Part 2

75 12 0
                                    

Arsenia

Begitu sampai di rumah, gue langsung menghambur ke dalam kamar. Tas selempang yang sedari tadi setia menggantung di pundak gue, sekarang udah terlempar entah kemana.

Gue menatap pantulan gue di depan cermin yang ukurannya setinggi badan. Ternyata efek dari nangis sampai pulang sekolah tadi membuat gue terlihat mengerikan.
Mata bengkak, hidung merah, rambut berantakan. Gue bahkan mengira kalo gue sebenarnya adalah siluman jenglot.

Ga deng.

Tapi serius, emang separah ini gue setelah berantem sama Alfa di kantin? Ga heran tadi gue sempet diusir sama cowok asing itu.

Ngomong-ngomong, cowok itu siapa, ya? Gue belum pernah liat dia sekali pun di sekolah gue. Mungkin dia jemput pacarnya atau apalah. Tapi dari cara ngomongnya yang agak sinis, gue sih ngga yakin ada cewek yang suka sama dia.

Satu hal yang bikin gue cukup tengsin adalah dia ngga merespon ucapan terimakasih gue. Entah dia ngga mendengar atau memang ngga mau tau. Ah, sudahlah, bukan urusan gue.

Gue melangkah menuju kamar mandi, bermaksud mencuci muka. Namun tiba-tiba terdengar lagu klasik mengalun di dalam kamar, menandakan ada yang menelpon ke hp gue.

Alfa❤. Nama itu terpampang jelas di layar hp. Gue menghela napas. Jujur, sebenarnya gue ngga mau putus sama Alfa, tapi cewek mana, sih, yang tahan terus-terusan diselingkuhin?

Sepuluh detik kemudian, hp gue berhenti berdering. Namun, detik berikutnya benda itu kembali berdering.

Gue udah bersiap untuk me-reject panggilan itu ketika gue menyadari nama yang muncul di layar hp gue berbeda.

Mama❤❤. Buru-buru gue mengangkat, takut dikutuk jadi batu.

"Assalamualaikum. Kenapa, Ma?"

"Waalaikumsalam, Arsenia, kayaknya hari ini mama pulang agak malam, soalnya ada meeting di kantor. Kamu gapapa di rumah sendiri?"

Gue menelan ludah, ragu. "I-iya ma, gapapa."

"Atau mau mama telpon Alfa supaya dia nemenin kamu..."

"Ngga usah, ma," potong gue cepat, "Arsenia bisa sendiri, kok."

"Oh, ya sudah. Baik-baik, ya, di rumah."

Gue mengangguk--meskipun Mama ngga bisa melihatnya--dan sambungan telpon pun terputus.

Gue merebahkan diri di atas kasur dan menyalakan pendingin ruangan. Ini memang bukan pertama kalinya Mama bekerja sampai malam. Tapi ini pertama kalinya gue benar-benar sendiri di rumah, karena biasanya Alfa selalu menemani gue sampai Mama pulang. Entah dia datang ke rumah gue, atau sekedar Skype-an dan video call.

Daripada gue mulai galau ngga jelas, sepertinya lebih baik gue tidur. Mungkin setelah gue bangun, perasaan gue akan lebih baik. Setidaknya gue bisa melupakan masalah gue walaupun sejenak.

***

Gue ngga tau berapa lama gue tidur, yang jelas sekarang gue terbangun karena kedinginan. Gue mengucek-ngucek mata dan menggeliat.

Dan ternyata, saking kebonya gue, gue bahkan lupa ganti baju. Kalo Mama tau, gue pasti dimarahin. Akhirnya gue berjalan ke kamar mandi dan mengganti baju.

Tiba-tiba perut gue berbunyi. Huh, pasti efek karena gue belum makan. Gue melihat jam. Pukul 12.30 malam.

Jeng jeng. Horor.

Gue turun jangan, ya? Tapi masalahnya gue ngga akan bisa tidur sebelum panggilan alam ini terpenuhi. Semoga Mama sudah pulang, jadi ngga terlalu horor. Perlahan-lahan, gue menuruni tangga dari kamar gue menuju dapur.

Samar-samar gue mendengar suara TV dari kamar Mama. Syukurlah, ternyata Mama memang sudah pulang. Sambil berusaha sepelan mungkin, gue mengintip di celah pintu kamar Mama yang sedikit terbuka.

TV serta lampu kamar Mama memang masih menyala, tapi Mama sudah terlelap dan masih memakai baju kerjanya. Menurut gue, mungkin Mama baru pulang beberapa menit yang lalu.

Gue menghela napas panjang dan menutup pintu kamar Mama. Kasian banget mama. Coba aja Papa masih ada, mungkin Mama ngga perlu kerja keras sampai selarut ini.

Mungkin gue ngga akan kesepian seperti ini.

***

Seperti halnya hampir semua murid di dunia ini, pulang sekolah adalah saat yang paling gue tunggu. Makanya begitu bel pulang berbunyi, gue langsung mengemas barang-barang dan pergi keluar kelas.

"Arsenia!"

Gue spontan menoleh. Ternyata yang memanggil gue adalah Bu Indira, guru Bahasa Inggris gue.

"Iya, bu?" Sahut gue.

"Kamu mau pulang, kan?" Tanya Bu Indira.

Gue mengangguk, berharap tidak disuruh memeriksa hasil ulangan atau membelikan kupat tahu di luar gerbang. "Iya, bu. Ada apa?"

"Nah, kebetulan. Ibu boleh minta tolong sama kamu? Ibu mau titip pesan buat anak Ibu yang kayanya lagi nunggu di luar gerbang. Tolong bilang sama dia, kalo ibu pulang agak telat soalnya ada jam tambahan buat pemantapan kelas 12."

Merasa ngga ada pilihan lain, gue mengangguk ragu karena gue ngga tau anak Bu Indira yang mana. "Tapi, Bu..."

"Oh iya, ibu hampir lupa. Anak ibu itu laki-laki, namanya Argon. Dia pake badge SMA Persada dan motornya Ninja hitam. Maaf ibu merepotkan, soalnya tadi Ibu telepon ternyata hp anak Ibu mati."

Gue mengangguk lagi dan mengulangi perkataan Bu Indira untuk memastikan bahwa gue mengingat keterangan dari beliau.

Bu Indira tersenyum dan menepuk pundak gue. "Terima kasih, ya, Arsenia."

Sepeninggal Bu Indira, gue berjalan cepat keluar gerbang karena ingin segera menyelesaikan 'misi' sehingga gue bisa pulang ke rumah.

Begitu sampai di luar gerbang, gue kembali bingung. Berhubung ini jam pulang sekolah, gerbang sekolah gue bagaikan lautan manusia karena penuh dengan siswa-siswi serta para penjual jajanan yang berjualan di depan sekolah.

Gue mengedarkan pandangan sambil berjinjit, berusaha mencari cowok dengan Ninja hitam. Untungnya, mata gue cukup jeli sehingga bisa menemukan orang yang (mungkin) dimaksud Bu Indira.

Gue berusaha menerobos keramaian dan menuju cowok yang memarkirkan motornya di dekat gerbang sekolah gue itu.

"Lo Argon?" Tanya gue tanpa basa-basi begitu gue sampai di tempat cowok itu.

Cowok yang sedang asyik makan batagor itu menoleh cepat ke arah gue. Sepertinya dia kaget karena gue tegur barusan.

Ia menatap ke arah gue beberapa saat, membuat gue juga jadi bingung. Ini cowok Argon atau bukan, sih? Sialnya, ini cowok pake jaket, sehingga gue ngga bisa melihat badge sekolah maupun namanya.

"Kok lo bisa tau nama gue?" Akhirnya cowok itu bersuara. Gue menghela napas lega.

"Jadi lo beneran Argon, kan?"

Melihat anggukan cowok itu, gue melanjutkan "Tadi Bu Indira titip pesen ke gue, katanya beliau pulang agak telat, soalnya ada jam tambahan buat pemantapan kelas 12."

Seketika ekspresi cowok yang bernama Argon ini berubah. Wajahnya terlihat kesal.

Tunggu. Wajahnya mengingatkan gue pada cowok yang kemarin ada di kantin. Gue mendadak speechless.

Setelah itu, gue ngga begitu menyimak perkataannya karena gue sibuk dengam pikiran gue sendiri.

Kenapa gue selalu bertemu dia di saat yang ngga terduga?

***

The Dark SpectrumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang