Bagian 22

2.5K 246 10
                                    

Yoga terbaring lemah di tempat tidur. Mulutnya penuh sariawan candida dan sekarang sudah turun ke kerongkongannya, tubuhnya kurus kering, herpes menyerang kulitnya. Toga terbatuk-batuk menutup mulut dengan tangannya dan di tangannya Yoga melihat darah segar. Nafasnya pendek-pendek.

Bakteri Tuberkulosis sudah menggerogoti paru-parunya, dan sekarang entah menyerang organ tubuhnya yang mana lagi. Yoga bernafas dengan kepayahan, lalu terdengar tangisan disebelahnya. Yoga berusaha menoleh , tapi matanya pun sekarang sudah mengabur karena virus toksoplasma yang menyumbat pembuluh darah retinanya.

Tapi dari bayangannya Yoga tahu, sosok itu Boggi. Boggi sedang menangis didekatnya, membawa hasil pemeriksaan darah dan Yoga melihat tanda positif di situ. Yoga ingin minta maaf pada Boggi karena sudah menularinya, tapi suaranya tercekat. Yoga terus berusaha tapi lehernya semakin tercekik.

"Haahhh............" Yoga bangun dari tidurnya sambil terengah-engah. Tubuhnya penuh peluh.

Yoga memandangi sekitarnya nanar. Tidak ada Boggi yang sedang menangis. Yoga menatap tangannya tidak ada darah. Menatap kulitnya, bersih tanpa herpes. Yoga meraba lehernya, baik-baik saja. Yoga mimpi, mimpi buruk. Jam masih menunjukan pukul dua pagi.

Yoga turun dari tempat tidurnya, minum segelas air dan meraih rokok di dekat tempat tidurnya. Ketika akan disulut, Yoga teringat Boggi lalu meletakkannya lagi. Diisinya gelasnya dengan air putih, lalu membuka pintu.

"Insomnia juga Ga?" Yoga mendengar suara Jackie dari teras kamar sebelah.

Yoga meletakkan gelas di meja dan duduk di kursi terasnya.

"Mimpi buruk Jack," Jawab Yoga, mengusap dahinya yang berpeluh.

"Evafirenz. Besok minta Alprazolam ke Mbak Shani. Persedian gua habis, malam ini gua bakal ronda sambil mabok," Ujar Jackie. Kadang kepalanya terasa ringan dan membesar setelah minum obat itu, seperti orang mabok.

Mereka terdiam. Jackie mengepulkan asap rokoknya perlahan dan menyadari teman sebelah kamarnya tidak merokok.

"Rokok Ga?" tangannya terulur dari balik dinding teras.

"Nggak Jack, makasih."

Mereka terdiam lagi. Yoga meneguk minumannya pelan-pelan, merasakan air mengaliri kerongkongannya yang kering. Masih terbayang rasa tercekik waktu Yoga ingin mengucapkan minta maaf pada Boggi karena....

Yoga membuang nafas keras.

"Ga," Panggil Jackie.

"Yo."

"....Mimpi buruk apa?" Tanya Jackie.

Yoga tercenung.

"Gua dalam stadium empat AIDS. Sekarat. Boggi menunggui di sebelahku, nangis dan membawa hasil tes HIV positif," Jawab Yoga berat.

Hening.

"..........cuma mimpi Ga, kata orang mimpi itu bunganya orang tidur," Ujar Jackie menghibur.

Yoga menarik nafas panjang.

"Kalau mimpinya kayak gini, bunganya bunga bangkai," Kata Yoga. Jackie tertawa kecil.

Hening lagi. Jacki mengepulkan asap rokoknya . Yoga memandangi kegelapan malam, nanar.

"Lu pacaran sama dokter Boggi Ga." Ujar Jackie, lebih mirip pernyataan daripada pertanyaan.

"Bukan pacaran, deket aja," Ralat Yoga.

"Tapi gua tahu kalian itu saling ada rasa. Tinggal tunggu palu diketok aja," Jackie memberi kesimpulan. Yoga termenung.

Yoga tahu, Boggi juga mencintainya, seperti dirinya mencintai Boggi. Mereka memang belum pernah mengatakan satu sama lain, tapi semua itu terasa. Mereka bisa saling mengerti tanpa harus banyak berkata-kata.

"Atau palunya nggak pernah diketok sama sekali, Jack," Kata Yoga.

"Kenapa Ga? Udah lama kan, lu nunggu laki-laki sebagai pasangan hidup lu? Dan gua bukannya bodoh Ga. Kalian saling melengkapi dan terlihat saling mencintai."

"Sok tahu lu Jack," potong Yoga. Jackie terdiam.

"Iya Ga, maaf. Lu yang paling tahu perasaan lu sendiri," Ujar Jacki.

Yoga mengusap mukanya.

Ya. Yoga paling tahu perasaannya sendiri, dan perasaannya pada Boggi adalah cinta. Yoga mencintai Boggi, dan perasaan itu menumbuhkan keinginan lebih. Yoga ingin melalui hari-harinya bersama Boggi, mengahabiskan sisa usiannya, Yoga inggin Boggi menjadi pasangan hidupnya.

Tapi mimpinya tadi menyadarkannya bahwa hal itu tidak mudah. Dengan status HIV positifnya, Yoga akan menceburkan Boggi ke dalam kehidupan serba rumit jika Boggi menjadi pasangan hidupnya. Mereka tidak bisa normal menjadi pasangan hidup gay seperti lainnya.

Memakai kondom setiap bercinta, jika mau tidak pakai kondom harus menggunakan prosedur tertentu, menjaga pasangannya yang negatif tetap negatif, melakukan VCT dan tes berkala. Belum lagi kalau Yoga sedang drop. Boggi harus merawatnya dalam keadaan infeksi oportunistiknya.Dan segala pencegahan yang mereka lakukkan, jika bercelah sedikit dapat menyebabkan Boggi tertular dan menjadi postif, seperti di mimpinya.

Dan Yoga terlalu mencintai Boggi untuk tega menyakitkan sedemikian. Ini harus diakhiri. Sebelum semuanya berkembang sedemikian subur. Perasaan dan Mimpinya, Yoga harus berani meninggalkan semuanya.

Yoga meneguk air sisa di gelasnya.

"Palu itu nggak akan pernah diketok, Jack," Gumam Yoga pelan, lalu masuk ke kamarnya.

****

PITA MERAH DALAM SEBUAH CERITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang