Part 8

76 10 1
                                    

Arsenia

"Jangan lupa minum jus pisang, Gon."
Gue mendengar seorang cowok--yang kayanya teman Argon--tertawa saat gue dan Argon lewat.

Hah? Jus pisang? Apa hubungannya gue jalan bareng Argon dan jus pisang? Gue ga ngerti.

"Kampret." Umpat Argon, membuat teman-temannya semakin ngakak. Suara tawa mereka mau ga mau bikin gue jadi pengen tertawa juga.

Mungkin menyadari gue berusaha menahan tawa, Argon menoleh dan buru-buru mengklarifikasi.

"Eh, jus pisang itu ga ada maksud apa-apa, kok. Lo jangan mikir macem-macem, ya."

"Apaan, sih." Gue jadi bener-bener tertawa gara-gara ekspresi Argon yang keliatan salting, "emang gue mikir apaan?"

Argon menggaruk kepalanya. "Ya siapa tau lo mikir kemana-mana."

Gue mengusap dahi, masih terkekeh. Dasar cowok, kalo becanda suka ambigu.

Eh. Atau gue yang mikirnya ambigu?

Tiba-tiba gue mendengar lagu Stitches yang suaranya kedengaran familiar. Gue mengernyit. Kaya cover-annya First Friday, deh. Emangnya mereka manggung di sekitar sini?

Dan keheranan gue terjawab ketika Argon merogoh sakunya dan mengeluarkan handphone. Selintas gue mendengar dia mengumpat, ngga tau kenapa. Tapi gue jadi yakin kalo dia emang fans beratnya First Friday. Buktinya, ringtone-nya aja pake lagu cover-an FF.

"Assalamualaikum, Bu." Ujar Argon.

Oh, ternyata ibunya yang menelpon. Gue ngga tau beliau ngomong apa, tapi sedetik kemudian Argon berkata,

"Udah pulang, Bu. Ini lagi di jalan."

Gue mendengus. Jalan mana, sampe motornya aja belum. Boong banget, sih.

"Iya, nanti sambil nyari makan aja."

Yang ini boong atau ngga, ya? Semoga sih ga boong.

"Iya, Bu. Assalamualaikum," Argon pun menutup sambungan telponnya dan memasukkan handphone-nya ke saku celana.

Gue lalu menatap dia dengan pandangan-paling-memelas-sedunia. Berharap dia mau ngebeliin gue makan juga.

"Nanti temenin gue nyari makan dulu, ya." Seperti biasa, Argon mengucapkan dengan nada datar kaya robot. Seakan bukan meminta, tapi memberitahu.

Gue mengangguk. Yah, gagal deh modus gue. Masa dia ngga peka liat muka gue yang udah memelas gini? Ngga lucu kan kalo gue harus akting pingsan dulu cuma demi dibayarin makan.

"Lo udah makan?" Tanya Argon.

NAH! INI DIA SAAT YANG DITUNGGU-TUNGGU! THANKS, GOD.

"Belum," sahut gue cepat, "kenapa? Lo mau nraktir?" Gue menaik-turunkan alis. Yak. Samber teros, Sen.

"Ckckck," Argon menggeleng-gelengkan kepala, "lo jadi cewek ngga ada basa-basinya banget. Udah numpang, minta traktir lagi." Sedetik kemudian, ia tertawa mengejek.

Eh, sialan. Mulutnya minta dirukiyah banget, nih, cowok. Tapi kok, senyumnya ganteng juga.

Baru saja gue akan membuka mulut untuk membalas perkataan dia, Argon menyambar, "Iya-iya. Ayo kita makan lah."

Tunggu. Kita? Sejak kapan gue dan Argon menjadi kita?

Ah elah, baper amat, sih, gue. Yang penting dia beneran ngajakin gue atau becanda doang, nih.

Gue menatap dia. "Beneran ngga, nih? Ntar hoax doang, lagi."

"Bener, lah." Argon membalas tatapan gue. Duh, nih cowok, alisnya bagus amat sih. Tukeran bisa ga, ya.

"Oh iya, lo tau ga rumah makan deket sini?" Tanya Argon tiba-tiba, membuat gue tersadar.

"Eh, rumah makan? Paling juga KFC, di belokan depan," gue menunjuk ke arah jam 1, "atau ada rumah makan padang di sana," gue menunjuk ke arah jam 9.

"Woy, mau kemana," Argon memegang pergelangan tangan gue.

Malu, kan. Gara-gara sibuk ngeliat ke arah jalan, gue jadi ngga tau kalo gue dan Argon udah sampe di tempat motor Argon parkir.

"Makannya di rumah makan padang aja, ya," Argon memakai helm dan menyodorkan helm satu lagi ke arah gue, "di KFC porsinya dikit, ga kenyang gue."

Gue mengangguk. Jelas mending padang, murah dan banyak. Argon, kan, belum tentu nraktir gue.

Meskipun gue harap, sih, sebaliknya.

***

Astagfirullah.

Gue baru tau kalo ternyata si Argon porsi makannya kayak kuli.

Nasi menggunung plus kuah dan sayur, rendang, ayam pop, serta sambal goreng. Cowok macam apa dia ini, ya Allah.

Gue melirik makanan gue. Nasi setengah porsi plus kuah dan sayur, serta ayam goreng. Sebenernya gue belum makan sama sekali, tapi kalo makannya di depan Argon gini, sih, rasanya gue udah kenyang.

"Kok ga dimakan?" Argon menatap gue heran, "tadi katanya lo belum makan."

Gue tertawa getir. "Ngeliat lo makan aja gue udah kenyang."

"Terus ngapain lo mesen makanan? Mubazir banget, sih." Argon meneguk minumannya sambil menatap gue sinis.

"Ih, galak," gue merengut, "iya iya, gue makan."

Baru aja suapan ketiga, si Argon ini udah ngoceh lagi.

"Lo emang gitu kalo makan?"

Gue mendongak dan tatapan gue bertemu dengan tatapan Argon. "Apa? Ke gue?"

Argon mendengus. "Iyalah, ke elo. Lo kalo makan emang secuil secuil gitu? Kalo pas gue beres makan elo belum selesai, gue tinggal, ya."

Sebel. Gue menghentikan suapan gue. Kenapa, sih, Argon harus nyebelin banget?

Padahal gue suka sama senyumnya.

Dan tiba-tiba Argon terkekeh. Lah? Jangan-jangan dia cenayang, bisa tau isi pikiran gue. Mampus.

"Kenapa lo ketawa?" Gue panik.

"Muka lo konyol," Argon mencibir. Ia kembali menyuap makanannya.

Oh, ternyata bukan gara-gara ngebaca pikiran gue. Gue buru-buru ikut menyuap dengan suapan yang besar, berharap bisa selesai makan bareng Argon.

Sialan. Bukannya kecepatan makan gue bertambah, gue malah keselek. Entah gimana bentuk muka gue sekarang, yang jelas gue segera meneguk teh manis di sebelah gue.

Dan yang bertambah sial, Argon bukannya ngebantuin atau apa, dia malah ketawa ngakak.

"Argon! Udah, ih, malu-maluin," gue mencubit tangannya, membuat cowok itu memelankan tawanya.

"Anjir, hahahaha. Muka lo ga jelas, sumpah," Argon memegangi perutnya, "ngakak gue, aduh."

Gue cemberut. Malu-maluin aja, nih, cowok.

"Gara-gara lo juga, sih, ngancem mau ninggalin gue."

Argon cuma mengangkat bahu tak peduli dan memalingkan wajahnya. Tapi gue mendengar Argon berkata sesuatu dengan pelan, kayak ngomong sama diri sendiri.

Dan saat itu juga pipi gue terasa panas. Gue ngga salah denger, kan?

Ya Tuhan, jangan sekarang.

Masa gue jatuh secepat ini?

***

The Dark SpectrumTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang