Part 9

49 6 1
                                    

Argon

Makan siang kali ini rasanya gue gak bisa berhenti ketawa, abisnya cewek di depan gue ini super konyol. Udah tahu mulutnya kecil tapi masih maksain nyuap makanan besar-besar.

"Gara-gara lo juga, sih, ngancem mau ninggalin gue." omel Arsenia saat dilihatnya gue masih ketawa karena dia tersedak.

Lah kok dia nyalahin gue?

Setelah berhasil mengendalikan diri, gue mengangkat bahu pertanda acuh. "Lagian lo juga sih cantik-cantik tapi makannya konyol." gumam gue sebelum akhirnya kembali menyantap makanan.

Gue kira, setelah gue lanjut makan, dia bakal melanjutkan makan juga. Tapi ternyata enggak. Gue lihat dia malah mematung nontonin gue.

Emang ada yang salah sama gue?

"Woi!" gue mengibaskan tangan tepat di depan wajahnya. "Makan! Gak mau ditinggalin gue beneran, kan?"

"E-eh iya iya." dia 'tersadar' dan segera melanjutkan makannya.

Menit-menit kemudian, kami makan dalam diam. Tidak ada satu pun dari kami yang membuka pembicaraan, gue terlalu bingung dan kelihatannya Arsenia juga sibuk makan, mungkin dia takut tersedak lagi.

Sampai akhirnya makanan di piring gue habis, gue segera bangkit dari kursi.

"Eh, lo mau kemana?" cewek di depan gue ini panik, makanan di piringnya masih beberapa suap lagi.

"Bayar." jawab gue seraya mengeluarkan dompet. "Lo buruan makannya."

"Ih iya-iya bawel." dengan tergesa-gesa, cewek yang kini memakai badge Nusantara itu memakan suapan terakhirnya lalu bangkit berdiri.

Tanpa sadar gue tersenyum.
Lucu aja. Gak lebih.

***

"STOOOP!! Udah-udah berhenti!" Teriakan Arsenia sontak membuat gue ngerem mendadak.

Brutal juga ya dia.

"Yang mana? Ini?" Setelah memberhentikan motor, gue menatap sebuah rumah mewar berwarna abu-abu yang dilindungi pagar hitam tinggi menjulang.

Dia mengangguk. "Lo mau masuk dulu gak?" tawarnya seraya turun dari boncengan motor gue dan merapikan rok abu-abunya.

"Gak." Gue menggeleng cepat. "Gue mau langsung balik aja."

Mimpi apa gue kalau sampai hari ini masuk ke rumah dia. Gue sama dia kan cuma ketemu secara kebetulan, temen aja bukan.

Ini aja gue nganterin dia pulang sebagai rasa terima kasih dia udah mau nemenin gue makan tadi.

"Oh yaudah deh, thanks ya." Cewek itu kemudian melambaikan tangan sebelum akhirnya masuk ditelan pintu pagar.

Sepeninggalan dia, gue masih sibuk memperhatikan rumahnya. Walau pagar yang menghalanginya tinggi, tapi setidaknya gue tahu kalau rumah cewek itu besar. Hal itu terbukti dari atap rumahnya yang masih keliatan walau telah dilindungi pagar yang tinggi.

Eh tapi kok gue ngerasa rumah Arsenia ini sepi ya? Kayak kekurangan penghuni. Sayangnya gue gak sempet bertanya ada berapa anggota keluarga yang tinggal di rumah tersebut. Lagian buat apa juga deng, nanti gue disangka kepo.

Mungkin ini cuma perasaan gue aja kali karena rumah gue kan akhir-akhir ini selalu diisi anak-anak FF, makanya kesannya selalu rame.

Tidak mau berburuk sangka lebih jauh lagi, gue segera meninggalkan kawasan komplek rumah yang tak jauh dari SMA Nusantara itu.

***

Begitu sampai di rumah, lagi-lagi gue disambut oleh anak FF. Mereka kelihatannya baru beres makan, mukanya muka-muka kekenyangan.

"Wih ini nih yang namanya sehati." puji gue bangga begitu melihat sisa-sisa bungkus nasi padang masih tercecer di meja makan.

Mereka makan nasi padang juga ternyata. Pas banget kan sama gue? Walau jauh, ternyata gue sama mereka masih terikat kontak batin.

"Sorry ya, Gon. Lo gak dapat jatah. Gue kira lo gak akan pulang siang-siang begini." Armi kelihatannya merasa bersalah karena gak ngebeliin adik tercintanya ini.

Gue cuma nyengir. "Gak apa. Gue udah makan nasi padang juga tadi, makanya barusan gue bilang kita sehati."

"Ngomong-ngomong gimana tanding lo, Gon?" Dean tiba-tiba membuka pertanyaan membuat anak-anak FF lainnya sontak menatap gue juga—meminta jawaban.

"Iya menang gak?" cecar Raden.

"Maunya apa?" gue tertawa ringan. "Menang."

Jawaban gue ternyata membuat mereka ikut senang juga. Maklum, diantara mereka gue ini paling jago olahraga—tapi paling bego seni.

"Yaudah gue mandi dulu. Lo semua mau pada latihan kan? Gue gak ganggu deh." gue mengangkat tangan, perlahan mundur dari lingkaran.

"Iya jangan kelamaan lo nyet. Gue butuh pendapat lo ntar."

"Siap bos." jawab gue seraya menaiki tangga.

Beberapa langkah kemudian, gue langsung masuk ke dalam kamar. Iya, kamar gue berada di lantai dua, tepat disebelah kamar Armi.

Dulunya gue dan Armi itu satu kamar. Hanya saja menjelang gue SMP, Ibu memutuskan menyekat dan membagi kamar kami menjadi dua lalu menambahkan kamar mandi pada tiap-tiap kamarnya.

Supaya gue dan Armi punya privasi katanya. Mungkin ibu takut kedua anak laki-lakinya ini tumbuh homo makanya kami dipisahkan.

Setelah menyambar handuk, gue segera masuk ke dalam kamar mandi. Rasanya ingin cepat-cepat mengguyur tubuh setelah lelah pertandingan tadi.

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Aug 28, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Dark SpectrumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang