Bagian 15

2.7K 234 7
                                    

Keesokan harinya, di rumah Rivi. Beberapa pembantu menyiapkan sarapan di meja makan dengan kapasitas delapan orang. Walaupun meja makan sebesar itu, tiap hari meja itu hanya berisi maksimal dua orang, Mama dan Rivi. Papa lebih sering berangkat awal mengurus perusahaannya, sedangkan kedua kakak Rivi ada di Bali dan Australia.

Menu pagi ini nasi goreng, telur mata sapi, ayam goreng dan roti panggang lengkap dengan segala macam isi. Rivi mengoles roti panggangnya dengan selai. Penampilannya sudah rapi karena pukul delapan ini Rivi ada janji membahas pembangunan lapangan golf resortnya.

"Sudah siap berangkat, Nak?" Mama keluar kamar dan duduk disampingnya.

"Pagi Ma. Sudah. Habis sarapan ini Rivi sama Pak Wi mau bertemu dengan Pak Gunadi ngomongin rencana lapangan golf." Sahut Rivi sambil menggigit ratinya. Mama menuangkan orange juice ke gelasnya.

"Riv, kemarin Mama sudah bicara dengan Boggi tentang rencana klinik kulit dan kecantikan itu." Kata Mama.

"Lalu pendapat Boggi gimana Ma?" tanyanya.

Mama menghembuskan nafas panjang.

"Seperti katamu Riv, Boggi nggak tertarik ke arah sana. Katanya Boggi mau menjadi dokter spesialis penyakit dalam, dan mengurus orang HIV/AIDS." Mama bergidik.

Rivi tampak terkejut.

"Boggi bilang begitu Ma? Kok dia nggak bilang apa-apa sama Boggi soal ini?"

Mama mengangkat bahu . meminum orange juice dengan kening berkerut Rivi mengunyah sarapannya.

"Boggi itu bukan pria selembut yang kamu kira lho Riv, nggak seperti yang Mama kira juga. Boggi anak yang pintar, dan biasanya orang pintar itu pembangkang. Awalnya aja dia kelihatan manis dan nurut, tapi lama-lama kelihatan juga kan aslinya." Kata Mama. Rivi hanya diam.

"Tapi nanti kalau Boggi sudah masuk ke keluarga kita, Boggi sudah nggak bisa semaunya sesuai dirinya sendiri. Harus ada aturan yang mau tidak mau harus Boggi ikuti. Termasuk pilihan karirnya itu. Kan profesi kalian harus bersesuaian. Masa, kamu manager resort, pendamping mu malah ngurusin orang-orang HIV/AIDS? Nggak lucu kan. Bagusnya, Boggi jadi dokter yang tampan dan menawan dan bergaul dengan kalangan kita."

Rivi meminum susunya dan beranjak dari kursi. Dipakainya jas yang tersampir di kepala kursi, lalu mengambil tasnya.

"Nanti Rivi bicarakan dengan Boggi. Rivi pergi, Ma." Pamit Rivi sambil mencium pipi Mama sekilas. Mama melambai dari kursinya.

****

Sepanjang perjalanan menuju resort, Rivi memikirkan Boggi. Mereka sudah berpacaran empat tahun dan butuh waktu dua tahun untuk menjajaki hingga akhirnya mereka jadian. Total enam tahun Rivi dan Boggi saling mengenal. Rivi mencintai Boggi. Boggi tampan, rupawan, pintar, ramah, baik dan dokter pula. Hmmm, tapi kalau mau jujur, Rivi memilih Boggi dan melamarnya karena predikat dokter yang disandang Boggi.

Banyak Pria-pria di sekelilingnya yang lebih tampan, lebih ramah, lebih seksi dibandingkan Boggi, tapi mereka bukan dokter. Bagi Rivi yang hidup dikeluarga dimana gay merupakan suatu kewajaran, karena di keluarga besarnya ada 3 orang yang telah hidup bersama dengan pasangan gay-nya, maka Rivi berani mengakui bahwa dirinya adalah gay, dan sosok Boggi menurutnya sungguh ideal untuk profil seorang pendamping pengusaha, bisa menunjang karir Rivi.

Selama empat tahun Rivi berhasil mencetak Boggi sebagai sosok yang ideal sebagai pendamping pengusaha denga membelikan baju, kemeja, celana, sepatu yang Rivi inginkan, supaya Boggi menjadi seperti bayangannya seorang dokter yang tampan dan cerdas. Karene itu selama empat tahun ini, Rivi berusaha merebut hati Boggi dan keluarganya dengan bersikap sopan dan alim, menutupi dirinya yang sesungguhnya.

PITA MERAH DALAM SEBUAH CERITATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang