranya menuju Masjidil haram dengan rasa cemas. Mereka duduk dibawah Hajar Aswad—tempat yang biasanya hanya diduduki pembesar Quraisy. Semua orang merasa heran. Mereka pikir, kelaparan dan saudara-saudaranya; kini ia datang untuk tunduk dan menyerahkan Muhammad tanpa konsesi apa-apa. Dengan dugaan itu, mereka terus merasa gembira.

Abu Thalib memulai pembicaraan. Ia berkata, " Ada suatu terjadi antara kita dan kami belum bisa menceritakannya sekarang. Datangkanlah kepada kami naskah perjanjian yang telah kalian tulis. Barangkali kita bisa berdamai atau melakukan kompromi."

Tampaknya, Abu Thalib khawatir kaum Quraisy melihat naskah itu sebelum mereka mendatangkannya. Selang beberapa lama, naskah itupun diletakan dihadapan Abu Thalib. Ia lalu berkata, "Muhammad, keponakan yang tidak pernah berdusta kepadaku, berkata bahwa Allah telah mengirim sekelompok rayap untuk memakan naskah yang ada dihadapan kalian. Yang tersisa disana hanyalah nama Allah. Tidak ada lagi kezaliman, permusuhan, dan kedengkian. Kami datang kali ini untuk membuat perjanjian yang adil dengan kalian. Jika apa yang dikatakannya benar, kalian mesti sadar bahwa kami tidak akan pernah menyerahkannya kepada kalian, apapun yang terjadi. Tetapi, jika apa yang dikatakannya salah, kami akan serahkan ia kepada kalian; terserah kalian hendak membunuhnya atau membiarkannya hidup."

Kaum musyrikin menerima syarat itu. Mereka pikir, itu hanyalah siasat Abu Thalib untuk menjaga muka bani Hasyim dan bani Muthalib. Naskah yang mereka taruh didalam Ka'bah itu tertutup rapat dan tidak mungkin dimasuki oleh apapun. Maka kedua belah pihak itupun menyepakati perjanjian mereka.

Naskah itu dibuka dengan hati-hati. Semua mata memandang. Ternyata Rasulullah benar. Tidak ada lagi tulisan tentang permushan dan kezaliman disana. Yang tersisa hanyalah kalimat Bismika Allahuma.

Orang-orang musyrik terdiam kebingungan. Mereka tidak mengerti bagaimana mungkin hal itu terjadi. Tetapi, tak lama kemudian, mereka merasa dipermainkan. Mereka menunjukan penyesalan atas apa yang telah mereka sepakati sebelumnya. Dibawah komando Abu Jahal, mereka memprotes," Ini tentu perbuatan sihir keponakanmu itu."

Abu Thalib menjawab, " Atas dasar apa kalian hendak memboikot dan mengasingkan kami lagi, sedangkan persoalannya telah jelas?"

Kemudian ia bersama saudara-saudaranya menuju Ka'bah dan berdoa, " Ya Allah, tolonglah kami menghadapi orang-orang yang menzalimi kami, yang telah memutuskan silaturhami dengan kami, yang melakukan apa yang tidak boleh mereka lakukan terhadap kami."

Setelah mengucapkan doa itu, Abu Thalibpun kembali kelokasi pengasingan. Allah mengabulkan doa Abu Thalib. Kecurangan kaum Quraisy itu ternyata terlihat oleh Hisyam dan empat orang kawanya, menyaksikan hal itu, Zuhair ibnu Umayah segera berdiri dibawah Hajar Aswad dan berkata, "Wahai penduduk Mekah, apakah kita akan makan dan berpakaian sementara bani Hasyim tewas kelaparan? Demi Tuhan, aku tidak akan duduk sampai naskah kesepakatan boikot yang kejam itu dirobek."

Abu Jahal membantahnya, "Engkau berdusta. Dan naskah itu tidak akan pernah dirobek." Zam'ah ibnu Aswad menyambut dari arah yang berbeda, "Engkaulah, Abu Jahal yang berdusta. Kami tidak pernah menyatakan sepakat dengan apa yang tertulis didalamnya."

Pernyataan itu disambut oleh Bakhtari dari arah yang berbeda pula, "Zam'ah benar. Kami tidak pernah rela dan tidak pernah mengakui apa yang tertulis didalamnya."

Terakhir, Hisyam ibnu Amru berdiri dan berkata dengan marah, "Kalian benar, dan orang yang mengatakan sebaliknya pasti telah berdusta. Demi Tuhan, kami tidak pernah suka naskah itu ditulis. Sejak awal, naskah itu telah membawa sial. Terkutuklah orang-orang yang menulisnya. Kami tidak akan pernah puas sampai kami bisa merobeknya, hingga saudara-saudara kita bani Hasyim dan bani Muthalib bisa kembali kerumah-rumah mereka.

Tercenganglah Abu Jahal mendengar bantahan yang bertubi-tubi itu.Ia bingung dan kehilangan kontrol diri. Dikiranya sebagian besar klan yang menjadi bagian terbesar dari kabilah Quraisy telah bersepakat untuk membatalkan boikot itu. Selanjutnya, bersama empat orang kawanya serta sejumlah keluarga dan sahabat-sahabat mereka, sambil membawa senjata yang terhunus, Muth'im pergi ketempat bani Hasyim dan bani Muthalib diasingkan, lalu membawa mereka kembali ke Mekah.

Dua keluarga besar yang selama beberapa tahun diasingkan kini bisa kembali kerumah-rumah mereka dengan kepala tegak. Mereka tidak pernah menyerah. Mereka bersabar dan bertahan menghadapi segala kesulitan hingga akhirnya Allah memberikan kemudahan dan jalan keluar. Peristiwa-peristiwa itu terjadi pada tahun kesepuluh kenabian.

Sementara itu, Abu Jahal dan rekan-rekannya sadar bahwa bani Hasyim dan bani Muthalib kini berada dalam posisi yang kuat dan dibawah perlindungan yang kukuh. Kaum kafir Quraisy, untuk kesekian kalinya, kembali gagal.

Ketika naskah kesepakatan boikot telah dirobek, segala hal yang ada didalamnya menjadi tidak lagi berlaku. Kemenangan pun akhirnya berada dipihak Rasulullah, Abu Thalib dan bani Abdi Manaf.***

Pelukan Terakhir Ibunda AminahTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang