Bagian 13

2.7K 233 3
                                    

Boggi menyerahkan copy-an laporan kemajuan pasiennya kepada Dokter Shani. Setiap minggu, selain menyerahkan laporan kepada Dokter Vita sebagai koordinator bangsal, Boggi juga harus menyerahkan salinannya kepada Dokter spesialis yang merawat pasien tersebut. Dokter Shani membuka laporannya dan membuka-bukanya sekilas.

"Wow lengkap sekali Gi." Komentar Dokter Shani.

Pasiennya minggu lalu adalah pasien kandungan, seorang wanita duapuluh lima tahun yang hamil empat bulan dan HIV Positif. Dirawat bersama dokter spesialis kandungan dan dokter Shani sebagai konsultan HIV/AIDS. Boggi tersenyum tersipu-sipu.

"Dasar teorinya banyak juga tentang pencegahan penularan dari ibu ke anak sejak dalam kandungan (PMTCT)." Dokter Shani tersenyum sayang memandang Boggi.

"Kamu banyak belajar rupanya." Ujar Dokter Shani lanjut.

"Mmm, belum sebanyak Mbak Shani. Saya tahunya masih ujung-ujungnya aja." Jawab Boggi.

Dokter Shani terdiam sebentar sambil membaca laporan itu, sesekali manggut-manggut setuju. Lalu Dokter Shani mengangkat wajahnya dari laporan Boggi.

"Gi!! "

"Ya, Mbak?"

Dokter Shani memandangnya.

"Tertarik mendalami bidang HIV/AIDS?" Tanya Dokter Shani.

Boggi membuka mulutnya hendak menjawab lalu dikatupkannya lagi. Boggi mau menjawab, bahwa dirinya tertarik, tapi tidak tahu caranya untuk menuju kesana, dan sekarang Boggi masih gamang karena keluarga calon pasangan hidupnya memintanya mengambil bidang spesialis kulit dan kelamin, bidang yang tidak terlalu diminatinya.

"Belum banyak Dokter yang konsen di bidang ini. Sekarang pun, kadang aku kewalahan menangani pasien-pasien HIV/AIDS. Kalau kamu tertarik, ayo kita rawat mereka bersama." Lanjut Dokter Shani sambil menebarkan senyum cerianya.

Boggi tersenyum.

"Hmm, iya Mbak. Akan saya bantu sebisa saya." Jawab Boggi, hanya itu yang sekarang bisa dikatakannya.

Dokter Shani menepuk pundaknya hangat.

"Oke pertanyaan ku tadi nggak usah terburu-buru dijawab, perdalam ketertarikan mu. Tanya hatimu apa kamu rela dan ikhlas mendalami bidang HIV/AIDS. Kadang kalau sudah terjun di bidang ini, nggak jarang kita tidak punya waktu untuk diri kita sendiri.." Kata Dokter Shani.

"Makannya itu nggak bisa kalau nggak pakai ini." Dokter Shani menunjuk dada Boggi "Supaya tetap bertahan melayani mereka."

Boggi mengangguk setuju. Hal itu sudah dialaminya beberapa minggu ini. Merawat pasien HIV/AIDS tanpa hati hanya akan menimbulkan perasaan terbeban seperti yang Boggi rasakan dulu-dulu sebelum bertemu Yoga.

'Oh iya, Yoga.' Boggi teringat.

Dokter Shani sudah pernah bilang bahwa Yoga sudah dianggap seperti adiknya sendiri dan mereka adalah sesama aktivis di LSM peduli ODHA. Ingin Boggi menanyakan kabar Yoga atau nomor handphone-nya, tapi segera diurungkan karena pasti ada pertanyaan-pertanyaan dari Dokter Shani yang mungkin Boggi tidak bisa menjawabnya, sehubungan dengan Yoga.

Mereka berjalan beriringan menyesuri lorong. Di persimpangan menuju UGD, Boggi melambaikan tangannya kepada seniornya. Hari ini Boggi piket pagi UGD, sampai jam dua. Ketika sampai pintu UGD, handphonenya berbunyi. Mama.

"Ya, halo Ma.." terdengar suara Mama di seberang sana.

"Jam tiga? baik Ma, sampai bertemu di sana." Boggi menutup teleponnya, termenung sebentar. Mama mengajaknya makan siang, ada yang ingin dibicarakan.

PITA MERAH DALAM SEBUAH CERITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang